Di saat-saat tertentu, pernahkah kamu merasa sangat mencintai Allah? Perasaan itu melingkupi hatimu hingga engkau menangis sambil bersujud. Badanmu bergetar-getar karena tak sanggup menahan kerinduan yang lahir karena cinta. Pernahkah?
Senandung cinta ketuhanan kerap kita temukan dalam syair-syair para sufi. Sebegitu dalamnya hingga ungkapan-ungkapan aneh yang keluar dari mulutnya tak mampu dicerna oleh akal kita. Bagaimana mungkin ada orang yang begitu menguras air matanya karena kerinduan kepada Allah? Bagaimana mungkin ada orang yang begitu tidak hirau bahkan kepada dirinya sendiri karena deraan cinta kepada Allah? Bagaimana mungkin?
Tapi begitulah adanya. Salah satu sufi yang sangat dalam mengungkapkan perasaan cintanya kepada Allah adalah Rabi’ah al-Adawiyah (713-801M). Salah satu syairnya yang sangat terkenal adalah sebagai berikut:
Ya Illahi! Jika sekiranya aku beribadah kepada Engkau karena takut akan siksa neraka, maka bakarlah aku dengan neraka-Mu.
Dan jika aku beribadah kepada Engkau karena harap akan masuk surga, maka haramkanlah aku daripadanya!
Tetapi jika aku beribadah kepada Engkau semata-mata karena kecintaanku kepada-Mu, maka janganlah, Ya Illahi, Engkau haramkan aku melihat keindahan-Mu yang azali.
Tapi kita semua tahu bahwa Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang sufi. Keluhuran spiritualitasnya memungkinkan manusia seperti dia memiliki kecintaan yang begitu dalam kepada Allah. Lalu kita? Siapa kita?
Namun, ada saat-saat tertentu di mana kita seperti tertawan oleh cinta kepada Allah. Saat kita membasuhi wajah kita dengan air wudhu, ini bukan semata-mata karena menjalankan perintah-Nya. Ketika kita mulai mengangkat tangan bertakbir untuk bershalat, ini bukan karena didorong oleh perasaan takut karena ancaman nerakanya. Saat kita bersimpuh melafalkan asma-Nya, ini bukan kita sedang bertransaksi agar mendapatkan surganya. Perasaan ini lebih dari itu.
Ada perasaan rindu yang tak tertahankan untuk tetap berduaan bersama-Nya. Ada keinginan yang membuncah untuk dielus dan dipeluk-Nya. Ini adalah kasmaran. Ini adalah dorongan yang meluap begitu saja. Hingga huruf dan kata tak sanggup lagi menampungnya. Hingga kita tak tahu harus bagaimana.
Namun cinta yang meluap-meluap ini akan menjadi siksaan yang tak terperikan saat menghadapi penyangkalan dari rasio kita. Siksa di atas siksa bagi cinta adalah ketika rasio menanyakan mengapa engkau mencintai-Nya? Jika kita tak sanggup menyelesaikan pertanyaan ini, kepedihan yang kita tanggung seperti menahan sakitnya tubuh kita dibelah.
Di satu sisi, dorongan untuk terus melanjutkan kencan ketuhanan tak bisa ditahan, tapi di sisi lain, kita diseret oleh rasio agar menemukan jawabannya. Ini adalah penyaliban spiritual yang pedihnya tak tertahankan. Luluh lantak!
Tak mudah menjawab pertanyaan “mengapa” dari rasio kita. Semakin kita menjawab, semakin kita menyadari bahwa itu bukan jawabannya. Semakin kita tahu bahwa itu bukan jawabannya, semakin kuat rasio menarik kita menjauh dari cinta. Padahal, kita sdang dalam kasmaran yang tak terperikan.
Apakah jawabannya karena kita diberi kehidupan oleh Allah? Apakah jawabannya karena kita memiliki fisik yang berbeda dengan hewan dengan kelengkapan organ tubuh seperti ini? Bukankah itu semua kehendak Allah sendiri. Saya tak pernah meminta kehidupan. Saya tidak pernah meminta untuk menjadi manusia. Bahkan bentuk fisik manusia seperti ini juga bukan kehendak manusia, tapi kehendak Allah sendiri. Lalu, mengapa kita harus mencintainya?
Semua itu bolehlah menjadi alasan untuk bersyukur, tapi tidak bisa menjadi alasan untuk mencintai. Perasaan cinta ini lebih dari sekedar syukur. Ini lebih dari itu. Perasaan ini adalah segala-galanya.
Saat-saat seperti ini, adakah obat yang bisa menjadi penawarnya? Adakah jawaban yang bisa mengusir hantu rasio yang terus-menerus melontarkan pertanyaan “mengapa aku harus mencintai Allah”? Kepedihan ini tak terperikan. Sungguh tak terperikan!
Akan tetapi, hidup itu begitu misterius. Cinta seringkali menemukan jalannya sendiri dengan cara yang tidak kita duga. Dan, tidak jarang apa yang setengah mati kita cari sebetulnya telah kita miliki.
Ketika nyaris kehabisan nafas karena terus-menerus diburu oleh rasio dengan pertanyaan “mengapa”, hati kita tiba-tiba menginsafinya. Sejak kapan cinta membutuhkan alasan? Kita bisa membuat daftar alasan mengapa kita memacari seseorang. Tapi seluruh daftar alasan itu akan runtuh saat kita jatuh cinta. Saat kita jatuh cinta, kita akan melupakan seluruh daftar alasan yang dengan sangat rapi kita susun berdasarkan pertimbangan rasio. Kita tak lagi memedulikannya sekalipun orang yang kita cintai sepenuhnya berkebalikan dari daftar alasan jatuh cinta.
William Shakespeare pernah menyatakan: Love’s reason’s without reason (Alasan dari perasaan cinta itu adalah tanpa adanya alasan). Atau, sebagaimana yang dinyatakan seorang sastrawan Brazil, Paulo Coelho: One is loved because one is loved. No reason is needed fo loving (Seseorang dicintai karena dia dicintai. Cinta tak membutuhkan alasan).
Jadi, mari kita lanjutkan percintaan ini. Jangan pedulikan orang lain berkata apa. “Andai Kau usir aku dari pintu-Mu, aku tak akan pergi berlalu. Karena cintaku pada-Mu sepenuh kalbu,” senandung Rabi’ah al-Adawiyah.[]