Ini perjalanan yang mengasyikkan. Saya pergi bersama dua orang perantau di Takengon. Satu seorang haji. Madura Asli. Pakaiannya selalu berjubah. Layaknya Jamaah Tabligh. Atau kaum salafi. Hanya kurang cingkrang. Sedikit. Jenggotnya ada. Kumis pun dipelihara. Propertinya banyak. Satu lagi seorang bisnisman. Madura Swasta. Pemilik bisnis dawet. Omset bulanan jual dawetnya mencapai 70 juta. Sekarang ekspansi bisnisnya kucing Anggora.
Saat itu kami pergi untuk takziyah ke seorang kawan dari Madura. Peringatan 40 hari. Sebagai bentuk solidaritas.
Ini perjalanan yang mengasyikkan. Hampir sepanjang perjalanan kami bicara hijrah dan poligami. Sebagai seorang pebisnis, kawan Madura swasta banyak bertemu orang. Ada mitra bisnis dan klien. Suatu saat klien yang datang adalah perempuan. Sekitar umur 40 tahun. Ia klien yang sudah beberapa kali datang. Kali ini ia datang dengan anaknya. Pakaiannya pun berbeda dari pakaian sebelum-sebelumnya. Kali ini dia datang pakai cadar. Begitu pula anaknya. Pakai cadar.
“Ya saya heran. Kenapa dia tiba-tiba pakai cadar. Sebelumnya tidak pernah.” Ceritanya.
Terjadilah perbincangan di antara ibu itu dan kawan Madura Swasta saya.
Madura Swasta (MS): “Kakak sekarang sudah berubah gayanya ya.”
Klien (K): “Iya, Bang. Ya sambil belajar agama.”
MS: “Enggakkah dari kemarin-kemarin sudah beragama?”
K: “Iyalah. Tapi kemarin-kemarin itu kan gimana ya. Beragamanya tidak sesuai al-Quran dan Sunnah.”
“Oh, beda ya Kak?”
“Ya bedalah, Bang. Kalau kemarin tu kan pakaian saya kadang masih ada pakai yang tipis-tipis. Ketat. Sekarang kan sudah hijab. Sesuai al-Quran dan Sunnah.”
“Itu gitu ya Kak. Terus, apa lagi bedanya, Kak?”
“Kayak masalah poligami kan. Berdosa tu. Kalau ada perempuan atau istri melarang suaminya nikah lagi atau poligami.”
“Oh gitu, Kak.”
“Menurut al-Quran dan sunnah, poligami itu kan ajaran agama. Jadi kalau suami mau poligami itu harus didukung oleh istri. Bukan malah dilarang. Banyak pahalanya. Bila istri mendukung suami nikah lagi.”
Kami tertawa. Di mobil. Lalu kawan Madura Swasta menyindir pak Haji. “Jadi, kalau Pak Haji mau nikah lagi, atau mau poligami gampang. Suruh ngaji tuh istri Pak Haji ke ustad-ustad hijrah itu. Agar selesai ngaji nanti dapat izin poligami. Nanti dia akan pakai cadar. Sudah hijrah. Lalu datanglah izin poligami. Jadi, kalau mau mudah poligami, antarkan istri untuk hijrah. Maka poligami akan lapang didapat. Tanpa ribut-ribut.”
Ini cerita tentang realitas keberagamaan. Bahwa di sebagian orang sekitar, semangat keagamaan itu meningkat.
Hari ini mudah menemukan orang bercadar. Menutup seluruh tubuhnya. Itu bagus. Sebagai bentuk pengamalan keberagamaan. Pemaknaan terhadap apa yang dipahami dari gurunya. Ustad yang menuntunnya hijrah. Semangat keberagamaan atau yang mereka sebut hijrah tidak diimbangi dengan pengetahuan tentang keberagamaan orang lain.
Seringkali, pemaknaan dirinya terhadap dalil-dalil agama dipahami sebagai praktik satu-satunya Islam. Sehingga praktik keagamaan orang yang di luar dirinya tidaklah sesuai dengan al-Quran dan Sunnah. Kata-kata bid’ah, fasiq, bahkan kafir akan mudah keluar ketika menilai keberagamaan orang lain. Bahkan ada istri yang rela menceraikan suami karena perbedaan ini setelah hijrah. Atau suami menceraikan istri karena perbedaan keberagamaan. Anak memilih jauh dari orang tua setelah hijrah karena perbedaan praktik keberagamaan. Saudara memutus persaudaraan karena pengetahuan baru tentang keberagamaan.
Sampai kami kembali, pembicaraan dua kawan tentang hijrah dan poligami tetap asyik.
Mereka berani bicara poligami karena lagi di luar rumah. Tidak ada istri. Bicara poligami itu mengasyikkan. Semacam pelampiasan. Mencari kesenangan verbal. Karena mempraktikkannya susahnya luar biasa. Stresnya luar biasa. Bebannya luar biasa. Biayanya luar biasa. Sabarnya luas biasa. Kecuali orang-orang yang sudah hijrah. []