Saya mengikuti berita tentang perselisihan antara Pemerintah Provinsi Jawa timur dengan Pemerintah Kota Surabaya terkait dengan bantuan mobil Polymerase Chain Reaction (PCR). Saya melihat, ada hal menarik bagaimana media dengan mudah mendistorsi informasi tentang masalah tersebut.
Misalnya, ada sebuah status di media sosial yang menyarankan hendaknya kedua pimpinan tersebut duduk bersama dan menyelesaikan masalah tanpa harus bermain ‘drama’ di ruang publik. Toh, dalam sistem pemerintahan ada garis dan struktur komando dan koordinasi. Terkait tentang status bantuan mobil PCR, hal itu mudah dilihat pada keterangan surat pengantar dari Gugus Tugas Covid-19 Pusat kepada siapa mobil bantuan itu ditujukan.
Status tersebut bagus. Tapi berbagai komen segera mengalihkan fokus ke hal-hal yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah yang sebenarnya. Parahnya, publik segera terhanyut dalam debat dan olokan yang sama sekali justru jauh dari substansi masalahnya.
Sejauh pengetahuan saya, ada beberapa distorsi informasi terkait persoalan ini yang sangat kentara. Hal itu antara lain, yakni:
Pertama, membandingkan antara kinerja Risma selaku Walikota Surabaya dan Khofifah Indar Parawansa (KIP), selaku gubernur Jawa Timur; “Risma sudah membuktikan kerjanya, sedang Khofifah?”
Pembandingan ini jelas tidak apple to apple (sebanding). KIP adalah gubernur sedang Risma Walikota, dua jabatan yang memiliki wilayah kerja dan kewenangan yang berbeda. Ketidaksebandingan juga bisa dilihat dari segi waktu, KIP baru memulai pekerjaannya, sedang Risma sudah di penghujung akhir dua periode kepemimpinannya.
Kedua, bias gender melalui ungkapan, “Biasa emak-emak memang suka kaya gitu” atau “maklum, sedang PMS.” Ungkapan yang demikian merupakan sebuah distorsi yang sudah sangat keterlaluan karena dibangun di atas cara pandang yang seksis dan misoginis, dalam hal ini, yakni ‘menyeret’ urusan pemerintahan pada stereotype negatif perempuan.
Ketiga, perseteruan politik melalui ungkapan “Ini kelanjutan dari Pilgub” atau “Ini hanya pemanasan menjelang Pilwali Surabaya.” Ini mungkin bisa diterima, tapi ini jelas mendistorsi permasalahan sesungguhnya.
Melihat kasus ini dan kasus-kasus lain, betapa pentingnya kecerdasan bermedia (media literacy). Media literacy tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat pendidikan, karena banyak orang ‘terdidik’ yang tergelincir dalam permainan media sosial ini. (AA)