Judul: Wahhabisme: Sebuah Tinjauan KritisPenulis: Hamid AlgarPenerjemah: Rudy Harisyah AlamDicetak pertama kali dalam versi Inggris tahun 2002. Edisi cetak Bahasa Indonesia oleh Yayasan Paramadina, 2008. Edisi digital dibuat oleh Democracy Project, 2011.
Jika Anda termasuk orang yang percaya bahwa sufisme dan ajarannya adalah pemaknaan yang benar terhadap Islam, sudah bisa dipastikan Anda bukan pengikut Wahabi. Jika Anda adalah orang yang percaya bahwa salah satu pencapaian kecintaan Anda kepada Allah adalah melalui jalan tarekat, Anda harus tahu bahwa ada satu kelompok strategis dalam Islam yang selalu memusuhi apa yang Anda percayai. Bagi mereka, tradisi yang dikembangkan oleh sufisme dan tarekat penuh dengan kesyirikan.
Jika Anda percaya bahwa Islam pada praktiknya harus berkawan dengan tradisi, sudah pasti Anda juga bukan penganut Wahabisme. Apalagi jika Anda termasuk orang yang percaya, ada jalan perantara yang harus ditempuh untuk melakukan relasi kepada Allah, sudah barang tentu kelompok tersebut akan memusuhi Anda dengan jargon bid’ah dan syiriknya.
Dan kelompok ini bukan kelompok pasif. Meski lahir dari kelompok pinggiran, Wahabisme berhasil membangun aliansi strategis dengan Ibn Sa’ud yang kemudian dalam sejarahnya berhasil membangun kekuatan dan mendirikan Saudi Arabia.
Hingga kini, intrusi ideologi ke berbagai penjuru dunia dilakukan, sebagai bagian dari misi mengambalikan Islam sebagaimana mestinya. Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri merasa bahwa apa yang diyakini oleh umat Islam selama 900 tahun sebelumnya adalah ajaran yang salah, karena itu perlu diluruskan. Konsekuensi pelurusan inilah yang kemudian menghalalkan perampasan, penjarahan, pembunuhan, dan penghancuran.
Bagi mereka, selain penganut Wahabi adalah kaum musyrik, dan memerangi mereka bukan saja boleh, melainkan wajib. Karena itu, menumpahkan darah mereka, menjarah harta mereka dan menjadikan perempuan dan anak-anak mereka sebagai budak adalah tindakan yang dibenarkan.
Itulah yang mereka lakukan di Karbala tahun 1802 dan di Thaif 1803.
Bersama dengan penaklukannya terhadap Makkah dan Madinah pada 1806, mulai pula proyek penghancuran terhadap situs-situs bersejarah umat Islam, termasuk makam para keluarga dan sahabat Nabi Muhammad SAW. Apa yang dilakukan mereka? Saya kutipkan sedikit dari buku Hamid Algar ini:
“Di Mekkah, kubah yang terdapat di atas rumah-rumah yang dikenal sebagai tempat kelahiran Nabi, Khadijah al-Kubra, Imam ‘Ali, dan Abu Bakr al-Shiddiq, dihancurkan. Selain itu, makam-makam dan mushalla-mushalla yang terdapat di tempat pemakaman bersejarah al-Ma‘la diratakan dengan tanah. Di Madinah, aset-aset yang terdapat di Masjid Nabi dijarah, namun upaya untuk menghancurkan kubah yang menaungi makam Nabi tidak dilakukan tatkala secara misterius beberapa orang yang ditugasi untuk melakukan penghancuran itu terjatuh hingga mati.
Namun, seluruh bangunan dan nisan di lokasi pemakaman yang dikenal sebagai Jannah al-Baqi‘, yang terhubung dengan Masjid Nabi, dihancurkan. Di sana terdapat makam para istri dan sahabat Nabi, beberapa Imam Ahl al-Bayt, dan beberapa tokoh dalam sejarah intelektual dan spiritual Islam.“
Itu pula yang terjadi ketika untuk kedua kalinya kelompok ini berhasil menaklukkan kembali Makkah dan Madinah di tahun 1924-1925. Di tahun 1926, tercatat tak kurang 7.000 makam dihancurkan, termasuk makam keluarga dan sahabat Nabi. Saat itu makam Nabi Muhammad sendiri juga terancam dihancurkan. Makam Nabi terselamatkan oleh protes besar dari muslim di banyak negara di dunia.
Inilah yang juga memunculkan respons penting dari para ulama Indonesia yang membuat Komite Hijaz, komite khusus yang dikirim ke Makkah untuk melakukan lobi dengan beberapa agenda terkait kepentingan umat Islam di luar kelompok Wahabi, termasuk soal tempat-tempat bersejarah.
Dalam buku ini juga diungkap tindakan-tindakan perusakan atau vandalisme yang dilakukan kaum Wahabi terhadap monumen-monumen Islam di Kosovo, Chechnya, dan Hadramaut. Hingga hari ini, kitapun masih mendengar bahwa proyek penghancuran “situs-situs pengundang kesyirikan” masih terus berlanjut dan memunculkan keprihatinan kaum muslim di berbagai belahan dunia.
Buku ini merekam perjalanan Wahabisme, sejak kelahiran pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahhab, hingga berakhirnya rezim Taliban, rezim yang terkait dengan gerakan Wahabisme. Buku ini ditulis dengan nada kritis, meskipun penulisnya membeberkan fakta-fakta sejarah yang relatif objektif. Algar sendiri mengakui ketidaksukaannya terhadap ideologi dan gerakan Wahabisme.
Meski buku ini sangat tipis, namun ia memotret perjalanan kronologis Wahabisme secara lengkap dan menarik, termasuk potensi konflik internal dalam aliansi Wahabi-Saudi, sejarah relasi kelompok ini dengan pemerintah Inggris, pembentukan Liga Dunia Muslim sebagai bagian dari agenda penyebaran ideologi Wahabisme, dan legitimasi mereka terhadap pengeboman WTC di New York. [MZ]