Salman Akif Faylasuf Santri PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo

Gus Ulil: Komentar Al-Ghazali Terhadap Ilmu Kalam (2)

2 min read

Sebelumnya: Gus Ulil… (1)

Konsepsi al-Ghazali tentang kalam yang komprehensif menyatu dengan dirinya, yaitu dengan perkembangan intelektual dan spritualnya sejak dia menggeluti dunia pengetahuan sampai akhir hayatnya. Dengan banyaknya karya tulis yang lahir dalam situasi perkembangan intelektual dan spiritual yang berbeda-beda kala itu, tentulah tak mudah memahami kalam yang berasal dari al-Ghazali dengan keutuhan pribadinya.

Syahdan, yang menarik dari al-Ghazali adalah ia digolongkan sebagai salah seorang yang paling menentukan jalannya sejarah Islam dan bangsa-bangsa Muslim. Bahkan, dalam bidang pemikiran dan peletakan dasar ajaran-ajaran Islam, al-Ghazali ditempatkan pada urutan kedua setelah Kanjeng Nabi. Ia adalah seorang pemikir yang tidak saja mendalam, tapi juga sangat subur dan produktif dengan karya-karya.

Akan tetapi, di balik kehebatannya, al-Ghazali tetaplah manusia biasa yang juga berbagai kelemahan. Salah satunya kelemahan sikapnya terhadap ilmu kalam. Mungkin karena ia memiliki semangat intelektual yang amat tinggi, mendorongnya untuk mengkaji apa saja yang ada pada lingkungannya.

Di samping itu, al-Ghazali sering menunjukkan sikap yang tidak konsisten. Ia sendiri melukiskan riwayat pengembaraan intelektualnya dalam bukunya al-Munqidz min al-Dhalal yang ditulisnya pada saat menjelang wafatnya. Banyak pengkaji melihat ketidakkonsistenan al-Ghazali justru karena petunjuk kehebatan intelektualnya yang selalu mencari dan terus menerus ingin tahu.

Salah satunya sebagaimana di ungkap oleh Cak Nur, yaitu terhadap ilmu kalam itu. Mungkin karena menganut mazhab Syafi’i, al-Ghazali, dalam bukunya, Iljam al-Awam an Ilm al-Kalam tampak menentang ilmu kalam. Tetapi bukunya yang lain, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, al-Ghazali memberi tempat kepada ilmu kalam al-Asy’ari.

Sementara itu, dalam karya utamanya yang cemerlang, Ihya’ Ulumuddin, al-Ghazali dengan cerdas menyuguhkan semacam sinkretisme kreatif dalam Islam, sambil tetap berpegang pada ilmu kalam al-Asy’ari. Ini tak mengherankan. Sebab, al-Ghazali di usia mudanya, dikenal sebagai murid utama al-Juwaini yang juga dikenal sebagai Imam al-Harmain (salah seorang terbesar dari kalangan para Mutakallimun Asy’ari).

Baca Juga  [Puisi] Menggerus Cinta

Hingga akhirnya, al-Ghazali aktif mengembangkan Asy’arisme ketika selama delapan tahun menjabat sebagai guru besar pada Universitas al-Nizhamiyah, Baghdad. Sebenarnya, jabatan al-Ghazali adalah guru besar ilmu fiqh mazhab Syafi’i. Sedangkan di Universitas al-Nizhamiyah mengikuti mazhab pendiri dari sponsornya, Nizam al-Mulk, dan menjadi partisan mazhab Syafi’i.

Tentunya, di samping menganut mazhab Syafi’i di bidang fiqh, Nizam al-Mulk juga menganut, malah mengagumi ilmu kalam al-Asy’ari. Ada yang mengatakan bahwa hal ini terjadi mungkin karena Abu al-Hasan al-Asy’ari sendiri adalah seorang penganut mazhab Syafi’i yang baik.

Hal lain karena, dengan melihat tema pikiran al-Ghazali, yang merupakan sinkretisme kreatif. Sebagaimana dimaksudkan oleh pendirinya, Asy’arisme bertujuan mengambil jalan tengah di antara paham Jabariah dan Qadariah, serta di antara ketegaran kaum Hanbali dan kebebasan berpikir para filosof.

Fazlur Rahman mengatakan, penyelesaian teologis yang diajarkan oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi terlepas dari berbagai nuktah pada sistem mereka yang menjadi sasaran kritik kaum Hanbali, seperti Ibn Taimiyah benar-benar merupakan definisi menyeluruh tentang Islam, yang membungkam paham Khawarij dan Mu’tazilah, dan menyelamatkan umat dari bunuh diri.

Maksud bunuh diri adalah tak berdayanya Islam untuk bertahan. Mengapa demikian? Karena ketidakmampuan intelektual para pemimpin Islam dalam menghadapi dan menjawab tantangan gelombang Hellenisme yang melanda Islam saat itu.

Dari sini kita bisa membaca bahwa, al-Ghazali mempunyai pendapat yang konstan dalam menilai kalam, meski dalam perkembangan spiritualnya berbeda. Pertama, kalam tidak boleh diberikan kepada orang awam; kedua, kalam bisa dimanfaatkan dalam keadaan yang sangat mendesak, baik untuk kepentingan pribadi maupun umum; ketiga, ahli kalam tetap diperlukan dalam suatu masyarakat Islam.

Ringkasnya, sehubungan dengan kalam dapat diambil tiga poin. Pertama, bahwa tujuan kalam adalah untuk melindungi akidah Islam dari penyimpangan yang dilakukan oleh ahli bid’ah. Kedua, kalam tak sepenuhnya berhasil mencapai tujuannya. Sebab, kalam gagal jika berhadapan dengan para skeptik atau dengan para filosof. Ketiga, bahwa kalam tidak mungkin memenuhi kebutuhan dahaga intelektual dan spiritual al-Ghazali.

Baca Juga  [Resensi Buku] Mengembangkan Pendidikan Multikultural untuk Demokrasi dan Keadilan Sosial

Sebagai penutup, usaha manusia untuk mencari hakikat pengetahuan diperlukan pengetahuan dan keyakinan yang meyakinkannya. Adalah satu keyakinan matematis seperti keyakinan bahwa, angka 10 lebih besar dari pada angka 3 (dan ini tak bisa di bantah). Keyakinan yang (meyakinkan) seperti ini tak akan bisa dimilikinya, kecuali dengan perantara panca indera dan pengetahuan dasar dari akal. Wallahu a’lam bisshawaab.

Salman Akif Faylasuf Santri PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo