Rohmatul Izat Kandidat Doktor Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Tuhan, Manusia, dan Alam: Kosmologi dalam Tradisi Spiritual Islam (Bagian 2)

3 min read

Tuhan dan Manusia   

Dalam tradisi sufi, pembahasan tentang manusia sama pentingnya dengan pembahasan tentang Tuhan, bahkan dalam hadis disebutkan bahwa man `arafa nafsahu `arafa rabbahu yang artinya ‘siapapun yang mengetahui dirinya sendiri maka dia mengetahui tuhanya’. Maka mengetahui diri sendiri adalah satu langkah yang dibutuhkan untuk mengetahui Tuhan.

Masalah krusial yang dihadapi manusia saat ini adalah sulitnya menemukan fitrahnya sendiri. Perkembangan keilmuan modern membuat manusia terjebak dalam fragmentasi dari konklusi yang diciptakan sendiri. Disiplin keilmuan seperti sosiologi, biologi, antropologi, filsafat, politik, ekonomi dan lain lain, hanya melihat manusia dari satu sisi, dan tidak melihat manusia secara utuh. Dampaknya adalah, bahwa manusia modern tidak bisa melihat dirinya sendiri karena terjebak dalam spesialisasi dan fragmentasi yang diciptanya sendiri.

Hal ini telah disadari, baik oleh pemikir Barat yang modern dan tradisionalis Islam yang melihat bahwa ideologisasi dari pengetahuan telah membawa segregasi dalam melihat hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam disiplin ilmu fiqh, Tuhan dinarasikan secara kaku lewat narasi halal dan haram, sehingga wajah Tuhan berubah menjadi wajah surga dan neraka. Sementara dalam teologi, Tuhan digambarkan dengan penuh rasionalitas dan dalam tradisi sufi, Tuhan digambarkan sebagai kekasih. Keilmuan-keilmuan ini memiliki ideologinya sendiri-sendiri dan saling tidak memiliki titik temu. Yang ditekankan di sini adalah bagaimana manusia bisa menemukan dirinya sebelum bisa menemukan Tuhanya.

Ibn Arabi mengatakan bahwa jiwa manusia adalah lautan yang tak bertepi, yang terus melakukan pengembaraan di dunia ini dan dunia nanti’. Menurut Arabi manusia adalah makhluk terakhir yang diciptakan Tuhan dengan komponen yang komplek. Dalam diri manusia bukan hanya terdapat unsur mineral dari batu, unsur nafsu dari hewan, tetapi juga replikasi dari jagad raya yang terlihat maupun tidak terlihat, dalam manusia terdapat akal, ruh, jiwa, gambaran dari tujuh planet dan empat elemen pembentuk jagad raya (api, air, udara, dan tanah).

Baca Juga  Ngaji Sullam al-Tawfiq [5]: Kewajiban dan Waktu Salat

Dalam Hadis diceritakan bahwa ‘Adam diciptakan dalam gambaran Tuhan’, dalam hal ini juga sifat sifat Tuhan, seperti pemurah, pemaaf, pencipta, kuat dan lain lain, dan hasilnya manusia hadir dalam berbagai ‘wajah’ Tuhan. Baik wajah itu berupa wajah yang pemurah, atau wajah yang jahat. Jika manusia hanya menceminkan satu sifat dari Tuhan, misalya Maha Penyayang, maka manusia tidak pernah marah. Atau jika menceminkan sifat Pendendam, maka tidak mungkin manusia bisa memafkan musuhnya. Manusiadiciptakan dengan semua attribut Tuhan dan manusia mampu memanifestasikan attribute ini.

Manusia sebagai perwakilan Tuhan (theomorphic/khalifah) dan memiliki atribut Tuhan, bisa membedakan mana yang salah dan yang benar. Misalnya, setan yang melihat cahaya dalam dirinya lebih terang (karena terbuat dari api) dan lebihbaik daripada Adam yang terbuat dari Tanah. Yang terjadi adalah, bahwa sinar yang dimiliki oleh Setan bukanlah milinya, tetapi milik Allah.

Begitu juga manusia dan jagad raya yang diciptakan dalam gambaran Tuhan. Gambaran ini misalnya disebutkan dalam Alquran bahwa ‘Manusia diciptakan dalam sebaik-baiknya bentuk’. Bentuk yang baik ini tentu bukanlah fisik, karena redaksi yang digunakan untuk merujuk manusia adalah ‘insan’.

Kata Insan berbeda dengan bashar yang juga bermakna manusia, tetapi bashar di sini lebih kepada fisik, sedangkan kata insan, merujuk pada tiga kategori yakni; pertama, keistimewaan manusia, misalnya sebagai khalifa (perwakilan tuhan) yang diberikan amanah; kedua, merujuk pada sifat buruk manusia; dan ketiga, merujuk kepada karakter jiwa atau spiritual manusia.

Dengan melihat bahwa jagad raya dan manusia adalah gamabaran akan Tuhan dan memiliki nilai-nilai ilahiyyah, maka manusia yang hidup di bumi tidak lagi merasa bahwa dirinya adalah turis atau tamu. Jagad raya adalah rumah di mana manusia akan kembali, sebagai rumah maka manusia bertanggung jawab untuk memelihara rumahnya dan perintah tuhan untuk merawat jagad raya.

Baca Juga  Ramadan Perdana di Belanda: Ngaji dan Buber Virtual bareng Komunitas Muslim Indonesia

Tentu saja dalam manusia ada yang baik dan buruk, ada kematin ada kehidupan ini adalah prinsip yang tidak bisa dihindari karena merupakan satu kesatuan. Meminjam istilah Buber, ini adalah prinsip ‘saya dan kamu’ yang keduanya adalah subject yang saling melengkapi.

Dengan relasi ini, kita melihat bahwa segala makhluk di dunia ini memiliki nilai internal, baik bagi dirinya sendiri, orang lain maupun Tuhan.  Oleh karenanya, manusia itu sama seperti makhluk lain, sama sama ciptaan Tuhan yang saling berelasi. Perbedaaan manusia dan makhluk lainya adalah tanggung jawab yang dibebankandalam memelihara keselarasan ini. tentu saja, meski sama sama makluk dan sama sama memiliki kekuatan, insting, dan perasaan, kemampuan yang dimiliki oleh manusia lebih tinggi.

Hewan dan manusia memiliki pengetahuan, tapi hewan tidak memiliki pengetahuan untuk membicarakan hal abstrak, seperti “keadilan”, dan ini hanya manusia yang bisa.  Dengan paradigma tanggungjawab ini pula manusia dihadapkan pada tanggung jawab untuk merawat bumi. Sebagaimana firman Tuhan bahwa “kerusakan di atas bumi itu dilakukan oleh manusia”. Ini membawa kita pada realita bahwa manusiasebagai micro cosmos, telah menguasai jagad raya (makrocosmos).

Dalam fushusul hikam disebutkan “manusia itu jiwa dan jagad raya itu seperti tubuh; mana kala tubuh tanpa jiwa, ia tidak hidup”. Di sini, perlu dilihat dalam perspecktif teology-anthropology bahwa yang dimaksud di sini adalah ‘kesaling bergantungan’ atau interdependency.

Manusia memang membuat jagad raya menjadi hidup, tapi manusia tidak bisa hidup tanpa komponen jagad raya, seperti tumbuhan dan lain lain. Bagi theologian, bahwa manusia membuat jagad raya hidup bukan berarti manusia ‘menguasai’ akan tetapi bertanggung merawatnya.

Akhirnya, hubungan manusia dan non-manusia (jagad raya) mengalami desakralisasi dan ini mengakibatkan krisis lingkungan. Pendekatan sufistik berusaha mengungkap penciptaan sebagai cara Tuhan memanifestasikan dirinya di mana alam raya memiliki nilai yang sama sebagaimana manusia.

Baca Juga  Gus Dur Tertawa Ngakak Setelah Salat Malam

Alam raya juga merupakan manifestasi Tuhan yang berhak mendapatkan penghormatan oleh manusia. Menjaga alam raya bukan hanya karena mereka dibutuhkan manusia, tapi karena cinta terhadap alam raya. Cinta ini tumbuh tanpa tanya apa dan mengapa, sebagaimana mawar yang sedang mekar, ia mekar tanpa alasan mengapa ia mekar. [AA]

Sebelumnya: Tuhan, Manusia, dan Alam… (Bagian 1)

*Artikel ini diterjemahkan dari karya Profesor Syafa’atun Almirzanah yang berjudul “God, Humanity, and Nature: Cosmology in Islamic Spirituality”.

Rohmatul Izat Kandidat Doktor Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.