*****
“Bukan gitu juga lah. Aku kagum aja, gak cuma pinter akademisnya loh. Dia itu juga alim sama cewek. Dan bahasa inggrisnya jempol…”
Samar-samar aku mendengar percakapan di dalam kamarku. Perlahan kubuka mata dan berusaha memulihkan kesadaran selepas lelap. Sedikit demi sedikit aku menyadari Najma tidak sendirian lagi. Ning Lisa dan Mbak Revi sudah berada di sini.
“Udah dari tadi, Ning? Mbak?”
Aku mencoba untuk duduk di tempat tidurku. Ning Lisa yang berada paling dekat denganku sigap membantuku untuk bangun. Aku tersenyum dan berterima kasih. Kehadiran mereka semua benar-benar menjadi sumber kekuatan tersendiri buatku.
“Ih, pake sakit segala kamu, Han. Padahal udah dinanti-nanti besok ada kajian umum di sekretariat. Katanya mau hadir,” goda Ning Lisa sambil mengangsurkan potongan apel dan melon untukku.
“Iya nih, Ning. Gimana lagi…kalau besok enakan insya Allah hadir…”
“Eh, jangan sembrono. Kamu masih harus banyak istirahat. Harus pulih betul biar ga kambuh-kambuh lagi,” timpal Najma dengan cepat.
“Iya tuh. Betul kata Najma. Udah kamu fokus saja sama kesehatanmu. Lain kali kan masih bisa ikut kajian lagi.”
Kali ini Mbak Revi menambahi kalimat sepupunya.
“Eh, PCINU juga mau ngundang Kak Fayyadl kan, Ning? Kapan ya itu?”
“Masih sebulanan lagi. Belum ada rapat lanjutan. Draf proposalnya udah aku minta Hanaa kemarin buat dicek. Belum dibentuk panitia acara juga. Kalau di PCINU sih gampang ya, karena dia kan senior juga di sana.”
“Kenapa gak Hanaa aja diseret, Ning. Dia kan sudah berpengalaman kalau soal bikin acara begini,” usul Kak Revi membuatku seketika terbelalak.
Aku berhenti mengunyah apel di mulutku. Aku?
“Wah, ide bagus. Iya kamu aja yang handle ya, Han. Urusan pemateri nanti aku yang hubungin. Kamu cukup atur pas acara aja.
Tenang, banyak kok yang bantuin. Kamu tinggal iyain aja. Kan udah biasa jadi penanggung jawab acara, kan?”
Aku tidak menyahut. Kuletakkan apel di tanganku ke piring.
“Aku masih sakit gini kok ya sudah dikasih mandat berat toh, Ning? Jan tega njenengan ini…” protesku memelas, bukannya dibatalkan malah disambut gelak tawa dari semua yang ada di kamar. Aku pun tak biasa berbuat banyak. Aku tidak punya alasan untuk menolak juga.
*******
Setelah empat hari bermalam di Mustasyfa Azhar yang terletak tidak jauh dari buuts, sore ini aku sudah diperbolehkan kembali ke asrama. Dokter yang merawatku hanya berpesan untuk tidak terlalu kecapekan dan rutin minum antibiotik. Beruntung gejala thypus yang kualami masih stadium awal jadi penanganannyatidak terlalu lama.
Keberadaan bakteri salmonella thyphosa yang menjadi penyebab thypus akan cepat hilang dengan aku meminum antibiotik selama kurang lebih satu pekan. Tentu saja diimbangi dengan istirahat cukup, makan teratur dan minum banyak air putih.
Aku merasa lebih bugar ketika berada di kamarku sendiri. Tubuhku masih sedikit lemas tapi mual dan sakit kepala sudah tidak kurasakan lagi. Aku diantar Ablah Hindun sampai kamar lalu ia pamit untuk mengurus hal lain di marhalah sebelah. Selagi aku membereskan buku-buku yang masih berserakan, nada telepon memekik dari ponselku. Rupanya Ibuk menelepon.
“Hanaa, gimana kondisimu? Sudah pulih? Sudah enak?”
Sewaktu dirawat Ibuk beberapa kali menelepon dan memaksa video call dengan alasan adik-adik kangen. Akhirnya, dengan terpaksa aku pun menceritakan sejujurnya bahwa aku sedang opname karena thypus. Ibuk tentu saja kaget dan sempat menegur karena tidak memberi kabar lebih awal. Setelah kujelaskan kondisiku yang sudah stabil Ibuk pun lega.
“Sampun, Buk. Ini sudah kembali ke kamar. Ibuk ndak usah khawatir.”
“Syukurlah. Ibuk kepikiran terus. Oh ya, ini Bapak mau ngomong…”
“Halo, Hanaa? Sudah pulih tenan?” suara Bapak begitu wajahnya tersorot lensa kamera dan terpantul di layar ponselku.
“Iya, Pak. Ini masih proses pemulihan. Masih harus minum obat terus sampai seminggu ke depan. Bapak sehat?”
Kami melepas rindu yang kutahan beberapa hari. Menghindari segala bentuk komunikasi dengan keluarga demi kondisi yang lebih stabil.
Setelah cukup puas mengobrol, aku pamit untuk melanjutkan membereskan kamar.
Kurapikan lemari kitab yang paling nampak berantakan. Meletakkan kembali buku bacaan dan kitab-kitab tebal dari meja ke lemari. Di antara tumpukan kitab, ada satu novel tebal yang belum juga kuselesaikan membaca sejak beberapa bulan terakhir. Biasanya jika ingin membaca novel karya Dan Brown ini aku pergi naik ke suthuh. Membawa sebotol minuman dan makanan ringan ditemani langit sore Mesir yang terang.
Bukan karena tidak bagus, novel ini best seller international, membacanya butuh fokus dan waktu yang benar-benar nyaman. Tempat-tempat, simbol dan ornamen lain yang mengiringi petualanngan Robert Langdon yang misterius dan tidak terduga. Dan Brown memang selalu mengagumkan dalam mengolah sejarah, seni, kode dan simbol lalu memberi kesan tak terlupakan bagi pembaca. Ini adalah buku keempat miliknya yang kubaca.
Sebelumnya aku sudah menyelesaikan Digital Fortess dan the Lost Symbol yang kupinjam dari Ning Lisa sewaktu di pondok. Karena masih ketagihan kisah, aku menyisihkan uang jatah jajan dan membeli buku lain yang berjudul Origin. Sedangkan judul Inferno yang baru saja kuletakkan di lemari atas ini, hadiah dari seseorang di kampung halaman. Akan selalu kuingat karena bagaimana tidak, namanya dengan penuh percaya diri ia sematkan di halaman depan novel bergambar Robert Langdon ini. [MZ]