Ustaz Ahmad Z. El-Hamdi Ustaz Milenial Tinggal di Sidoarjo

Kerakusan Manusia itu Tidak Ada Batasnya

3 min read

Dunia ini cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan manusia, tapi tak akan cukup memuasi kerakusan segelintir orang. Mengapa? Karena kerakusan itu tidak ada batasnya. Kerakusan itu tidak dibatasi oleh ukuran mulut, pun luasnya perut. Kerakusan itu meluas tanpa batas. Tidak ada apapun yang bisa memenuhinya. Dia meminta terus dan terus tanpa henti sekalipun seisi dunia telah ditelannya.

Dalam kitab “Ma dha Khasir al-Alam bi Inhithath al-Muslimin” Abu al-Hasan al-Nadwi menggambarkan kerakusan manusia sebagai berikut:

“تضخَّمت معِدةُ الحِرصِ في الإنسان؛ حتى صارت لا يُشبعُها مِقدارٌ من المال، وتَوَلَّدَ في الناسِ غليلٌ لا يُرْوى، وأُوار لا يُشفى، وأصبحَ كلُّ واحدٍ يحملُ في قلبِه جهنمَ لا تزالُ تبتلعُ وتستزيدُ، ولا تزال تنادي: هل من مزيد؟ هل من مزيد؟”.

“Perut yang rakus itu meluas sedemikian rupa dalam diri manusia, sehingga tidak lagi bisa dipuasi oleh berapapun banyaknya harta; kemarahannya tidak bisa dipadamkan; rasa sakitnya tidak bisa disembuhkan. Tiap orang membawa jahanam di dalam hatinya yang terus menelan apa saja tapi terus meminta lebih dan lebih”.

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, suatu hari Ibnu ‘Abbas mendengar Rasulullah bersabda:

لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ثَالِثًا، وَلاَ يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ ‏”‏‏.‏

“Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.”

Setiap kali kita membicarakan kerakusan, kita biasanya akan menyorotkannya pada orang lain. Kita akan menyelidik orang-orang kaya, sambil bertanya-curiga, “Mengapa mereka bisa kaya?; Dari mana hartanya?; Kalau mereka kaya karena bekerja, kok rasanya tak wajar?; Seberapa rakus mereka sehingga bisa mengumpulkan harta sebanyak itu?”; dsb

Pertanyaan-pertanyaan itu wajar-wajar saja. Tapi yang harus kita sadari adalah bahwa setiap manusia memiliki potensi kerakusan dalam dirinya. Jika kita sekarang dalam keadaan tidak cukup memiliki harta, tidak mesti karena kita tidak rakus. Bisa jadi ini soal kesempatan. Kita miskin bukan karena kita tidak rakus terhadap harta, tapi bisa jadi karena tidak memiliki kesempatan untuk menumpuk-numpuk harta. Begitu ada kesempatan, kita bisa jadi lebih rakus dari orang kaya yang selama ini kita nilai sebagai si perakus harta.

Baca Juga  [Cerpen] Soto Mang Asep, Bonus Pertunjukan Drama

Karena itu, Allah menyediakan cara bagi kita untuk menguji kerakusan kita melalui puasa. Perintah puasa itu unik. Kok bisa-bisanya Allah melarang sesuatu yang itu di hari-hari biasa sepenuhnya diperbolehkan, bahkan dalam beberapa hal dianggap sebagai ibadah: makan, minum, bercinta, dsb. Tiba-tiba, itu semua diminta untuk dihentikan dalam rentang waktu tertentu.

Maunya apa? Apakah Allah berharap kita sakit? Tidak juga, karena begitu kita sakit, Allah memperbolehkan kita tidak puasa. Bahkan orang yang tidak sakit tapi memiliki kesengsaraan fisik tertentu, semisal orang dalam perjalanan atau orang yang berusia tua, diperkenankan tidak berpuasa dan menggantinya. Bahkan berbagai temuan medis menyatakan bahwa aktivitas puasa termasuk salah satu aktivitas yang menyehatkan.

Apakah Allah menginginkan kita mati pelan-pelan? Sudah pasti tidak. Jangankan mati, sakit saja Allah tidak menghendakinya. Untuk memastikan bahwa praktik puasa tidak menjadi sarana bagi manusia menuju kematian adalah larangan bagi setiap Muslim untuk tidak berbuka puasa. Kalau ada yang sudah waktunya buka puasa tapi tetap melanjutkan puasanya, Allah mengharamkan. Jadi jelas, puasa bukan praktik penyiksaan tubuh menuju kematian.

Allah sendiri menyatakan bahwa manusia diperintah bepuasa agar mencapai derajat muttaqin (orang yang bertakwa) sebagaimana dalam surat al-Baqarah 183:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu untuk berpuasa sebagaima telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”.

Derajat takwa ini tentu tidak main-main. Takwa dijadikan Allah sebagai parameter dalam melihat kemuliaan manusia, sebagaimana firman-nya dalam al-Hujurat 13:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Nah, menarik untuk melihat ciri-ciri siapa orang yang bertakwa ini. Ada beberapa bagian dalam al-Qur’an di mana Allah langsung merinci kriteria muttaqin (orang yang bertakwa). Misalnya, di dalam surat al-Baqarah ayat 3, 4, 77 dan surat Ali Imran ayat 134-135. Di seluruh ayat ini, Allah menjelaskan seorang muttaqin adalah mereka yang mengiman-Nya dengan seluruh dimensi metafisiknya dan menafkahkan hartanya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan, di samping beberapa praktik baik kemanusiaan lain.

Baca Juga  Semua Paham Puritan Mewarisi Pemikiran Ibnu Taimiyyah

Bagaimana puasa bisa membuat kita menjadi muttaqin? Salah satu caranya adalah mengenali sisi kerakusan dalam diri kita. Mari kita merenungkannya!

Kita yang sudah terbiasa makan mulai pagi hingga malam, tiba-tiba harus menghentikan rutinitas itu. Masalahnya adalah larangan makan minum itu bukan di malam hari, saat waktunya istirahat dan tidur. Tapi larangan itu ada siang hari, saatnya kita beraktivitas, merasakan teriknya matahari, di mana tubuh memerlukan makan dan minum untuk menunjang aktivitas kita. Karena itu, ketika kita dilarang makan dan minum di siang hari, larangan rasanya setengah mati.

Nah, di sinilah kita menemukan apa yang disebut liminalitas. Kata “liminal” berasal dari kata Latin “limen”, yang berarti ambang. Berada di ruang liminal berarti berada di tebing sesuatu yang baru tetapi belum cukup sampai di sana. Kita sebetulnya selalu berada dalam ruang liminal baik secara fisik, emosional, atau metaforis karena faktanya, “life is just one liminal space between birth and death” (kehidupan adalah sebuah ruang liminal antara kelahiran dan kematian).

Masalahnya adalah rutinitas hidup sehari-hari tidak lagi menyadarkan kita bahwa kehidupan sesungguhnya adalah ruang liminal. Karena itulah perlu ada momen-momen tertentu untuk memberi pengalaman manusia menyadari ruang liminal itu.

Mengapa pengalaman liminalitas penting? Pengalaman liminal itu akan memaksa manusia untuk menumbuhkan kesadaran. Keberhasilan manusia dalam melampaui kondisi liminalitas selalui membuahkan pencerahan dan perubahan mendasar dalam hidup seseorang.

Puasa adalah ruang liminalitas bagi kita untuk keluar dari rutinitas. Begitu kita mengalami kelaparan dan kehausan di saat justru kita membutuhkan makan dan minum, kita akan membayangkan momen berbuka yang merupakan batas akhir puasa dan awal makan-minum. Ketika kita membayangkan momen berbuka saat kita sedang merasakan lapar dan haus karena puasa, kita cenderung membayangkan akan makan dan minum apa saja yang kita inginkan. Saat puasa, kita mengumpulkan apa saja dan berharap bisa mengkonsumsinya saat buka nanti.

Baca Juga  Lontara Latoa: Transformasi Politik Islam di Tanah Bugis (Bag. 1)

Akan tetapi, perut ternyata menyadarkan kita akan kebutuhan objektif yang kita miliki. Saat berbuka puasa, perut hanya bisa menampung sepiring nasi, segelas air, dan beberapa potong roti dan buah. Cukup! Lalu di mana tumpukan makanan yang kita bayangkan atau kita kumpulkan saat kita merasa hampir mati karena puasa di siang hari? Makanan dan minuman itu tidak bisa lagi dimasukkan ke dalam perut.

Pilihannya adalah kita simpan atau kita buang. Jika kita memilih menyimpannya, kemungkinan terbesarnya akan jatuh di tempat sampah juga. Kecuali jika kita membunuh mental kerakusan kita sehingga simpanan makanan itu sesuai dengan kebutuhan objektif kita.

Begitulah! Melalui puasa kita menyadari bahwa di dalam diri kita bersemayam mental kerakusan. Melalui puasa kita tahu perbedaan antara kebutuhan dan kerakusan. Kebutuhan ada batasnya, sedang kerakusan tidak ada batasnya. Batas kerakusan adalah saat perut kita dipenuhi oleh tanah, yaitu kematian.

Menyadari kerakusan diri itu penting. Kesadaran ini akan membuat kita tidak melanggar hak-hak orang lain. Kesadaran ini akan membuat kita berempati terhadap kesengsaraan orang lain. Kesadaran ini pada akhirnya membawa kita ke sikap-sikap dan perilaku mulia dalam beragama. Bahwa, beragama tidak hanya tentang menyembah kepada Allah, tapi juga berperilaku mulia kepada sesama. Dan, inilah yang disebut sebagai takwa.(mmsm)

 

Ustaz Ahmad Z. El-Hamdi Ustaz Milenial Tinggal di Sidoarjo