Mukhammad Zamzami Santri PP Mambaus Sholihin Gresik; Executive Editor Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Kekhilafahan Abu Bakar al-Siddiq dan Panggung Politik Demokratis?

3 min read

Pasca-Rasulullah saw meninggal, para sahabat tidak memperoleh acuan normatif dari Nabi Muhammad untuk menentukan figur penggantinya sebagai penyelenggara tugas-tugas eksekutif pemerintahan Madinah. Nabi memang tidak memberikan kriteria untuk menentukan calon penggantinya kelak setelah beliau wafat.

Kriteria-kriteria yang diperlukan untuk mengangkat pengganti Nabi Muhammad justru diperoleh dari gagasan-gagasan para sahabat, yang kemudian mereka tuangkan dalam bentuk prosedur pengangkatan Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah (pengganti) Nabi.

Prosedur pemilihan Abu Bakar, yang dikenal dengan baiat Saqīfah banī Sa‘īdah ini, kemudian ditetapkan oleh kalangan Muslim Sunni sebagai landasan ideal untuk menyelenggarakan pemilihan suksesi kepemimpinan dalam Islam.

Penerimaan kalangan Sunni bukan sekadar karena konsensus (ijmā‘) sahabat dalam hal apapun—termasuk pengangkatan Abu Bakar—secara hukum mengikat. Tetapi juga karena prosedur pemilihan dimaksud memuat ragam prinsip yang sesuai dengan etika pemilihan dalam Islam.

Banyak akademisi-ahli menilai bahwa prosedur pemilihan Abu Bakar merupakan sebuah konsep demokratis, karena didasarkan pada asas kompetisi serta partisipasi publik. Mereka menemukan dua komponen penting tersebut dari tiga tahapan yang dilalui dalam proses pemilihan Abu Bakar, yaitu nomination (pencalonan), mutual consultation (kompromi antar-kelompok), dan oath of allegiance (baiat).

Dengan demikian baiat Saqīfah banī Sa‘īdah memiliki kedudukan yang amat penting. Asas kompetisi dan partisipasi yang tertuang dalam tiga tahapan tadi kiranya patut untuk diuraikan agar nilai-nilai demokratis di dalamnya bisa mengemuka.

Pada tahapan pertama nomination, publik Arab-Muslim yang saat itu terhimpun dalam dua kubu utama, Anshar dan Muhajirun, berhak mengajukan calonnya masing-masing. Kalangan Muhajirun mengajukan Abu Bakar al-Siddiq, sedangkan kubu Anshar mencalonkan Sa’ad bin Ubadah.

Dua kubu tadi mewakili dua demografi politik yang berbeda (Makkah vis-á-vis Madinah) serta dua kelompok etnis (Quraisy vis-á-vis Aus dan Khazraj) yang berbeda pula. Kedua kelompok ini dalam wacana keagamaan diklasifikasikan menjadi kelompok Anshar dan Muhajirun.

Baca Juga  Bagaimanakah Hukumnya Shalat Di Atas Sajadah Curian?

Kedua term tadi tidak boleh dimaknai hanya pada peran mereka sebagai imigran (Muhajirun) yang mendampingi Nabi saat berimigrasi ke kota Yathrib, serta sebagai penolong (Anshar) yang memberi perlindungan politik kepada beliau sesampainya di kota tersebut. Tetapi pemaknaannya harus pula didasarkan pada realitas sosial kedua kelompok tadi yang memiliki properti sosio-kultural, kesejarahan serta aspirasi politik khas masing-masing.

Pemaknaan seperti itu diperlukan agar realitas perbedaan aspirasi yang menjadi dasar bagi terbukanya akses pengajuan dua kandidat pemimpin mereka, Abu Bakar dan Sa’ad bin ‘Ubadah, bisa terungkapkan. Dengan demikian akan dapat diketahui bahwa publik dalam pemilihan suksesi tersebut sudah memiliki akses untuk mengartikulasikan aspirasi kelompoknya, melalui seorang kandidat yang mereka jagokan dalam bursa suksesi kepemimpinan pasca-Nabi.

Tahapan berikutnya adalah mutual consultation. Pada tahapan ini, dua kelompok tersebut menyediakan forum untuk membahas “potensi kualitatif” kedua kandidat tadi. Tahapan ini tidak hanya berfungsi sebagai forum untuk membicarakan kualitas kandidat, tetapi juga berperan sebagai jembatan untuk membangun kompromi antara kedua kelompok dimaksud.

Melalui tahapan ini, keunggulan kualitatif kandidat yang dinyatakan dalam forum disosialisasikan kepada publik. Dengan demikian, legitimasi pemimpin terpilih (Abu Bakar) tidak hanya berbasis pada dukungan kelompoknya sendiri, tetapi juga pada pengakuan atas keunggulannya dari kelompok lain.

Dari sini bisa diketahui pula bahwa legitimasi seorang pemimpin digalang dari kesepakatan publik (social consensus), baik publik pendukung maupun oposisi.

Tahapan ketiga adalah baiat (oath of allegiance). Pada tahapan terakhir ini, pemimpin terpilih (Abu Bakar) menyatakan komitmennya secara terbuka kepada publik untuk melaksanakan sebuah platform politik.

Pernyataan tersebut bersifat mengikat, karena bila Abu Bakar dalam menjalankan platform politiknya menyalahi ketentuan-ketentuan normatif yang digariskan dalam Alquran dan hadis, maka bisa terjadi mosi tidak percaya kepadanya.

Baca Juga  Dibayar Tuntas di Padang Arafah

Baiat sebagai prosedur penting yang dijalani Abu Bakar kemudian menjadi preseden yang terus diterapkan dalam setiap proses pelantikan kepala negara sesudahnya.

Dalam tradisi politik Islam, baiat memiliki posisi sangat sentral sebagai alat pengesah atas kekuasaan seorang kepala negara (the central investure of sovereignty). [Lihat Bernard Lewis, The Political Language of Islam, 5]

Secara teknis, baiat memiliki kesamaan dengan sumpah jabatan yang diucapkan seorang penguasa saat pelantikannya di era modern ini. Namun perlu dibedakan antara keduanya, karena baiat bukan sekadar acara seremonial, tetapi sebuah ritus yang berfungsi sebagai pengikat seorang pemimpin untuk menjalankan kekuasaannya sesuai dengan tuntutan agama.

Karena itu, acara pelantikan tersebut selalu dilakukan di tempat umum dengan melibatkan publik atau wakil mereka yang biasanya terdiri dari para tokoh politik, pemuka masyarakat serta kalangan ulama [Lihat Cyril Glasse, “Bay’ah”, Ensiklopedi Islam Ringkas].

Publik dalam forum tersebut tidak hadir menjadi penonton atau saksi, tetapi bertindak sebagai pihak (kedua) yang menerima baiat yang dinyatakan pemimpin tersebut.

Dengan demikian terbentuklah dua pihak (pemimpin dan rakyat) yang mengikat sebuah akad melalui baiat tadi. Pemaknaan baiat seperti dalam uraian tersebut memperlihatkan bahwa hakikatnya baiat adalah sebuah instrumen untuk membuat khilāfah sebagai lembaga publik yang didasarkan pada akad kontrak (social contract).

Prinsip kontrak sosial tersebut bisa dilihat pula dari makna yang terkandung dalam kata bay’at. Kata ini adalah noun (masdar) dari bentuk fi’l, bā‘a, yabī‘u bay‘an wa bay‘at [an].

Secara etimologis, kata tadi mendukung arti “transaksi jual-beli” (Arti ini dapat ditemukan dalam berbagai kitab fiqh yang dalam pembahasannya tentang transaksi jual-beli memakai subbab Bāb al-Buyū’ (Bab Transaksi Jual-Beli). Buyū’ adalah bentuk plural dari bay’).

Baca Juga  Menemukan Hikmah di Sebalik Ekspedisi Tabuk

Arti jual-beli ini bisa juga dinyatakan dengan kata barter. Dalam tradisi Arab pra-Islam, kata bay‘, yang berarti barter, pengungkapannya disertai dengan sikap pembeli dan penjual yang saling menepukkan kedua telapak tangannya untuk menandai sahnya akad jual-beli. Arti etimologis ini masih tetap bertahan, saat kata baiat mengacu pada makna terminologis.

Seperti halnya dalam jual-beli, dalam baiat juga terjadi kepentingan timbal-balik antara penguasa (the ruler) dengan rakyat (the ruled). Artinya, bahwa pihak pertama (the ruler) menyatakan kesiapannya untuk menunaikan tugas (eksekutif) yang dibebankan pihak kedua (the ruled).

Sebagai imbalannya, pihak kedua harus menaati otoritasnya dalam memegang kekuasaan eksekutif. Namun dalam waktu yang sama, pihak kedua bisa berubah menjadi kelompok penentang, bila pihak pertama tidak secara konsisten menaati aturan-aturan yang ditetapkan dalam Alquran dan hadis.

Sebagai catatan, kewajiban menaati penguasa yang zalim masih diperselisihkan. Sebagian menganggap bahwa ketaatan tersebut bersifat absolut. Sedangkan lainnya melihat kewajiban tersebut menjadi gugur setelah penguasa dimaksud berbuat zalim. Untuk kontroversi ini, Muhammad Kurdi Amin dalam Risālat al-Bulaghā’ memberi penjelasan lebih luas. Pendapat lain menilai bahwa kezaliman penguasa perlu ditolerir, sepanjang penguasa tersebut masih sangat peduli dengan norma-norma penting dalam ajaran Islam. (Lihat Ami Ayalon, Language and Change in the Arab Middle East, 29).

Kepentingan timbal-balik yang tertuang dalam istilah baiat tersebut merupakan wujud dari peran baiat sebagai instrumen kontrak dalam lembaga khilāfah. Dengan begitu, penentuan suksesi pimpinan pasca-Nabi, di samping legitimasnya diperoleh dari kesepakatan publik (public consensus), seperti dalam penjelasan sebelumnya, juga harus didasarkan pada akad kontrak (social contract).

Secara umum, hak mengartikulasikan aspirasi publik telah muncul dalam tradisi politik Islam. Hak menyatakan pendapat yang berbeda bisa dijumpai pula dalam berbagai contoh lainnya.

Mukhammad Zamzami Santri PP Mambaus Sholihin Gresik; Executive Editor Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam UIN Sunan Ampel Surabaya