Kebanyakan di antara kita bukan seorang mufassir profesional. Untuk menjadi seorang mufassir profesional sangat sulit, setidaknya jika merujuk pada berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh para ahli tafsir. Misalnya, Imam Jalaluddin al-Suyuthi (w. 1505 M) menyebutkan ada lima belas syarat yang harus dipenuhi bagi seorang mufassir: bahasa, nahwu, sharaf, isytiqaq, ma’ani, bayan, badi’, qira’at, ushul al-din, ushul al-fiqh, hadits-hadits yang menjelaskan ayat-ayat yang umum dan khusus, dan ilmu mauhibah. Persyaratan ini bisa lebih banyak lagi jika syarat-syarat yang disusun para ahli tafsir diakumulasi, karena setiap ahli tafsir memiliki daftar syarat yang berbeda-beda.
Tentu saja, seluruh persyaratan itu diperlukan agar al-Qur’an tidak dipahami secara ngawur. Apalagi, tafsir telah menjadi disiplin ilmu tersendiri. Sebagaimana setiap disiplin ilmu, dia memiliki sistem dan perangkat metodologinya serta standar kesahihannya sendiri. Setiap disiplin keilmuan memiliki para pakarnya yang dengan kepakarannya, mereka otoritatif untuk menjelaskan bidang ilmu tersebut. Tak terkecuali ilmu tafsir. Sepenuhnya wajar dan bisa dipahami oleh masyarakat ilmiah.
Sekalipun demikian, al-Qur’an juga menyatakan dirinya sebagai sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia sebagaimana dalam al-Baqarah ayat 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda”.
Hampir semua mufassir tidak melakukan pengkhususan apapun atas kalimat “هُدًى لِلنَّاسِ” (petunjuk bagi umat manusia). Misalnya, al-Thabari memaknai “هُدًى لِلنَّاسِ” sebagai “رشاداً للناس إلـى سبـيـل الـحقّ (Petunjuk bagi manusia menuju jalan kebenaran). Artinya, al-Qur’an punya kemampuan di dalam dirinya untuk menyentuh jiwa setiap orang yang mendengarnya, tidak peduli apakah dia seorang mufassir ataupun tidak, Muslim ataupun tidak.
Itulah mengapa beberapa Sahabat Nabi awalnya memutuskan masuk Islam ketika mendengar ayat-ayat al-Qur’an. Pada saat mereka mendengar ayat-ayat al-Qur’an itu, mereka belum beriman. Jangankan menguasai berbagai ilmu yang dibutuhkan untuk memahami al-Qur’an, mengimani al-Qur’an sebagai wahyu yang turun dari Allah saja belum. Tapi hati mereka tersentuh oleh kekuatan hudan (petunjuk) yang ada di dalam al-Qur’an.
Contoh yang paling fenomenal adalah kisah masuknya Umar bin Khattab. Saat itu, dia akan membunuh Nabi Muhammad dan melabraknya Fatimah, adik perempuannya, karena masuk Islam. Tapi niat itu tidak hanya diurungkan, tapi bahkan membuatnya memutuskan masuk Islam karena mendengar saudara perempuannya membaca ayat-ayat awal dari surat Thaha.
Ayat itu adalah sebagai berikut:
طه . مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآَنَ لِتَشْقَى
“Thaha. Tidaklah Aku turunkan al-Qur’an ini untuk membuatmu menjadi susah”.
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي . إِنَّ السَّاعَةَ آَتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى
“Sesungguhnya Akulah Allah. Tidak ada tuhan melainkan Aku. Maka hendaklah hanya kepada-Ku kamu menyembah. Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. Sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang, yang sengaja waktunya tidak Kami beritahukan kepada kamu semua, untuk Kami balas setiap orang tentang apa saja yang telah mereka lakukan dalam kehidupan dunia ini.”
Sebagian riwayat menyatakan bahwa sababunnuzul surat Thaha adalah cara Nabi melaksanakan shalat. Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih dari Ibnu ‘Abbas, bahwa pada permulaan turun wahyu, Nabi Muhammad suka shalat dengan berdiri pada kedua ujung jari kakinya (berjinjit). Cara seperti itu dirasa memberatkan, maka turunlah ayat ini (Thaahaa: 1-2) sebagai petunjuk agar tidak menyiksa diri dalam melakukan shalat.
Akan tetapi bagi seorang Umar bin Khattab, ayat-ayat awal surat Thaha itu seperti wahyu yang secara spesifik ditujukan kepada dirinya. Sama sekali tidak kaitannya dengan cara shalat. Mendengar ayat-ayat itu dibaca adiknya, berdebarlah hatinya. Jiwanya tersentuh. Seluruh praktik kesyirikan yang selama ini dibelanya seketika runtuh. Niat untuk membunuh Nabi Muhammad berubah seketika menjadi ucapan syahadat dalam simpuh ta’dhim di depan Baginda Nabi.
Kita memang bukan mufassir, tapi kita tetap bisa mendapatkan petunjuk al-Qur’an. Misalnya, saat kita membaca suta al-Nisa’ ayat 28:
يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ ۚ وَخُلِقَ ٱلْإِنسَٰنُ ضَعِيفًا
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah”.
Kebanyakan kitab tafsir menjelaskan ayat ini sebagai pembolehan kita untuk menggauli budak perempuan. Hal ini karena tidak ada kelemahan yang paling kuat kecuali dalam masalah syahwat terhadap perempuan. Misalnya, di dalam Tafsir al-Qurtubi dijelaskan:
يريد توبتكم، أي يقبلها فيتجاوز عن ذنوبكم ويريد التخفيف عنكم. قيل : هذا في جميع أحكام الشرع، وهو الصحيح. وقيل : المراد بالتخفيف نكاح الأمة، أي لما علمنا ضعفكم عن الصبر عن النساء خففنا عنكم بإباحة الإماء؛ قال مجاهد وابن زيد وطاوس. قال طاوس : ليس يكون الإنسان في شيء أضعف منه في أمر النساء.
“Allah menghendaki pertaubatanmu, oleh karenanya, Dia mengampuni dosa-dosamu, dan Dia ingin meringankanmu. Sebagian menyatakan bahwa peringanan ini menyangkut seluruh hukum syariat, dan itu adalah benar. Sebagian menyatakan bahwa makna “tahfif” (peringanan) adalah menikahi budak perempuan, karena Allah mengetahui bahwa manusia (laki-laki) tidak kuat menahan diri dari perempuan sehingga mereka dibolehkan menggauli budak-budak perempuannya. Thawus berkata, “Kelemahan mendasar manusia (laki-laki) adalah soal perempuan”.
Namun, seseorang bisa disentuh oleh ayat ini sama sekali bukan urusan syahwat. Bisa jadi kita tersentuh ayat ini, sebagaimana Umar bin Khattab, karena sesuatu yang paling subjektif dalam kehidupan kita. Mungkin saja ini berkaitan dengan apa yang selama ini terasa memberatkan dalam hidup kita. Misalnya, memikirkan hal-hal yang sebetulnya di luar jangkauan kita.
Ketika membaca ayat ini, tiba-tiba terasa ringan karena ada semacam keinsafan bahwa kita sebetulnya adalah mahluk lemah. Allah tidak menuntut kita untuk menggapai hal-hal di luar kemampuan kita karena itu hanya akan memberatkan diri sendiri. Ayat itu bisa saja kita resapi secara subjektif bahwa ada keterbatasan kita sebagai manusia yang kalau kita menerobosnya hanya akan memberatkan. Padahal, Allah tidak pernah berniat memberatkan kita, justru sebaliknya, Dia berkehendak memperingan kita.
Tafsir subjektif seperti ini, biarlah tetap menjadi kesadaran subjektif kita. Tak perlu difatwakan ke luar karena kita bukan mufassir profesional. Kita hanya salah satu dari milyaran manusia yang tersentuh kekuatan hudan al-Qur’an. Karena al-Qur’an memang menyediakan dirinya untuk menjadi petunjuk bagi siapapun, termasuk kita yang bukan siapa-siapa ini.[mmsm]