Masdar Hilmy Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Covid-19 Menohok Spiritualitas Kita

3 min read

Bagaimana perasaan Anda ketika mendengar atau membaca berita tentang penolakan warga terhadap penguburan jenazah perawat yang positif Covid-19 di sebuah kota? Pasti jengkel, geram, marah, dongkol, kecewa, beraduk jadi satu. Hanya sebegitukah kualitas keimanan dan keberagamaan yang dihasilkan bangsa ini selama bertahun-tahun? Saya yakin seyakin-yakinnya, orang-orang yang menolak pemakaman tersebut bukanlah para ateis yang tidak beragama atau bertuhan. Jika kita tanya satu persatu, masing-masing akan menjawab sama: “saya orang yang beragama sejak lahir”.

Bukan hanya pernyataan verbal saja, pengakuan keberagamaan mereka mungkin juga diwujudkan dalam bentuk berbagai kesalehan ritual-simbolis seperti rajin beribadah ke rumah ibadah, menghadiri acara-acara keagamaan, menggunakan atribut keagamaan tertentu, dan seterusnya. Selain saleh secara keagamaan, mereka pasti juga mengaku Pancasilais, hafal di luar kepala setiap sila yang ada di dalamnya. Pendek kata, tidak ada yang janggal dari norma-norma sosial yang berlaku di negeri +62 ini. Secara sosial para penolak adalah orang-orang yang wajar, normal belaka dalam konteks parameter keberagamaan sehari-hari.

Lantas, apa yang salah dari mereka? Bukankah dari seluruh norma sosial-keagamaan tidak ada satupun kriteria yang dilanggar? Tetapi, mengapa mereka menunjukkan abnormalitas atau paradoks kemanusiaan? Mengapa keberagamaan kita tidak serta-merta menjamin kualitas kemanusiaan kita? Barangkali inilah persoalan mendasar yang dialami oleh para penolak jenazah Covid-19. Jika diterapkan se-antero negeri, mungkin kejadian serupa akan dialami di banyak daerah lainnya. Kebetulan sikap penolakan ini terjadi di satu-dua daerah saja, bukan berarti di daerah lain tidak terjadi hal yang sama, terutama jika terdapa kasus pemakaman Covid-19.

Kenyataan penolakan jenazah Covid-19 tentu saja tidak menghapus kenyataan banyaknya masyarakat yang bersikap sebaliknya: memberikan uluran tangan semampunya untuk meringankan beban para pejuang atau prajurit yang tengah berjihad di garda terdepan peperangan: para dokter, perawat, petugas satgas, dan sejumlah relawan lainnya. Mereka adalah contoh sempurna dari idealitas kemanusiaan yang bersifat lintas-batas, tanpa melihat latar belakang sosial, etnisitas, bahkan agama. Mereka meresikokan nyawanya untuk keselamatan jiwa orang lain, yang mungkin sekali memiliki latarbelakang sosial keagamaan yang berbeda.

Baca Juga  Kenangan Benedict Anderson: Dari Gus Dur, Cak Nur, Malari 1974 sampai Gerakan Mahasiswa ITB 78 (1)

 Agama Defisit Spiritualitas

Apa yang dipertontonkan oleh para penolak jenazah Covid-19 adalah wajah bopeng agama sebagaimana yang mereka pahami. Kenyataan semacam ini juga menunjukkan kepada kita bahwa keberagamaan tidak menjamin spiritualitas. Keduanya tidaklah sama, sekalipun punya irisan yang kuat. Mestinya gambar yang utuh tentang agama sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad SAW bukanlah agama yang defisit spiritualitas, tetapi agama yang mengapresiasi dan mengakomodasi dua-duanya dalam sebuah wadah yang satu: agama. Oleh karena itu, jangan heran jika para penjahat pun—baik yang kelas teri maupun yang kelas kakap—adalah juga orang-orang yang beragama, bahkan sebagian besar dari mereka telah menunaikan rukun agamanya secara sempurna.

Tapi apa mau dikata, itulah realitasnya! Selalu ada wajah bopeng keberagamaan kita. Dalam terminologi populer keislaman, terdapat ketakseimbangan antara hablun min Allah dan hablun min al-nās (hubungan dengan Allah dan hubungan sesama manusia), atau ibadah mahdlah dan ghayru mahdlah, ibadah ritual dan ibadah sosial, ibadah vertikal dan ibadah horizontal, dan seterusnya. Di setiap forum keagamaan, dualisme tersebut senantiasa didengungkan, tentang pentingnya menjaga keseimbangan di antara dua bandul pendulum atau kutub ekstrem tersebut. Tetapi, mengapa begitu sulit meraih keseimbangan di antara dua kutub tersebut?

Ya, demikianlah realitasnya. Setiap hari kita disuguhi oleh panorama berbagai macam ketidaksempurnaan kita, termasuk dalam kehidupan beragama. Seakan-akan realitas hidup hendak meneguhkan tesis ketidaksempurnaan makhluk; kesempurnaan hanya milik Tuhan. Akan tetapi, bukankah permakluman kita buat bukan untuk menyerah begitu saja kepada keadaan? Permakluman kita buat untuk memotivasi bahwa kita bisa lebih baik lagi. Jangan biarkan realitas ketidaksempurnaan membelenggu kita, seakan itu sudah final. Semacam takdir mubram, nasib yang tidak bisa diubah.

Baca Juga  Ketika Doa Nabi Ibrahim Mampu Mengubah Peradaban

Bagaimana kita merefleksikan peristiwa penolakan jenazah Covid-19 dalam konteks keberagamaan kita? Jika kita terlalu sibuk dengan dimensi ornamental agama, maka sekarang saatnya kita menelisik dimensi spiritualitas kita, kedalaman rasa dalam beragama. Sejatinya kita sudah sedemikian jauh dalam beragama. Tak heran angka naik haji setiap tahun terus bertambah. Angka rumah ibadah baru juga merangkak naik. Tak ketinggalan anggaran di Kementerian Agama membengkak untuk kehidupan beragama. Menurut saya, enough is enough untuk dimensi eksoterisme beragama kita.

 Spiritualitas Lintas Batas

Sekarang ini saatnya kita melihat bagaimana realitas esoterisme beragama kita, yakni kedalaman spiritual kita dalam beragama. Termasuk dalam dimensi esoterisme beragama adalah memperkuat kemanusiaan kita. Apapun latar belakang agama dan keyakinan orang lain jangan sampai menjadi penghalang kita untuk berbuat baik. Janganlah kita berbuat baik hanya kepada orang-orang yang sekeyakinan atau seagama dengan kita. Sementara kepada mereka yang berbeda keyakinan atau agama, kita tidak mau mengulurkan tangan kepada mereka.

Jika agama diikat oleh kesamaan rukun dan ritual, maka spiritualitas melampaui itu semua. Spiritualitas membangkitkan rasa ketuhanan yang tak terpisahkan dari kemanusiaan. Dalam spiritualitas keduanya tidak bisa dipilah-pilah secara hitam-putih. Berbuat baik kepada sesama manusia, terlepas apapun latarbelakang agama dan keyakinannya, adalah bagian dari spiritualitas itu sendiri. Agama yang dikehendaki oleh Allah dan Muhammad adalah agama yang tak pilah-pilah dalam memilih objek perbuatan baik dan kemanusiaan kita. Bukankah Islam diturunkan untuk memberikan rahmat bagi alam semesta beserta seluruh isinya? (Q.S. al-Anbiyā’ [21]: 107)

Oleh karena itu, kejadian penolakan jenazah Covid-19 harus menohok spiritualitas kita. Ternyata keberagamaan kita tidak menjamin kedalaman spiritualitas kita dalam bentuk kebaikan tanpa syarat kepada sesama makhluk Allah, tanpa kecuali. Hal demikian terjadi karena kita terlalu eksoterik, lahiriah-minded dalam beragama. Kita terlalu sibuk dengan ornamen-ornamen ekstrinsik dalam beragama, sehingga kita lupa pada esensi beragama dalam konteks kemanusiaan universal.

Baca Juga  Pluralisme Gus Dur dan Urgensinya Terhadap Hubungan Antar Agama di Indonesia (1)

Saatnya kita membuktikan bahwa keberagamaan kita bukanlah penghalang untuk perbuatan baik kita, karena keduanya adalah satu paket dari dua sisi uang yang sama. Takwa dan berbuat baik kepada sesama adalah satu entitas, tak terpisahkan. Perbuatan baik kita bukanlah investasi yang bersyarat. Kita berbuat baik karena agama kita mengajarkan demikian. Oleh karena itu, jangan lagi kita memilah-milah target perbuatan baik kita. Siapapun makhluk yang ada di kolong jagad ini harus merasakan kebaikan dan kemanfaatan kita. Saatnya kita meniru panutan kita masing-masing dalam beragama. Jika bukan Muhammad SAW yang kita tiru, lantas siapa lagi?. [MZ]

 

 

Masdar Hilmy Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *