Seberapa sering kita mendengar peristiwa di mana sekelompok pemeluk keyakinan tertentu tidak bisa membangun rumah ibadahnya dan setiap saat ketika ingin beribadah mereka dikejar-kejar seperti seorang penjahat? Seberapa sering kita membaca dan menonton berita tentang sekelompok orang yang merusak rumah ibadah, membakar rumah, mengusir penghuninya atas nama Tuhan? Bukankah kita nyaris bisa menandai waktu kejadiannya kapan kelompok-kelompok itu akan berparade sambil meneriakkan nama Tuhannya untuk merusak atribut-atribut keagamaan tertentu?
Di mana para aparat yang kita gaji melalui pajak kita agar kita dapat memastikan bahwa negeri ini adalah rumah nyaman bagi seluruh penghuninya? Mengapa justru lahir berbagai regulasi yang membenarkan berbagai tindakan intoleran dan diskriminatif? Apa yang telah kita tanam sehingga negeri ini melahirkan para politisi yang rela berkoalisi dengan para penjahat sekedar untuk mendapatkan kekuasaannya?
Mungkin di mata seorang politisi, kasus pelanggaran hak konstitusional seorang warga negara hanyalah gangguan seekor lalat yang cukup dihalau dengan kibasan tangan. Namun, bayangkan, apa yang terjadi dengan Indonesia jika hak konstitusional warga negara tidak mendapat jaminan perlindungan dari negara!
Sahabat saya berkisah: Suatu kali dia mengajak seorang “public figur” untuk menjadi bagian kampanye “Mari Cintai Indonesia”. Merespon ajakan tersebut, sambil terbata-bata, dia menjawab, “Maaf, aku tidak bisa.” Si public figur ini berkisah bahwa dia merencanakan untuk pindah ke luar negeri karena merasa Indonesia tidak lagi bisa menerima orang seperti dirinya. Dia dan keluarganya memiliki pengalaman pahit berkali-kali menjadi korban intoleransi dan persekusi tanpa mendapat perlindungan apapaun dari negara. Bahkan, negara terkesan membiarkannya menjadi korban. Masalahnya hanya karena dia seorang pemeluk agama non-mayoritas.
Setelah berkali-kali gagal mendirikan tempat ibadah, akhirnya, dia dan para jemaat lain memutuskan untuk menyewa sebuah ruangan di mall untuk dijadikan tempat kebaktian bersama. Dia berasumsi itu akan aman. Suatu hari, ketika dia dan keluarganya mau beribadah, spanduk ancaman telah terbentang mencolok dan beberapa orang dengan garang melarangnya masuk. Dia berpikir, apa bedanya orang yang ingin beribadah dengan penjahat sehingga harus dikejar-kejar seperti ini? Di mana perlindungan hak kebebasan beragama di negeri ini? Anaknya yang masih kecil dengan lugu bertanya kepadanya: “Ma, apa salah kita?”
Si public figur ini tidak naif dengan mengakui bahwa semua orang di negeri ini jahat. Dia sadar masih banyak orang baik yang ingin menjadikan Indonesia sebagai rumah damai bagi semua. Tapi pada akhirnya, pengalaman pahit bertubi-tubi yang tidak tahu harus pergi ke ujung mana di negeri ini sekedar untuk bisa memeluk keyakinannya dan beribadah sesuai dengan keyakinannya itulah yang menumbuhkan perasaan sebagai orang terbuang. Perasaan ini sangat subjektif. Sejelas apapun dia mengutarakan pada orang lain, perasaan terbuang itu tak mungkin bisa dialami oleh orang lain. Wajah ketakutan anaknya di depan keberingasan para “laskar Tuhan” itu semakin meyakinkannya bahwa dia harus mencari negara baru yang bisa menerimanya dan memberinya ketenteraman.
Pada saat seperti itu, dia tidak sanggup mengambil bagian kampanye “Mari Cintai Indonesia”. Dia akan merasa seperti orang munafik.
Saya sendiri punya sahabat yang akhirnya memilih untuk tidak pulang ke Indonesia setelah menamatkan studi doktoralnya di salah satu perguruan tinggi top di Australia. Sahabat saya ini secara etnis adalah Tionghoa. Dia berasal dari keluarga Tionghoa pas-pasan di Kalimantan Barat. Sejak kecil dia mengakrabi simbol-simbol ke-Tionghoa-an di rumahnya, tapi dia tidak tahu bagaimana “merayakan”-nya. Ruang di luar rumahnya selalu adalah ancaman bagi identitasnya sebagai orang beretnis Tionghoa. Suatu hari di dalam angkot, arloji murah yang melingkar di pergelangan tangannya diminta paksa oleh seorang penjahat. Dengan penuh ketakutan, dia berikan arloji berharga receh itu. Bukan kehilangan arloji yang membuatnya sedih, tapi tak ada satu pun orang di dalam angkot yang menunjukkan belas kasihnya, bahkan ketika si penjahat sudah turun.
Hatinya hancur. Dia merasa tak terakui dan tanpa perlindungan di negaranya sendiri. Dengan pendidikannya, dia bisa saja menjadi orang sukses dan kaya. Tapi, dia tidak ingin tinggal di sebuah dengan tembok tinggi agar merasa aman, sementara setiap keluar rumah selalu merasa terancam. Dia tidak ingin anak-anaknya tercerabut dari budaya leluhur keluarganya karena karena ke-Tionghoa-annya selalu menjadi sorotan kebencian.
Cerita-cerita seperti ini bukan hanya terjadi di negeri ini. Kisah diskriminasi dengan sentimen etnis, agama, budaya, warna kulit, seks, dan gender terjadi di berbagai belahan dunia sudah ada sejak lama. Yang membedakan adalah ada negara-negara yang berani mengambil tindakan untuk menghentikannya dan ada negara-negara yang terus-menerus berkilah dan membiarkan pelanggaran hak-hak konstitusional terus berlanjut.
Selanjutnya: Indonesia Ini Rumah … (2)