Moh Rizal Badi'uzaman Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Ketika Nabi Di Hina, Harus Diam Bertindak?

2 min read

Siapa yang tak kenal Nabi Muhammad saw, beliau adalah orang yang paling mulia, akhlak hingga kepribadiannya. Beliau menjadi teladan dan pemberi syafaat kepada seluruh umat. Ketika di Yaumil Qiyamah. Sosok kekasih yang selalu dirindukan perjumpaan oleh umatnya. Rosulullah  adalah kekasih kita yang sesungguhnya. Nama beliau telah tertanam jauh di lubuk hati kita, sejak kekuatan memori kita baru mulai berfungsi. Menyebut namanya, kita mendapatkan berkah dan pahala karena Allah dan para malaikat-Nya.

Belum lama ini berita nabi dihina oleh pemerintah India. Datang lagi kabar Holywings menggunakan nama nabi Muhammad sebagai promosi memberi hadiah dan mengartiskan orang yang bernama Muhammad. Apa mereka tidak tau bahwa nama itu sangat dimuliakan oleh umat Islam. Membuat umat Islam marah memancing kekeruhan dan konflik.

Siapa yang tidak marah ketika junjungan nya dihina. Di dalam kitab Ash-Sharimul Maslul ala Syatimi Rasul dijelaskan bahwa siapapun yang mencela Nabi Muhammad maka di kafir dan pedang terhunus pantas untuknya di jelaskan oleh syaikhul islam ibnu taimiyah.

Para ulama berbeda pendapat menjelaskan bahwa kita sebagai umat Islam memiliki peran yang berbeda-beda dalam menyikapi penghinaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika baginda Nabi dihina maka wajib hukumnya bagi seluruh umat Islam menunjukkan ekspresi marah. Belum disebut Muslim sejati bila hatinya tidak merasa terhina menyaksikan tindak kesewenang-wenangan terhadap nabi kita. Bahkan seseorang belum disebut beriman kalau kecintaannya kepada Baginda Rasul menempati ruang terluar dari jiwanya.

Meski demikian, ada beberapa sikap yang perlu diperhatikan untuk merespon kemarahan atas penghinaan yang dialamtkan pada Nabi Muhammad. Pertama, hukuman bagi penghina yang berhak menghukum penghina Nabi shallallahu’ alaihi wa sallam adalah pemerintah atau dalam hal ini kepolisian. Kedua, ketika ada yang menghina Nabi, sebagai muslim wajib menunjukkan sikap tidak rida dan marah karena agama. Akan tetapi, tentu kita perlu tetap bersikap tenang dan bertindak sesuai dengan wewenang kita yang telah diatur dalam syariat.

Baca Juga  Aksi Teror Mujahid Indonesia Timur di Sigi: Anasir ISIS dan Sebuah Perang Kosmik

Kita sebagai umat Islam harus lebih bijaksana agar kejadian ini tidak dimanfaatkan oleh sebagian oknum yang ingin menghancurkan umat Islam. Kita tidak bisa melarang orang yang mengungkapkan rasa benci atau marah ketika panutan nya dihina. Mereka mempunyai cara tersendiri untuk mengungkapkan kemarahannya seperti aksi demo dan unjuk rasa untuk menyampaikan tuntutan kepada sang penghina. Tapi juga harus dengan cara yang arif dan tidak merusak dan mengganggu ketertiban umum. Mereka yang mempunyai kuasa membantu dengan kekuasan nya untuk menyuarakan tuntutan. Jika tidak bisa melakukan apapun, minimal dalam hati kita punya rasa benci dan marah atas penghinaan tersebut.

Bahkan di dalam kitab ad-Durarul Kaminah, Ibnu Hajar Al-Asqolani menceritakan seekor anjing yang sangat jelas keharaman nya marah ketika Rasulullah saw dihina di dalam satu pertemuan para pembesar Nasrani dan Mongol. Suatu hari pembesar Nasrani dan Mongol berkumpul dan salah satu dari mereka ada yang menghina Nabi saw. Di situ terdapat anjing buruan yang terikat. Salah satu dari mereka terus menghina Nabi, dan tiba-tiba anjing tersebut melompat, menerkam dan mencakar wajahnya, salah seorang dari mereka berkata: “ini karena kata-kata mu yang menghina Nabi saw”. Orang yang menghina nabi berkata: “bukan, anjing yang terlalu peka. Dia mengira bahwa aku akan memukulnya.

Kemudian salah seorang tadi menghina Nabi kembali, tiba-tiba anjing tersebut menggonggong marah dan langsung menerkam, kemudian mengginggit kerongkongan lalu menariknya hingga orang itu mati seketika. Kejadian ini membuat orang Mongol kurang lebih 40 ribu masuk Islam.

Kemarahan atas penghinaan kepada Nabi itu wajar. Semua agama pun juga akan mengalami hal yang sama jika orang yang diagung-agungkan dihina. Namun perlu dicatat bahwa kemarahan itu harus dibatasi biar tidak menjadi persoalan yang lebih parah.

Moh Rizal Badi'uzaman Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya