Aksin Wijaya Direktur Pascasarjana IAIN Ponorogo

Jangan Semuanya Menjadi Penyerang (Tanggapan terhadap Tulisan Dr. Aji Damanhuri)

3 min read

istockphoto

Tulisan sangat sederhana ini saya maksudkan untuk mengapresiasi tulisan kritis Dr. Aji Damanuri dalam tulisannya yang berjudul “Saya Malu Menjadi Dosen PTKI Saat Pandemi Melanda Negeri Ini” yang dimuat di Arrahim.id (08/04/2020). Saya kira, tulisan itu lebih menggambarkan pengalaman personal penulis. Sayangnya, dia menggeneralisasi menjadi persoalan Perguruan Tinggi Keislaman (PTKI) secara umum, utamanya pada IAIN Ponorogo, tempat dia mengabdi. Salah satu kritiknya adalah minimnya peran dosen PTKI dalam membantu masyarakat menghadapi Covid-19, yang dinilainya kalah jauh dari peran yang dimainkan pihak lain, baik di bidang penyadaran maupun aksi lapangan.

Saya ingin mengunakan analogi permainan sepakbola untuk mengapresiasi tulisan tersebut. Dalam permainan sepak bola, dari sebelas orang yang ada pada satu tim kesebelasan, masing-masing pemain mempunyai peran dan tugas sendiri-sendiri. Ada yang bertugas sebagai penyerang, gelandang, pemain bertahan, dan penjaga gawang dengan formasi masing-masing sesuai rancangan sang pelatih. Setiap pemain harus mengikuti strategi pelatih. Kalau setiap pemain memasuki gelanggang permainan tanpa mengetahui posisi dan perannya apalagi sampai mengambil alih peran pemain lain di dalam timnya, posisi dia akan dieksploitasi oleh lawan mainnya yang sejatinya dia hadapi di area itu. Dari sini, tim lawan akan dengan mudah memaksa penjaga gawang untuk memungut bola dari gawangnya sendiri, alias kebobolan.

Teori permainan sepakbola ini bisa kita gunakan sebagai analogi untuk melihat peran-peran dan tanggungjawab yang sejatinya dimainkan oleh dosen PTKI. Kalau melihat struktur sosial masyarakat Indonesia, kita akan mengetahui di mana peran dosen PTKI. Di sana, ada pemerintah, politisi, ekonom, aktivis sosial, dokter, pengusaha, kiai, dosen, dan guru. Masing-masing dari mereka mempunyai perannya sendiri-sendiri. Masing-masing pihak bertanggung atas perannya. Tidak boleh seseorang atau institusi mengambil peran pihak lain. Kalau ini dilakukan, akan terjadi kekacauan di masyarakat, sehingga keseimbangan masyarakat akan goyah.

Baca Juga  Keseriusan Menteri Agama dalam Menyikapi Masalah Pelayanan Jamaah Haji

Namun dalam situasi pandemi seperti saat ini, hal-hal yang seharusnya dimaikan oleh unsur-unsur yang ada di masyarakat sesuai perannya masing-masing dalam situasi normal itu justru harus ditinggalkan, bahkan jika perlu mengambil peran pihak lain. Karena kondisi yang tidak kondusif itu, pemerintah mengambil berbagai kebijakan terobosan, misalnya, meliburkan sekolah, perguruan tinggi, dan pesantren. Itu berarti, tugas-tugas kiai, dosen, dan guru harus ditinggalkan demi keselamatan masing-masing dan semua orang, karena virus ini menyebar begitu dahsyat tanpa bisa dideteksi oleh masyarakat.

Penyebaran virus ini justru melalui sesuatu yang pada kondisi normal dilakukan oleh dosen, kiai, dan guru, yakni mengajar dalam kelompok besar. Di situlah muncul gagasan tentang tinggal di rumah dan bekerja dari rumah. Akan tetapi ini bukan liburan. Semua profesi yang saya sebut tadi tetap menjalankan tugasnya, yaitu memberi pengajaran dan pencerahan kepada siswa, santri, dan mahasiswa.

Dalam situasi seperti ini, dosen pun memanfaatkan peran dan tanggung jawabnya sebagai pengajar untuk mengajar mahasiswa melalui sistem daring, dengan memanfaatkan beragam media, seperti WA Group, Youtube, Teleconference, dan sebagainya. Memang, pengajaran via daring ini tidak semaksimal pengajaran dalam bentuk tatap muka langsung. Selain dipisah oleh jarak fisik dan psikologis, tidak semua dosen dan mahasiswa bisa menggunakan perangkat yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kuliah daring. Di samping itu, kuliah daring juga sering terkendala oleh ketakcukupan kuota internet orang-orang yang terlibat.

Karena itu, banyak waktu kosong selama tinggal di rumah. Dosen semestinya memanfatkan waktu luang di rumah sesuai dengan bidang kerjanya, salah satunya adalah menulis. Jika ada dosen yang memiliki kemampuan untuk terjun ke lapangan menyelamatkan para korban pandemi, itu sungguh mulia. Tapi jika ada seorang dosen yang menulis untuk melakukan pencerahan masyarakat, dia tidak kalah bajiknya. Jika pun itu dianggap kurang maksimal, setidaknya dia telah melakukan sesuatu sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya.

Baca Juga  Merosotnya Pernikahan Dini dalam Lensa Fenomenologi Husserl

Cara pandang saya ini setidaknya didukung oleh salah satu kaidah fiqh: Mā lā yudraku kulluh, lā yutraku kulluh (Sesuatu yang tidak bisa diambil semua, ya jangan ditinggal semua). Sesuatu yang bisa dilakukan walau sedikit, ya lakukanlah!

Menyadari kondisi itu, kita bisa memanfaatkan waktu selama kerja dari rumah itu dengan menuangkan gagasan-gagasan yang mencerahkan melalui berbagai tulisan. Karena inilah salah satu peran yang bisa kita mainkan tanpa menegasikan peran-peran lainnya yang bisa memberi manfaat pada masyarakat. Tentu saja, apa yang kita lakukan ini tidak bersifat bendawi, dan tidak membuahkan hasil yang bersifat nyata, sebagaimana peran yang dimainkan kelompok lain, misalnya, oleh pengusaha yang membantu sisi ekonomi masyarakat yang terkena dampak Covid-19; dokter yang mengobati orang yang terinveksi; atau para periset kesehatan yang meneliti dan berusaha menemukan vaksin.

Apa yang kita lakukan sebagai dosen PTKI dengan tulisan itu setidaknya membantu mencerahkan masyarakat di bidang pemikiran dan keagamaan yang hingga saat ini tidak jarang terjebak dalam informasi yang dipenuhi kebencian atas nama agama, bahkan saat ketika pandemi Corona membahayakan nyawa ribuan orang. Bukan hanya nyinyir terhadap pemerintah yang memang tidak mereka dukung secara politis, tetapi juga terhadap dua organisasi besar yang sangat besar kontribusinya kepada Indonesia, seperti NU dan Muhammadiyah.

Kedua organisasi keislaman ini (termasuk MUI) di-bully di media sosial justru karena memberi panduan kepada umatnya bagaimana cara beragama yang sehat dan rasional. Misalnya, kedua organisasi itu mengeluarkan fatwa larangan salat berjemaah, salat jum’at, salat tarawih, salat hari raya, istighasah dan hal-hal lainnya yang berpotensi mengakibatkan menjalarnya virus yang mematikan ini.

Atas dasar itulah, dosen PTKI jangan dipaksa mengambil peran yang dimainkan pihak lain. Peran dosen PTKI adalah menebar wacana, terutama wacana keagamaan, baik melalui lisan maupun tulisan. Tentu saja, tidak ada salahnya melakukan aksi lapangan sesuai kemampuan masing-masing. Apa yang disuarakan Sdr. Aji Damanuri sebenarnya adalah sumbangsihnya yang besar dalam posisinya sebagai dosen PTKI, yakni menebar wacana yang mencerahkan. Namuan karena terlalu bersemangat, dia sendiri mungkin tidak sadar atau malah tidak menghargai sumbangan wacananya yang sangat besar itu.

Baca Juga  Gus Dur dalam Kenangan Masa Kecilku

Karena itulah, kembali lagi ke sepakbola, jangan semuanya menjadi penyerang. Harus ada yang menjadi pemain bertahan, gelandang, dan penjaga gawang, kalau tidak mau tim anda kebobolan. Terjun langsung ke lapangan layaknya seorang penyerang, memang diperlukan. Tapi, tak harus semuanya terjun ke lapangan. Tetap harus ada yang bertugas menggali dan menuangkan gagasan-gagasannya di belakang meja, agar pencerahan di masyarakat tetap terjaga. [AZH & MZ]

Aksin Wijaya Direktur Pascasarjana IAIN Ponorogo

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *