Ibnu Taimiyyah (1263-1328) adalah pembaru yang memberikan arti terminologis lebih konkret tentang prinsip kembali kepada dua sumber primer Islam, Alquran dan hadis. Dalam pandangannya, penerapan prinsip tersebut dilakukan dengan menafsirkan kembali dua sumber primer tersebut, agar potensi dinamis ajaran Islam yang tidak mengemuka bisa diaktualisasikan. Menurutnya, dengan instrumen ijtihad penggalian terhadap potensi dinamis ajaran Islam akan dapat dilakukan.
Ibnu Taimiyyah memandang ijtihad harus selalu dipergunakan untuk menjadikan ajaran Islam mampu mengakomodir ragam perubahan. Karena itu, Ibnu Taimiyyah tidak hanya memiliki reservasi terhadap hasil ijtihad para ulama sebelumnya, tetapi juga banyak mengritik hasil penafsiran mereka yang telah membentuk berbagai disiplin ilmu, mulai dari teologi, hukum, sufisme sampai filsafat.
Sikap Ibnu Taimiyyah ini tidak berarti pengingkaran terhadap khazanah intelektual Islam. Sikap kritisnya dilakukan untuk menegaskan bahwa kebenaran hasil penafsiran para ulama tadi tidak akan pernah absolut dan karenanya harus selalu diterima dengan penuh reservasi. Dengan menafsirkan kembali dua sumber primer Islam tersebut, kapasitas manusia untuk beraudiensi dengan al–Shāri‘ (Tuhan)—menurut Ibnu Taimiyyah—dapat lebih mengemuka dan pada gilirannya akan terbentuk pemahaman terhadap ajaran Islam yang lebih autentik.
Dengan tingkat intensitas yang berbeda, pemikiran Ibnu Taimiyyah banyak mempengaruhi pemikiran para pembaru puritan berikutnya. Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (1703-1791) yang pembaruannya sangat menekankan aspek pemurnian aqidah termasuk salah satu dari mereka. Meskipun Ibn ‘Abd al-Wahhab tidak melakukan penafsiran ulang seperti yang dilakukan Ibnu Taimiyyah, gerakannya dalam purifikasi/pemurnian aqidah tersebut tetap mewarisi sikap Ibnu Taimiyyah yang terkenal sangat ketat dalam menerapkan doktrin tauhid (uncompromising monotheism).
Seperti halnya Ibnu Taimiyyah, kaum Wahhabi juga sangat keras menentang praktik taqlīd, meskipun upaya pemberantasan praktik taqlīd tidak dibarengi dengan tindakan melaksanakan ijtihad. Bahkan, mereka sengaja mengesampingkan upaya reinterpretasi terhadap sumber primer Islam dengan instrumen ijtihad dan menerima tanpa reservasi semua hasil ijtihad ulama abad pertama dan paruh pertama abad kedua Hijrah. Sikap kaum Wahhabi yang tidak melakukan ijtihad dalam pembaruannya ini sangat bertentangan dengan komitmen kaum pembaru yang senantiasa mengagungkan upaya ijtihad.
Paham Wahhabi yang menerapkan prinsip monotheism dengan ketat membuat para pengikut Ibn ‘Abd al-Wahhab ini tidak pernah bisa berkompromi dengan berbagai praktik keagamaan populer. Mereka menganggap bermacam praktik keagamaan populer sebagai indikasi terjadinya sikap permisif masyarakat Muslim terhadap sistem keyakinan lain dan karenanya telah mendistorsi kemurnian aqidah Islam mereka.
Seperti lazimnya kaum puritan, mereka selalu mengklaim bahwa satu-satunya pemahaman terhadap ajaran Islam yang autentik adalah pemahaman versi mereka. Sikap eksklusif seperti itu mendorong terbentuknya perilaku antagonistik kaum Wahhabi terhadap sesama Muslim yang dalam pandangan kaum Wahhabi, aqidah mereka telah sesat dan karenanya harus dimurnikan meskipun dengan cara kekerasan.
Pandangan seperti itulah yang membuat kaum Wahhabi cenderung bertindak anarkis. Mereka merusak berbagai situs makam penting dalam sejarah Islam yang mereka anggap menjadi sumber kemusyrikan bagi para peziarahnya.
Meskipun aktualisasi gerakan kaum Wahhabi lebih menampakan watak puritanisme dari ada watak reformisme, mereka tetap memiliki kontribusi dalam wacana pembaruan Islam. Mereka mempunyai andil dalam mendiseminasikan berbagai pemikiran progresif melalui penerbitan karya Ibnu Taimiyyah.
Seperti diketahui bahwa “sebagian masyarakat Muslim” tidak menyetujui publikasi karya Ibnu Taimiyyah, karena karya-karyanya dianggap mengandung pemikiran yang dapat menebarkan paham keagamaan yang sesat. Melalui upaya kaum Wahhabi inilah, karya yang sebelumnya terisolasi dari wacana pemikiran Islam dapat terpublikasikan.
Dengan publikasi ini, kaum Wahhabi telah mendorong terbentuknya minat pengkajian bukan hanya terhadap pikiran Ibnu Taimiyyah, tetapi juga pemikiran muridnya Ibn Qayyim al-Jawziyah, yang berperan baik dalam mempublikasikan maupun mengembangkan dasar-dasar pemikiran gurunya.
Gerakan Wahhabi yang menunjukan sikap agresif dalam mendakwahkan paham keagamaannya membuat ajaran Wahhabi tersebar ke berbagai kawasan dunia Islam. Dari sekian kawasan tersebut, India merupakan daerah subur bagi penyebaran ajaran Ibn ‘Abd al-Wahhab di beberapa tahun yang lalu. Ajaran puritanisme yang semula dikembangkan Ibn ‘Abd al-Wahhab dan kemudian didakwahkan dengan menggunakan kekuatan senjata oleh Muhammad b. Sa’ud ini dibawa masuk ke India baik oleh para penganjur Wahhabi sendiri maupun oleh para jemaah haji.
Terdapat tiga kelompok puritan di India yang paham keagamaannya didasarkan pada ajaran Ibn ‘Abd al-Wahhab. Salah satu diantaranya adalah Tariqah Muhammadiyah yang ajaran pokoknya berpangkal pada upaya pemurnian aqidah. Bagi para pengikut paham ini, keabsahan semua ibadah sangat ditentukan oleh murni dan tidaknya aqidah seseorang. Karena itu, seseorang tidak memiliki pilihan lain kecuali mengupayakan tebentuknya aqidah yang benar. [Arthur Jeffery, Muslim World].
Kelompok puritan lain yang sejenis dengan Tariqah Muhammadiyah adalah Ahlul al-Hadis. Kelompok puritan yang disebut terakhir ini sangat membatasi peran ra’y (rasio) dan karenanya tidak memiliki kepedulian terhadap ijtihad. Sebagaimana kaum Wahhabi, penganut Ahlul al-Hadis mengutamakan penggunaan hadis sampai pada tingkat, dimana normativitas yang diaktualisasikan dari pernyataan hadis tersebut dapat menutup peran ra’y. Sama dengan kaum Wahhabi, penganut paham ini juga hanya menggunakan hadis sebagai satu-satunya sandaran untuk menentukan sah atau tidaknya sebuah tradisi agama. [Arthur Jeffery, Muslim World].
Gerakan puritan terakhir di India yang sering dikaitkan dengan paham Wahhabi adalah Fara’idi. Seperti dapat dibaca dari namanya, gerakan Fara’idi menegaskan perlunya kembali kepada kewajiban-kewajiban pokok dalam Islam saja. Karena itu, segala bentuk ibadah yang tidak dinyatakan secara eksplisit harus ditinggalkan. [Arthur Jeffery, Muslim World].
Dengan kata lain, paham ini tidak hanya ingin mengikis praktik keagamaan yang tidak langsung diperintahkan dalam Alquran dan hadis, tetapi juga menuntut kepastian akan terselenggaranya berbagai keawajiban pokok dalam ajaran Islam.
Beberapa gerakan puritan yang muncul dalam kurun waktu yang hampir bersamaan tersebut mengindikasikan adanya kebutuhan universal akan perubahan sikap terhadap berbagai praktik keagamaan yang telah ditradisikan komunitas Muslim selama berabad-abad. Bahkan, masih terdapat beberapa gerakan lain yang menyuarakan paham puritanisme serupa dan muncul dalam kurun waktu yang tidak jauh berbeda pula. Misalnya, gerakan Sanusiyah di Libya, Fulani di Negeria dan Paderi di Indonesia.
Semua gerakan tersebut mewarisi pemikiran Ibnu Taimiyyah yang berpangkal pada upaya memurnikan aqidah yang dalam proses waktu telah terkontaminasi dengan unsur keyakinan eksternal serta upaya mengembalikan ajaran Islam kepada bentuk asalnya yang simpel, dengan cara melepaskannya dari berbagai interpretasi yang tidak proporsional.
Semua gerakan pembaruan pra-modern diikat oleh sebuah persamaan paradigma yang pada prinsipnya menekankan pada upaya pemurnian ajaran Islam, baik yang terkait dengan aqidah maupun ibadah.
Di samping persamaan tersebut, gerakan pembaruan pada era ini juga sama-sama mengetengahkan wacana pemikiran keagamaan abad pertengahan, di mana konsep puritanisme sangat berkaitan dengan prinsip kembali kepada dua sumber primair Islam, Alquran dan hadis serta menjadikan tradisi yang diamalkan kaum salaf sebagai referensi dalam membentuk perilaku keberagamaan.
Para pembaru puritan menganggap bahwa masa Rasulullah, al-Khulafā’ al-Rāshidūn dan dua generasi sesudahnya merupakan perwujudan dari sebuah tatanan ideal (the Islamic era par-excellence). Sedangkan era yang datang berikutnya adalah masa yang rentan terhadap distorsi dan penyelewengan.
Pandangan seperti itu didasarkan pada sebuah hadis yang menyatakan bahwa, “Masa terbaik adalah masa generasiku dan kemudian disusul oleh masa generasi sesudahku serta generasi yang datang setelah itu.”
Dari pandangan seperti itu maka karakter pembaruan era ini menyiratkan watak konservatif, di mana pemikiran pembaruan selalu berkisar pada upaya mempertahankan sikap-sikap lama sebagai acuan untuk melakukan koreksi terhadap “kekeliruan” yang terjadi pada masa berikutnya.