Memotret Kerancuan Filantropi
Di setiap ada bencana semangat filantropi tampil di berbagai forum dan media, termasuk media elektronik televisi dan lembaga sosial. Sepanjang pengamatan penulis, geliat filantropi hanya temporer dan parsial. Temporer yaitu semangat filantropi muncul kala ada bencana dan meredup manakala bencana menghilang, dan ketika bencana tiba gerakan filantropi kembali semarak, dan seterusnya. Inilah model filantropi yang temporer.
Di lain pihak, gerakan filantropi juga parsial dan sektoral, yaitu dilakukan lebih sekadar ekspresi simpati atau peduli. Strategi perencanaan, penanganan, dan evaluasinya juga bersifat ala kadarnya, yang utama dana amal telah diaudit akuntan resmi sebagai tanggung jawab publik. Inilah kerancuan filantropi dari waktu ke waktu.
Jika mengambil contoh model fundraising seperti dikemukakan di atas, misalnya, lembaga pengelola masih menonjolkan egoisme sektoral. Artinya, setiap lembaga punya cara, target, dan wilayah masing-masing dalam penanganan bencananya. Tidak dipungkiri bahwa beberapa jaringan media elektronik berinisiatif melakukan fundraising untuk membantu dampak corona, namun ia juga ingin menampilkan citra institusinya. Respons masyarakat dengan cara ini terbukti rendah, terlihat dari hasil fundraising yang tidak signifikan. Sebab itu tidak heran hasil dari derma terkalahkan oleh pentas dana amal Didi Kempot seniman ternama yang berhasil meraup dana 2 Milyar rupiah hanya dalam dua jam.
Model Didi Kempot adalah model gerakan filantropi yang sangat inspiratif untuk tujuan kebaikan. Weber mengistilahkannya zwecktrational dan wertrational, yaitu tindakan sosial yang diarahkan untuk mencapai tujuan dan meraih nilai-nilai keadaban. Didi Kempot rela membagi waktu dan kepiawaian tarik suaranya mengetuk hati pemirsa untuk berderma dalam manangani dampak Covid-19. Ia berhasil menarik fansnya di tanah air bahkan mancanegara. Ini salah satu gerakan filantropi yang baik.
Model gerakan ini sebenarnya bisa digerakkan di berbagai forum beberapa lembaga filantropi, seperti ACT, DD, Rumah Zakat, BAZNAS, untuk menyebut beberapa contoh yang ada, berkoordinasi dengan BNPB. Betul BNPB bergerak dengan baik, tapi ia memiliki keterbatasan daya jangkau sosial dan finansial, karena mengandalkan dana APBN. Akhirnya, hanya satu cara pragmatisnya, negara memangkas anggaran. Ini akan hadir setiap saat, karena kita rancu dalam menempatkan gerakan filantropi.
Sebagai akar penyangga sosial dan finansial, filantropi akan selalu berdampingan dengan perkembangan masyarakat kala ada bencana atau tidak. Sebab itu perlu dirumuskan langkah strategis untuk menempatkan posisi filantropi menjadi tradisi dan urat nadi kehidupan masyarakat. Berikut adalah strategi filantropi yang menjadi penyangga dan penyeimbang pemerintah.
Pertama, sinergitas antar-lembaga. Lembaga filantropi pemerintah dan non-pemerintah dituntut untuk saling bersinergi berbagi data dan akses membantu pananganan Covid-19. Pemerintah hadir memfasilitasi lembaga-lembaga filantropi dalam fundraising bersama dan disalurkan khusus penanganan berbagai dampak Covid-19. Lembaga filantropi juga berani terbuka dalam pengelolaan dan orientasi kegiatan. Ini akan terjadi jika antar-lembaga memiliki literasi filantropi yang baik. Sinergitas akan menghilangkan egoisme kelembagaan. Karena kekuatan dan sumber energi saat ini ada di rakyat, bukan pemerintah sendiri. Modal sosial dan ekonomi ada di masyarakat. Sebab itu gerakan relawan dan berderma akan mengalir deras jika lembaga filantropi bersinergi dengan baik. Upaya ini akan memperteguh penanggulangan bencana dengan skala prioritas.
Kedua, memperkuat orientasi non-profit. Gerakan filantropi secara generik adalah kegiatan amal dan kebaikan, bukan tujuan profit. Arah ini akan memudahkan masyarakat terlibat secara sukarela. Pada sisi lain, orientasi non-profit berarti memberikan keterlibatan seluas-luasnya bagi masyarakat dari berbagai elemen, tanpa membedakan agama, suku, dan afiliasi politik. Maka transparansi dan keadilan dalam pengelolaan anggaran dan aktivitas sosial menjadi hal utama.
Ketiga, membangun kesadaran kolektif. Filantropi terbukti menjadi penyangga utama masalah sosial. Keunggulan ini akan menguat jika ia menjadi kesadaran kolektif masyarakat (collective consciousness). Inilah spirit utama filantropi. Karena setiap individu mulai tenaga, materi, dan pikiran akan tercurahkan untuk berbagi dan terlibat. Inilah kekuatan yang bisa memperkuat keadilan sosial dalam masyarakat.
Dari gambaran di atas, menjadi renungan bagi kita bersama bahwa filantropi telah menyadarkan kita betapa posisinya sangat strategis. Semoga kita bisa mewujudkan langkah di atas, dimulai dari kita dan dari yang kecil. [MZ]