Judul Buku: Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan
Penulis: M. Ainul Yaqin
Penerbit: LKiS, Yogyakarta, November 2019
Indonesia adalah salah satu negera multikultural terbesar di dunia. Keragaman tersebut menjadi berkah jika dipahami secara jernih dan dikelola dengan baik, sebaliknya, menjadi sumber masalah jika dimengerti secara keliru dan malah dipolitisasi demi kepentingan kekuasaan dan ekonomi.
Peristiwa 1948 dan 1965, kekerasan terhadap etnis Tionghoa pada Mei 1998, Konflik Muslim-Kristen di Maluku Utara pada 1999-2003, serta konflik etnis antara warga Dayak dan Madura sejak 1931 hingga 2000, menjadi beberapa sampel dari kegagalan pengelolaan keberagaman secara benar.
Jika kita percaya bahwa pendidikan menyumbang banyak pada pembentukan pandangan dan karakter bangsa, maka pendidikan multikultural menjadi salah satu kunci untuk mengurus keberagaman di tanah air.
Pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diimplementasikan pada semua mata pelajaran atau mata kuliah dengan memakai perbedaan kultural di antara peserta didik—perbedaan suku, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan, dan umur—agar pembelajaran menjadi mudah dan produktif sekaligus sebagai sarana untuk melatih dan membentuk pandangan dan sikap demokratis, humanis, dan pluralis peserta didik dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Tujuan pendidikan multikultural setidaknya ada dua, di mana keduanya saling berkaitan: pertama, mengembangkan perspektif multikultural di kalangan guru, dosen, mahasiswa, ahli pendidikan, dan pengambil kebijakan sehingga mereka mampu menumbuhkan nilai-nilai demokrasi, pluralisme, dan humanisme kepada peserta didik dan masyarakat. Kedua, mengupayakan agar peserta didik tidak saja menguasai materi yang diajarkan namun juga memiliki pandangan dan karakter kuat untuk bersikap demokratis, pluralis, dan humanis.
Pendidikan multikultural merupakan salah satu model dari konsep dan strategi pendidikan karakter. Pendidikan karakter adalah upaya terencana untuk menumbuhknan nilai kesantunan, moral, dan etik di tengah-tengah masayarakat agar masyarakat tetap utuh, tertata harmonis, dan juga sejahtera.
Dalam sebuah bebrayan atau kehidupan bersama perlu ada acuan moral dan etis yang dipegangteguh dan dipraktikkan oleh sesama warga negara, sehingga dalam konteks ini, pendidikan karakter terkait erat dengan pendidikan moral, pendidikan kewarganegaraan, dan civic education.
Pendidikan karater tidak akan terlaksana dan berbuah secara maksimal jika pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan tidak memiliki komitmen, kepedulian, dan pemihakan yang tegas terhadap pluralitas, HAM, kesetaraan, demokrasi, dan keadilan sosial.
Buku yang diresensi ini, selain ditulis untuk memberi petunjuk praktis pengembangan konsep dan model pendidikan multikultural di lingkup kelas, ruang kuliah, hingga lingkungan pendidikan di luar keduanya, juga ditulis dalam kerangka kejelasan pilihan paradigmatik dan konsen penulisnya tentang tiga hal, yang memberi warna kuat pada keseluruhan uraian di halaman demi halaman dalam buku ini:
Pertama, pendidikan multikultural di samping mengembangkan kompetensi kebudayaan sehingga peserta didik memahami penuh pluralitas budaya, menghindari diskriminasi, prejudis, dan stereotipe, juga mengembangkan kompetensi sosial sehingga peserta didik memiliki kesadaran terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan dan penindasan.
Kedua, pendidikan multikultural harus dikembangkan di dalam dan di luar sekolah karena perubahan kebudayaan dan sosial yang hendak diraih tidak saja tergantung pada pembelajaran, kurikulum, dan praktik di lembaga pendidikan, namun juga tergantung pada tata kelola politik, ekonomi, sosial, dan budaya secara luas. Dalam hal ini, penjinakan dan domestifikasi fungsi pendidikan multikutural agar hanya terjadi di ruang kelas dan ruang kuliah, harus ditolak dan bahkan dilawan.
Ketiga, pendidikan multikultural harus dihindarkan dari manipulasi kepentingan politik dan ekonomi tertentu sehingga ia dipakai sekedar sebagai alat kontrol demi tercipta ketertiban dan keamanan dalam masyarakat yang sejatinya dihinggapi patologi sosial serius seperti ketidakadilan dan kemiskinan. Posisi ideologis dan pemihakan sang penulis tersebut menjadi kekuatan tersendiri buku ini.
Kekuatan lain buku ini adalah kecermelangan penulisnya untuk mengupas persoalaan pendidikan multikultural beserta beragam problemnya dari berbagai tema serta sudut pandang berspektrum sangat luas, mulai dari masalah membangun paradigma keberagamaan yang inklusif, menghargai keragaman bahasa, membangun sikap sensitif gender, mengembangkan pemahaman dan kesadaran kritis terhadap ketidakadilan dan perbedaan status sosial, menumbuhkan sikap anti-diskriminasi etnis, menghargai perbedaan kemampuan fisik, psikis, dan kognitif, menghargai perbedaan umur, relasi antara pendidikan multikultural dan pendidikan karakter/pendidikan moral/pendidikan kewarganegaraan/civic education, etnosentrisme dan relativisme budaya, hingga persoalan zonasi sekolah—sebuah topik yang sampai sekarang masih menyisakan kontroversi dan persoalan di masyarakat.
Setelah menjelaskan dengan gamblang problem-problem di seputar pengembangan pendidikan multikultural, dan mengajukan tawaran pemecahan masalah, penulis buku ini kemudian memberi formula-formula praktis, atau semacam trik trik yang mudah dipraktikkan, tentang bagaimana membangun insight dan sikap menghargai pluralitas, menghomati perbedaan, dan membangun kepedulian sosial di kalangan peserta didik dan mahasiswa dari dalam ruang kelas dan kuliah.
Buku ini nyaris sempurna sebagai sebuah buku dasar untuk membumikan pendidikan multikultural sehingga sangat direkomendasikan untuk dibaca oleh khalayak luas, terutama oleh para guru, dosen, mahasiswa fakultas pendidikan/tarbiyah, pengelola lembaga pendidikan, dan tentu saja para perumus regulasi dan pengambil kebijakan di bidang pendidikan di Indonesia. [MZ]