Tak dapat dipungkiri bahwa Walisongo mempunyai peran yang sangat besar dalam penyebaran Islam di Indonesia. Strategi dakwah melalui konsep “akulturasi budaya” yang dilakukan Walisongo dapat diterima oleh masyarakat Indonesia yang sebelumnya memiliki kepercayaan Hindu-Budha. Para Walisongo sangat menghindari penyebaran Islam dengan cara politik, kekerasan, atau perebutan kekuasaan dengan tujuan tertentu. Justru sebaliknya para walisongo membudayakan agama di tengah-tengah masyarakat. Sikap moderat yang diambil oleh Walisongo dalam proses islamisasi mendapat dampak positif dari masyarakat pada waktu itu.
Mengutip dari Ahmad Baso dalam “Wali Songo Khittah kebangkitan Bangsa” bahwa islamisasi di Indonesia pertama kali bertolak dari kota Suci Makkah-Madinah. Adapun tokoh-tokoh yang menjadi utusan bukanlah seorang penguasa politik, agen-agen khilafah, bukan pula para komandan militer. Tetapi para ulama-waliyullah dan para sufi. Sumber infomasi yang menyebutkan kontribusi para ulama Makkah-Madinah-Baghdad-dan Aceh dalam islamisasi terdapat dalam teks-teks Nusantara jejaring Hikayat Raja-Raja Pasai seperti Hikayat Merong Mahawangsa.
Gerakan Kultural Walisongo
Dalam melakukan penyebaran Islam, Walisongo melakukan beberapa strategi agar dakwahnya mampu diterima oleh masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Pemahaman Walisongo terhadap keanekaragaman masyarakat sekitar menjadi faktor utama dalam mengambil keputusan untuk melakukan strategi dakwah guna menyebarkan Islam salah satunya adalah dengan memanfaatkan budaya lokal. Akulturasi budaya yang dilakukan walisongo menjadi dapat menjembatani antara budaya lokal dan Islam. Dalam prosesnya kebudayan lokal tetap dimanfaatkan sebagai instrumen kebudayaan Islam dan diisi dengan nilai-nilai Islam yang bersifat lebih substansi.
Gerakan kultural para wali merupakan dasar pengajaran dan pendidikan kultural yang diberikan kepada masyarakat. Adapun pengajaran dan pendidikan kultural tersebut tidak berangkat dari ruang kosong, artinya sebagai seorang sufi para wali setidaknya sudah mempunyai dasar serta pendukung atas apa yang mereka lakukan. Pertama, selain berpijak pada al-Qur’an dan hadist yang telah dipelajari dari kitab-kitab, mereka juga mempunyai guru-guru pembimbing untuk menggerakan –meminjam istilah Gusdur- Pribumisasi Islam di tengah-tengah masyarakat.
Kedua, perubahan dan perbaikan kultural yang dilakukan para wali berangkat dari ilmu dan strategi politik yang sangat hati-hati. Gerakan ilmu dilakukan melalui basis-basis yang telah dibangun untuk menanamkan kesadaran masyarakat Jawa dengan dasar-dasar Islam, yang mana praktiknya disesuaikan dengan keadaan Jawa pada waktu itu. Proses islamisasi dengan gerakan kultural tersebut didukung dengan tirakat-tirakat atas bimbingan para guru mereka. Nur Khalik Ridwan menyebutkan tiga jenis guru-guru para wali dalam melakukan Islamisasi secara rahmatan lil ‘lamain yaitu guru-guru tarekat yang wujud secara dhahir, Nabi Khidir, dan kanjeng Nabi Muhammad.
Produk Gerakan Kultural Walisongo
Secara historis memang Walisongo telah berhasil membangun serta membentuk masyarakat Muslim dalam lingkungan budaya Hindu, Budha, animisme, dan dinamisme yang sudah mengakar kuat di masyarakat. Salah satu kunci keberhasilannya adalah dengan gerakan kultural yang mana secara teknis dengan menggabungkan dua unsur yaitu budaya lokal dan Islam. Pengambilan budaya-budaya lokal sebagai isntrumen dalam mempromosikan niali-nilai Islam dapat dilihat dalam arsiteketur masjid Agung Demak, Wayang, serta kesenian islam yang bernuansa budaya lokal. Suparjo dalam artikelnya mencatat tiga bentuk akulturasi budaya yang dilakukan Walisongo
Pertama, Wayang. Pertunjukan wayang kulit yang pada waktu itu menjadi jenis pertunjukan kesenian favorit masyarakat, khusunya masyarakat Jawa. Proses islamisasi melalui kesenian ini dilakoni oleh Sunan Kalijaga yang menjadi dalang dengan melakonkan cerita “Layang Kalima Sada”. Adapun maksud dari lakon tersebut adalah dua kalimat syahadat, yang merupakan inti ajaran Islam. Selain itu Walisongo juga menggunakan wayang untuk membangun konstruksi sosial masyarakat yang beradab dan berbudaya. Untuk tujuan tersebut Walisongo menambahkan beberapa tokoh baru yang sebenarnya tidak ada dalam kisah asli Mahabarata dan Ramayana.
Kedua, arsitektur masjid. Dalam seni bangunan kita dapat melihat pada arsitektur masjid Agug Demak yang dianggap sebagai bentuk adopsi dari konsep masjid Timur Tengah dengan vihara, pura dan candi. Atap masjid yang tersusun tiga lapis dipandang sebagai bentuk dari Pura. Mustaka masjid yang berbentuk seperti nanas merupakan khas Indonesia. Model ini serupa dengan arsitektur Pura atau Vihara dalam budaya Jawa. Hal ini menunjukan bahwa arsitektur masjid yang disesuaikan dengan budaya setempat dirancang Walisongo sebagai pusat pengembangan Islam.
Ketiga, kesenian Islam bernuansa lokal. Dari sisi keseninan kita dapat menembukan banyak kreasi yang telah dilakukan Walisongo berupa tembang macapat, lagu-lagu pujian kegamaan, lagu-lagu dolanan, dan bentuk-bentuk permainan untuk anak-anak dan remaja. Tembang-tembang yang ditulis Walisongo sarat dengan nilai-nilai keislaman seperti ilir-ilir untuk lagu pujian kegamaan. Sedangkan untuk anak-anak remaja walisongo menciptakan lagu seperti Jublek-Jublek Suweng dan Jamuran. Selain lagu para wali juga menciptakan permainan untuk anak-anak seperti jitungan dan tremplo kendang. Lagu-lagu dan mainan tersebut sering dinyanyikan di sekitar masjid dengan harapan dapat mendekatkan anak-anak kepada masjid.
Produk-produk akulturasi budaya yang kita saksikan hari ini merupakan hasil dari pola komunikasi antara Walisongo dan masyarakat yang dapat menghadirkan rasa kekeluargaan diantara mereka, sehingga strategi dakwah melalui gerakan kultural yang dilakukan Walisongo diterima dengan mudah. Wallahua’lam