Di tengah ancaman Covid-19 yang mengkhawatirkan semua manusia di bumi seperti sekarang, ada hal yang lebih penting yang harus menjadi perhatian seorang Muslim. Iya, iman yang letaknya di hati. Keimanan merupakan hal prinsipil yang harus tetap terjaga saat ketakutan kadang membelokkannya dari rel yang sahih.
Islam telah mengenalkan enam pilar keimanan, yaitu: 1) iman kepada Allah; 2) iman kepada malaikat Allah; 3) iman kepada kitab-kitab Allah; 4) iman kepada rasul-rasul Allah; 5) iman kepada hari kiamat; dan 6) iman kepada ketentuan dan ketetapan Allah. Enam prinsip ini merupakan suatu kesatuan yang utuh. Batal keimanan seorang Muslim apabila salah satu prinsip diabaikan.
Dari enam prinsip keimanan, iman kepada Allah adalah kunci. Keyakinan bahwa tiada tuhan selain Allah adalah prinsip iman pertama yang menjadi pintu dari prinsip-prinsip iman berikutnya. Dalam hal ini, seorang Muslim wajib meyakini akan keberadaan dan kekuasaan Allah. Di kala wabah seperti saat ini, ketakutan yang berlebihan kadang membuat seseorang menafikan kuasa Allah. Inilah yang perlu diwaspadai.
Sebagai Muslim, meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia tak lepas dari kuasa Allah adalah wajib. Termasuk kejadian pandemi Covid-19 ini yang sedang menimpa hampir seluruh negara di dunia. Kepanikan pun kerap menjangkiti seseorang karena takut terinfeksi virus yang sudah memakan korban ratusan ribu jiwa ini.
Dalam kondisi ketakutan yang akut sering sebagian orang kehilangan rasionalitas bahkan keimanannya. Orang-orang seperti ini kemudian bertindak tanpa pertimbangan akal budi; memborong masker, obat-obatan, makanan pokok, dan sebagainya. Mereka kehilangan spiritualitas karena meyakini hanya materialitas yang dapat menyelamatkannya dari wabah. Keimanan mereka menjadi melenceng karena menafikan kuasa Allah atas peristiwa yang terjadi.
Di sisi lain, ada sebagian pihak yang amat pasrah. Mereka kadang sembrono dalam menyikapi wabah dengan meremehkan usaha-usaha lahir yang disarankan ahli medis seperti menjaga kebersihan diri dan lingkungan hingga menjaga jarak ketika bersosial. Kelompok demikian seolah keimanannya mencapai derajat yang tinggi karena pasrah dengan ketentuan Allah. Namun mereka lupa bahwa ikhtiar adalah kewajiban lain yang dapat menyempurnakan keimanan.
Dua tipe kelompok di atas mewakili sikap dari sebagian Muslim dalam menyikapi wabah Covid-19. Keduanya pada posisi keimanan yang ekstrem-konfrontatif, antara jabariyah dan qadariyah. Di antara dua kutub ekstrem ada pilihan bagi Muslim berada pada posisi moderat (tawasuth). Posisi ini menjaga keseimbangan antara tawakal dan ikhtiar. Muslim yang moderat meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi pasti atas kehendak dan kuasa Allah, sehingga melahirkan sikap tawakal. Pada saat yang sama ia juga berikhtiar untuk menyempurnakan tawakalnya.
Pada kasus wabah Covid-19 ini, bersikap moderat berarti menyeimbangkan spiritualitas dan materialitas. Bagi Muslim menjaga iman dalam situasi wabah maka wajib baginya bersandar dan pasrah diri kepada Allah, inilah tawakal yang letaknya di hati. Pada saat yang sama upaya-upaya lahir dari sisi medis pun wajib dilakukan sebagai penyempurna tawakal. Di antaranya dengan menaati anjuran-anjuran medis seperti pemakaian masker, cuci tangan dengan sabun, menjaga jarak saat berinteraksi dengan orang lain dan seterusnya.
Akhirnya, dalam menghadapi wabah Covid-19, seorang Muslim tidak sepatutnya takut dan khawatir secara berlebihan, sehingga justru menimbulkan kepanikan yang cenderung destruktif. Namun, pada saat yang sama ia juga tidak boleh meremehkan anjuran-anjuran dari pemerintah sebagai upaya agar Indonesia segera keluar dari situasi krisis yang sedang terjadi akibat Covid-19. Dalam hal ini, penyeimbangan antara tawakal dan ikhtiar merupakan bentuk dari penyelamatan iman bagi seorang Muslim di tengah wabah. Wa Allah A’lam.