Moh Syaiful Bahri Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tradisi Peringatan Maulid Nabi Muhammad di Pulau Giliyang, Madura

2 min read

Tradisi Maulid Nabi di Madura

Perayaan Maulid Nabi bermakna penting bagi umat Islam. Dirayakan oleh seluruh umat muslim hampir seluruh dunia. Dalam praktiknya, Maulid Nabi bermacam-macam model. Yang jelas, umat Islam menyambut dengan riang gembira. Tradisi Maulid dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan pengingatan kebesaran dan keteladan sosok Nabi Muhammad saw.

Ada semangat dan gairah keislaman pada momentum Maulid. Uniknya, Maulid bukan sekadar bangunan spiritualitas, di dalamnya juga ada aspek-aspek sosial dan ekonomi. Terlepas dari itu, Maulid Nabi yang dilaksanakan di pedesaan menarik untuk dibaca lebih dalam. Salah satunya yang terjadi di Madura Kepulauan (untuk menyebut pulau-pulau kecil di Pulau Madura).

Tradisi Maulid Nabi yang dilakukan oleh masyarakat Giliyang, Sumenep sama seperti di tempat lain, khususnya di Madura. Biasanya digelar di musala, masjid dan langgar pada malam 12 Rabiul Awal. Dari anak-anak sampai orang tua berkumpul, membaca syair-syair perjalanan hidup baginda Muhammad saw.

Pada momentum inilah masyarakat akan melangitkan doa dan harapan supaya kelak bisa berkumpul dengan barisan Rasul dan para sahabat juga orang-orang saleh.

Tentu bulan Maulid adalah bulan paling ditunggu-tunggu selain bulan puasa. Puncak dari segala yang bernama rindu dan cinta bertemu. Saling sahut-menyahut dari bilik musala, toa masjid dan rumah-rumah warga.

Di Pulau Giliyang misalnya, masyarakat tidak berhenti merayakan Maulid Nabi hanya pada tanggal 12 Rabiul Awal, tetapi berlanjut selama satu bulan penuh.

Hal ini dilakukan dari rumah-rumah warga. Uniknya kiai kampung, santri dan masyarakat disibukkan dengan aktivitas Maulidan setiap hari. Bahkan kadang dari siang, sore sampai malam di hari yang sama ada acara Maulidan. Mereka bergiliran dari satu rumah ke rumah lainnya.

Baca Juga  Jangan Menjadi Manusia Kelima

Semarak perayaan Maulid Nabi seperti ini belum saya temui di tanah rantau. Jogja. Lebih-lebih kota ini basis masyarakat dengan organisasi Muhammadiyah. Terlepas dari itu semua, Jogja tidak bisa disandingkan dengan Madura persoalan merayakan Maulid Nabi semacam ini. Yang mana hampir setiap rumah berebutan untuk melaksanakan Maulid Nabi. Dari mengundang lima belas orang sampai ratusan orang. Dan semua biaya diganggu tuan rumah yang punya hajatan merayakan Maulid.

Barangkali, benar adanya bahwa cinta tidak pernah memandang materi. Hal ini bisa dibuktikan dengan perayaan Maulid yang besar-besaran di Pulau Giliyang. Undangan tidak tanggung-tanggung, sekitar ratusan warga yang hadir disuguhi aneka ragam makanan, syukur-syukur bila orang kaya pun dikasih uang dan seperangkat oleh-oleh untuk keluarga di rumah (berkat: makanan yang dibawa pulang dari acara selamatan).

Akhirnya, Maulid Nabi menjadi sarana untuk kembali merefleksikan nilai-nilai keislaman yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Perayaan Maulid seperti di Pulau Giliyang ini bagian dari membumikan nilai-nilai yang dibawa Nabi. Masyarakat percaya bahwa Maulid bukan sekadar melantunkan pujian pada Nabi Muhammad SAW. lebih dari itu ada spirit untuk meneladani.

Pantang bagi warga Giliyang tidak merayakan Maulid di rumah masing-masing dengan mengundang keluarga, tetangga dan orang-orang yang memiliki ikatan pertemanan. Seperti disinggung di atas bahwa setiap rumah ramai dengan perayaan Maulid sepanjang bulan Rabiul Awal.

Makna dari tradisi ini adalah sikap untuk mengutarakan cinta dan rindu pada Nabi Muhammad SAW. tanpa memikirkan ongkos dan biaya perayaan Maulid di rumah masing-masing warga.

Terakhir saya akan mengutip perkataan salah seorang tokoh masyarakat, kira-kira begini “tidak penting berapa uang yang dikeluarkan untuk merayakan Maulid Nabi. Harta bisa dicari, tetapi kerinduan dan rasa cinta pada sosok Nabi Muhammad tidak bisa ditukar berapapun kekayaan kita.” Di sini saya tiba-tiba tersentak. Ternyata ada cinta tulus dari orang-orang desa.

Baca Juga  Menerapkan Ketenangan Batin Perspektif al-Ghazali di tengah Gejolak Politik Pesta Demokrasi

Sejauh ini, mereka tidak peduli pada ustad yang ceramah tentang hukum merayakan Maulid. Sama sekali tidak. Mereka yakin bahwa apa yang diwariskan oleh kiai kampung benar adanya. Maulid bagian dari ekspresi rindu pada Sang Kekasih.

Tahun ini adalah Maulid Nabi ke-4 di tanah rantau. Ada rasa kangen pada suasana Maulid di kampung halaman. Rindu melihat anak-anak pergi ke musala untuk rebutan buah-buahan. Konon, buah-buahan menjadi hidangan spesial di bulan Maulid karena dulu waktu Nabi lahir semua pohon berbuah, tanaman tumbuh subur, ternak-ternak gemuk dan semua hal kembali membawa berkah bagi umat manusia.

Selebihnya, saya merindukan berkunjung ke rumah saudara, tetangga dan orang-orang di kampung dalam rangka merayakan Maulid.

Moh Syaiful Bahri Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta