Diskusi mengenai persoalan agraria dalam Islam sudah sejak lama didengungkan oleh Rasulullah Muhammad SAW, hal ini termaktub dalam kitab Sahih Muslim, sebuah hadis yang di riwayatkan oleh sahabat Said bin Zaid.
Ada cerita menarik terkait hadis tersebut. Suatu ketika Zaid bin Sa’id mengalami sengketa tanah dengan seorang perempuan bernama Arwa bin Uways. Zaid kemudian mengadukan kasus ini kepada Marwan bin Hakam (Dinasti Umayyah). Sang Khalifah pun berkata “Barang siapa mengambil satu jengkal tanah yang bukan haknya, ia akan dikalungi tanah seberat tujuh lapis bumi di hari kiamat” (HR Muslim).
Saking jengkelnya, karena merasa haknya diambil oleh Arwa binti Uways, Said bin Zaid pun mengucapkan kutukan bahwa jika memang benar haknya diambil, “semoga Allah Membutakan matanya dan mematikannya di tanahnya.” Akhirnya, perkataan tersebut terkabul. Arwa binti Uways pun menjadi buta di sisa hidupnya sampai meninggal.
Melihat hadis dan kisah tersebut, saya meyakini bahwa pada dasarnya misi dakwah Islam tidak hanya mencakup hubungan manusia dengan Allah Swt saja, melainkan menyeluruh sampai ke semua lini kehidupan sosial, termasuk persoalan agraria.
Hal ini tercermin dari pergerakan sosial, kebijakan, kritik terhadap kebijakan hingga pembentukan persepsi melalui pemikiran-pemikiran ulama sampai menciptakan sebuah konsensus bersama (ijma’).
Gita Anggraini, dalam buku berjudul Islam dan Agraria menyebutkan upaya-upaya dalam merombak keridakadilan agraria dalam sejarah Islam adalah sebagai berikut:
Pada masa Nabi saw, seiring dengan jumlah umat Islam terus bertambah besar sehingga wilayah pun terus bertambah lebar. Dengan kondisi yang demikian Nabi Muhammad saw membuat beberapa kebijakan untuk memperbaiki ekonomi umat Islam. Pertama dengan pemberian tanah dari tanah terlantar, kedua dengan membuka tanah untuk kepentingan umum (Hima’).
Disebutkan juga bahwa pada masa sahabat Abu Bakar, suatu hari sahabat Umar bin Khattab mengkritik dan mencegah kebijakan Abu Bakar ketika menuliskan surat pengaplingan tanah kepada Thalhah bin Ubaidillah. Keputusan tersebut dinilai tidak tepat lantaran terus bertambahnya umat Islam dan pemberian tanah dalam ukuran luas yang besar adalah bentuk ketidakadilan.
Hal serupa juga terjadi pada Uyainah bin Hisn, lantas tanah yang akan di berikan kepada dua sahabat tersebut, ditetapkan menjadi hima’ dengan menugaskan bekas budaknya, Abu Salamah untuk mengurusnya.
Sedangkan, pada masa sahabat Umar bin Khattab, sang khalifah berinisiatif agar menyiasati agar kemiskinan tidak terjadi dengan menyewakan tanah kepada orang yang menanaminya dengan mendapat sebagian hasil dari panen, lalu sebagian lagi menjadi milik Baitul Mal. Khalifah Umar juga menetapkan peraturan pengelolaan lahan mati sebagai cara mendapatkan hak milik.
Pun demikian dengan yang dilakukan oleh sahabat Utsman pad amasa pemerintahannya. kebijakan khalifah Utsman dalam reforma agraria terlihat dari pembelian sumur yang diprivatisasi oleh seorang Yahudi yang kikir, padahal saat itu kondisi masyarakat Madinah sedang kesulitan air, sehingga bisa di jadikan milik bersama dan bisa dimanfaatkan seluruh kaum muslim pada saat itu.
Pada masa Khalifah Ali, kebijakan terkait agrarian ini bisa dilihat dari keputusannya untuk memindahkan ibu kota ke Kufah dalam rangka memperkuat ekonomi yang kurang menggeliat pada masa khalifah Utsman bin Affan. Sang Khalifah juga membagikan secara rata harta fa’i (harta benda yang dihasilkan Islam tanpa melalui peperangan)
Setelah masa Khulafa’ur rasyidin berakhir, kebijakan terkait agraria tidak lantas ikut berakhir pula. Tercatat, Dinasti Umayyah yang cukup signifikan dalam persoalan reforma agrarian, yakni dengan memperbarui sistem pengelolaan lahan mati / tanah kosong (ihyaul mawat) yaitu dengan di perkenankannya pendirian bangunan di atasnya, bukan hanya pengairan dan penanaman saja. Selain itu juga perbaikan sarana dan prasarana irigasi yang cukup signifikan.
Sedangkan, secara khusus pada masa Dinasti Abbasiyah, kebijakan agraria terlihat jelas pada masa Al Mawardi. Pada masa pemerintahannya, dia mengeluarkan banyak kebijakan seperti menghidupkan lahan mati (ihyaul mawat) secara besar-besaran.
Lahan mati menurut Imam Hanafi adalah lahan yang jauh dari air. Menetapkan kebermanfaatan lahan hima’ secara komunal dan bukan hanya muslim saja. Pemberian tambahan dengan hak milik dan hak pakai, pemberian tanah dengan status hak milik dilakukan atas tanah mati, pemberian dengan status hak pakai dapat dilakukan terhadap tanah zakat dan tanah pajak.
Akhirnya, berdasarkan catatan sejarah tersebut, saya meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa terkait keadilan agrarian, Islam sudah mengaturnya dengan bijak. Tanah, air dan energi untuk semua manusia dan bukan hanya millik segelintir orang saja (private). Dan, keadilan Agraria bukan hanya menyoal kehidupan kemarin dan sekarang, lebih dari untuk kemashalatan hari esok dan yang akan datang. [AA]