Hingga saat ini, sampah tetap menjadi masalah yang pelik. Jangankan sampai pada upaya mengurangi sampah, membangun kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya saja masih merupakan barang mewah. Pun, memilah sampah menjadi organik dan anorganik seringkali hanya berhenti pada tulisan di bak-bak tempat pembuangan sampah, tapi isinya tetap berupa sampah yang tak terpilah.
Di tengah sulitnya mendidik masyarakat dalam hal persampahan ini, bayangkan bagaimana cara mendidik anak-anak tunanetra untuk membuang sampah pada tempatnya dan dilakukan secara terpilah. Ketika seluruh fasilitas publik, termasuk sekolah, didorong untuk inklusif dan ramah pada kaum disable, pernahkah terlintas untuk menyediakan tempat pembuangan sampah yang ramah kepada kelompok disabilitas tunanetra? Disabilitas tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan berupa penglihatan dengan akurasi yang lemah atau bahkan tidak bisa melihat.
Di tengah situasi ini, Rizki Kurniawan Saputra, seorang pemuda dari Kabupaten Bantul, menciptakan tempat sampah braille sensor suara untuk para siswa tunanetra. Seperti tempat sampah lain, tempat sampah braille sensor suara tediri dari tiga bak sampah yang berfungsi untuk memilah sampah platik, kertas, dan sisa makanan. Alat ini dilengkapi dengn huruf braille. Tempat sampah ini perlu disambungkan dengan listri untuk mengaktifkan sensor dan suara. Ketika huruf braille di sentuh, akan terdengar bunyi jenis tempat sampah (plastik/kertas/sisa makanan). Motor servo akan membuka dan menutup bak sampah yang diikuti dengan suara yang mengingatkan para pengguna tentang waktu penutupan. Jika bak sampah telah penuh, akan terdengar suara bahwa tutup bak sampah tidak bisa terbuka karena kapasitas penuh. Begitulah kurang lebih mekanisme kerjanya.
Untuk memproduksi satu tempat sampah barille sensor suara ini dibutuhkan dana Rp 3.580.000. Selama empat tahun, dia telah memproduksi delapan tempat sampah braille sensor suara yang digunakan di delapan Sekolah Luar Biasa (SLB) di Provinsi Yogyakarta. Setidaknya, ada 174 siswa tunanetra yang mendapatkan manfaat dari alat ini.
Dari mana uang untuk memproduksi ini semua? Dia menggunakan dana sosial yang diambil dari usaha pribadinya, “Langit Production”, sebuah usaha yang baru dirintisnya sejak tahun 2016.
Selama dia berdiri di depan kami dan mempresentasikan inovasinya, saya tak henti-henti meruntuki diri sendiri. Apa yang telah saya lakukan selama ini? Di depan seorang anak muda yang baru merintis usaha, yang tentu hasilnya tidak seberapa besar, dia telah menyisihkannya untuk menolong anak-anak tunanetra, lalu saya? Di depan anak muda ini, bukanlah siapa-siapa. Lalu, klaim moral apa yang menjadi pijakan saya untuk menjadi juri dari pemuda yang mulia ini?
***
Itu hanyalah contoh kecil dari dua puluh tiga anak muda finalis Pemuda Pelopor Tingkat Nasional Tahun 2021. Yang tidak kalah kerennya untuk disebut di sini adalah Chairul Abdul Umar, anak muda dari Kalimantan Selatan, yang menyisihkan penghasilannya dan mengabdikan ilmunya untuk membuatkan aplikasi dan website gratis bagi para pengusaha muda. Melalui Lembaga Media Online Kreatif Berguna, dia bersama beberapa kawannya membantu para pengusaha muda dengan cara menggratiskan biaya pembuatan website senilai Rp 4 juta; server senilai Rp 1 juta per tahun; display di playstore senilai $25; full desain banner dan logo senilai Rp 500 ribu; maintenance senilai Rp 1,5 juta per tahun; bimbingan pemasaran toko online sampai bisa jalan; dan Apikey kurir senilai Rp 500 ribu.
Atau, Riyan Hidayat dari Dusun Sekitak Permai, Desa Batu Pahat, Kec. Nanga Mahap, Kab. Sekadau, kalimantan Barat, yang menciptakan semi komunal panel surya untuk menerangi kehidupan orang-orang di desanya dan sekitarnya yang hingga saat ini belum menikmati aliran listrik. Pemuda yang berprofesi sebagai tukang servis alat-alat elektronik ini tak mengambil keuntungan sepeser pun dalam membantu saudara-saudara di wilayahnya. Yang dinginkan hanyalah agar orang-orang di wilayahnya tak lagi hidup dalam kegelapan, seperti yang dialaminya saat usia sekolah dulu sebelum dia merantau ke luar daerah.
Di sela-sela acara, saya ngobrol ringan dengan sesama dewan juri. Tak henti-hentinya saya memuji anak-anak muda yang mulia dan hebat ini. Ada suara yang berdentam-dentam di dada saya, yang tak sempat terucap walau rasanya sudah di ujung lidah: “Mau diapakan rintisan anak-anak muda ini? Setelah lomba ini, adakah negara menghadirkan dirinya untuk mengakselerasi inovasi-inovasi ini sehingga menjadi agenda massif yang memiliki jangkuan lebih luas? Ataukah, ini hanya ritual tahunan, seperti sebuah pertunjukan berkala, setelah layar diturunkan, lampu-lampu dimatikan, semuanya kembali kepada kesunyian?”
Secepatnya saya disergah oleh suara lain dari dalam diri saya sendiri: “Kamu terlalu mengandalkan negara. Mungkin karena kamu pegawai negeri yang hidup matimu kamu gantungkan pada gaji bulanan yang diambil dari kas negara. Anak-anak muda ini telah membuktikan dirinya bahwa bantuan negara hanyalah faktor cemen dalam hal inovasi dan inisiasi. Kerja-kerja mulia seringkali tidak bermula dari dorongan dan fasilitas negara, tapi lahir dari kepekaan nurani, kecerdasan pikiran, dan tekad yang kuat.”
Jika dalam hidup saya pernah merasa malu, ini adalah salah satu malu terbesar saya. Jika dalam hidup saya pernah memiliki rasa bangga, ini adalah perasaan bangga terbesar saya. Jika dalam hidup saya pernah merasakan optimisme, ini adalah optimisme terbesar saya. Kepada anak-anak muda yang hebat ini, saya menjura hormat. Dari kedalaman hati yang paling tulus, selaksa pujian dan harapan kepada mereka. [AA]
Sebelumnya: Di Hadapan Mereka Saya Malu (1), Dihadapan Mereka Saya Malu (2)