M. Chusni Farid Wajdi Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

[Cerpen] Soto Mang Asep, Bonus Pertunjukan Drama

3 min read

Soto mang Asep yang terkenal lezat pagi ini sudah ramai dikunjungi para pelanggan setianya. Menurut orang-orang, kelezatan rasa soto mang Asep ada pada kuahnya: kuning kental penuh campuran rempah yang harum dan menggoda selera.

Selain rasanya yang khas, para pelanggannya kerap mendapatkan pertunjukan drama gratis. Pemainnya tidak lain adalah mang Asep dan istrinya sendiri. Mereka sering bertengkar, salah satunya, karena masing-masing salah memahami pesanan pelanggan. Tak jarang akibat ego, keduanya sering berseteru tanpa mengenal situasi dan kondisi. Seperti pada pagi ini, ketika warungnya sedang ramai oleh para pelanggan.

***

Drama suami istri itu baru dimulai, ketika aku memarkir sepeda tepat di samping gerobak sotonya. Semua pelanggan saat itu terdiam. Memperhatikan dengan saksama adegan demi adegan pertengkaran. Seakan lupa mereka ke situ untuk membeli soto.

***

“Tolong ambilkan lontong, dipotong lalu cepat layani yang lain!” Perintah mang Asep kepada istrinya. Nampaknya pagi itu ia merasa risih akibat ocehan dari dua anak kecil yang sedari tadi  terus saja nyerocos tiada henti. Mengulang-ulang pesanannya seolah mang Asep dan istrinya tak mendengar. Mungkin sang bocah ingin segera cepat dilayani.

Sang istri tak ubahnya seperti mang Asep sendiri, tak bisa disuruh dengan nada mendesak. Ia masih sempat melongo, diam sejenak mencari fokus mana yang terlebih dahulu, perintah suaminya atau pelanggan  disebelahnya yang baru saja datang dan memesan dua porsi soto.

“Cepat buk!!! Kok malah melamun, lihat sekitar! Pelanggan makin lama menunggu dengan wajah bosan”. Sergah mang Asep, kali ini ia menggoyangkan bahu istrinya setelah beberapa detik tampak diam tak bergerak.

“Ia sabar yah, satu-satu aku bingung, lagi mumet. Semua pasti dilayani kok”. Balas istrinya sedikit ketus dan raut mukanya mendadak berubah. Ia mengambil pisau lalu mulai memotong lontong.

Baca Juga  Tadarus Litapdimas [6]: Islamic Clicktivism; Internet, Demokrasi, dan Gerakan Islamis Kontemporer

Mang Asep pun demikian, menampakkan wajah  kesal, ekspresinya berubah. Dahinya berkerut melipat tiga. Pandangan matanya mendelik tajam ke arah istrinya namun senyumannya tersungging dari kedua bibirnya. Ia seperti akan marah tapi tertahan.

Aku perhatikan lamat-lamat ekspresi mereka, keduanya bermuka masam dan keruh. Sama-sama menampakkan wajah kesal.

“Baru pertama kali ini aku membeli soto dan diiringi dengan drama.” Gumamku dalam hati.

“Tunggu sebentar nak. Jangan buru-buru, kembaliannya dihitung dalu!” Cegah sang istri pada seorang pembeli.  Mang Asep kembali mendelik tajam seolah ada yang tidak beres.

“Tadi terpakai 13.000 jadi kembalinya 7.000,” mang Asep kembali membuka pembicaraan namun respon sang istri justru tak enak.

“Iya tahu yah, sudah lanjutkan layani yang lain, sana! Masih banyak yang antri. Cepat selesaikan!”. Sang istri menimpali dengan kecut, ia sudah terlanjur kesal dengan bentakan sebelumnya. Suasana hatinya pun mendadak tidak karuan, senada dengan air mukanya yang makin lama makin keruh.

Mang Asep sudah tidak tahan lagi dengan emosi yang terus bergejolak dalam dirinya.  Ingin rasanya segera ia tumpahkan. Namun  enggan karena bisikan hati kecilnya  untuk tetap bertahan.

Tidak mungkin ia tumpahkan emosinya sekarang. Terlebih, banyak pelanggan yang pasti akan melihatnya nanti. Gelagatnya yang sedari tadi sudah cukup menjadi tontonan. Secara tidak langsung ia dan istrinya menjadi wayang pada pagi penuh drama tersebut.

***

Keadaan sekitar mulai melenggang, satu pelanggan selesai, tinggal satu bocah, dua perempuan paruh baya, dan aku. Mang Asep dan istrinya masih sempatnya-sempatnya berseteru, keduanya melanjutkan persoalan  yang belum tuntas.

“Tadi kembalianya benar tidak?” Mang Asep yang membuka percakapan.

“Iya benar, sudah lanjutkan pekerjaan.” Sang istri menjawab sekenanya, seolah pertanyaan tersebut tak pantas kembali terlontarkan. Ia yakin uang kembaliannya benar. Dan tidak ingin mengungkit masalah sebelumnya.

Baca Juga  Kerakusan Manusia itu Tidak Ada Batasnya

Kali ini mang Asep sepertinya sudah muak dengan respon istrinya yang lagi-lagi menjawab dengan ketus dan kecut. Seperti tidak berniat untuk menjawab dan merasa paling benar.

Sebenarnya ia bertanya hanya untuk mengkroscek ulang. Mungkin respon sang istri yang terlampaui sensitif, sehingga  beranggapan dirinya ingin semakin memperkeruh keadaan.

Mang Asep pergi melenggang ke belakang, tanpa berucap sepotong kata pun. Para pelanggan yang melihatnya pun menghela nafas panjang. Seolah ikut merasakan cipratan gejolak darinya. Hingga satu mulut pelanggan tak sengaja terucap dengan nada keheranan dan separuh menyindir. “Masih pagi kok sudah kumat, Sep… Sep.”

“Ya memang begitu adanya bu, suami saya orangnya. makanya aku harus mempunyai usus panjang untuk menghadapinya.” Sang istri menyaut, seolah menjawab pernyataan yang terlontar dari salah satu pelanggannya.

Aku hanya diam membisu memperhatikan tingkah mang Asep yang demikian. Mudah tersinggung dan marah akibat hal sepele sekalipun.

***

Dua pesanan ibu-ibu paruh baya berjalan dengan mulus. Pelayanan sang istri sigap dan tangkas. Mulai dari memotong lontong, daging ayam hingga mengambil bihun sesuai dengan takarannya. Ia lakukan dengan cepat. Tak ada mang Asep, tak ada drama. Tak ada perseteruan. Dan tak ada pelanggan yang menghela napas panjang.

Tibalah pesanan giliranku, satu porsi soto tidak pedas tanpa taburan kacang dan dibungkus.

Istri mang Asep mulai melayani pesananku, ia mengambil lontong kemudian dipotongnya dengan sigap. Tiba-tiba mang Asep  datang dengan membawa satu kotak penuh bawang polong, menaruhnya dan mulai ikut membantu istrinya.

Untuk menghindari kesalahan, aku berinisiatif untuk mengulang kembali pesanan yang baru saja dibuat. “Satu porsi soto tidak pedas tanpa taburan kacang dan dibungkus”.

Baca Juga  Bersahabat dengan Seorang "Ateis-Religius"

Mang Asep mulai mengambil posisinya untuk melayani pelanggan, termasuk diriku. Perlahan ia membuka plastik kemudian memasukan potongan lontong, dan…

Ketika hendak menaburi kacang, langsung ku cegah, “aduh jangan mang, gak pakek itu”. Tangannya mendadak terhenti, menuruti perintahku. Dan lagi, ku ulang kembali  pesananku agar tidak terjadi kesalahan.

Lagi-lagi mang Asep sepertinya tidak mendengarkan ucapanku, ia hampir saja menuangkan sambal dalam soto pesananku. Aku cegah dengan nada sedikit naik. Batinku sedikit kesal, kok bisa-bisanya baru diucapkan malah lupa. Terlebih posisiku saat itu tepat disebelahnya. Gumamku dalam hati tak henti-hentinya.

Kuah soto dituangkan dalam plastik, byur.. potongan lontong, suiran ayam dan bihun tersirami. Baunya semerbak harum mengundang selera, ujung plastik diikat lalu dibungkus. Pesananku sudah siap.

Tibalah saat pembayaran, uangku pecahan dua puluh ribuan. Sudah kusodorkan dan  tinggal menunggu kembalian. Mang Asep masuk ke dalam untuk mengambil receh. Setibanya dihadapanku, ia menyerahkan satu lembar pecahan lima ribu rupiah.

Aku  mendadak ingin bertanya, sebenarnya berapa harga satu porsi soto tersebut. Belum sempat membuka mulut,  mang Asep langsung menyerocos memotong.

“Itu kembaliannya segitu, harga soto pagi ini mendadak naik. Karena kamu sudah menonton drama kami pagi ini. Anggap saja sebagai tiketnya,” celetuk mang Asep. Aku hanya terpana kosong. Mengernyitkan dahi menatapnya dengan penuh keheranan.

“Dan, ada satu informasi yang belum kamu ketahui, ini hanya drama”. Seraya menyerahkan sisa uang kembalian yang tersisa. [AA]

M. Chusni Farid Wajdi Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Maulana Malik Ibrahim Malang