Sangat mafhum dewasa ini saat mendengar lafal “jihad”, seseorang akan langsung berasmusi bahwa ia bermakna perang, pedang, penaklukan, atau arti semakna yang terkait kekerasan. Padahal, makna dasar dari kata ini—dalam bahasa Arab—adalah bersungguh-sungguh (jahada).
Berkaitan dengan itu, dalam literatur Islam, seorang ulama dengan kompetensi untuk memproduksi sebuah hukum disebun mujtahid. Sedangkan, orang yang “berperang” demi kepentingan agama disebut mujāhid. Dua terminologi yang mirip karena berangkat dari akar kata sama, jahada, namun memiliki perbedaan makna.
Ketika mempelajari sejarah Islam, orang-orang yang berasmusi demikian mungkin lebih melihat pada aksi heroik figur Nabi Muhammad dan para sahabatnya dengan latar narasi perang yang pernah dimenangkan. Padahal, jika merujuk pada narasi lain yang menceritakan sikap Nabi saat dilempari batu oleh penduduk Thaif, alih-alih membenci, beliau justru menolak tawaran Jibril untuk menghancurkan kaum tersebut, bahkan beliau mendoakan mereka. Kelalaian untuk melihat fenomena yang kedua ini bertanggung jawab atas terjadinya penyempitan makna jihad dengan makna perang an sich.
Dalam pemikiran yang lebih konstruktif, pada dasarnya jihad tidak hanya berarti perang fisik melawan musuh. Nabi Muhammad sendiri pernah mengatakan bahwa puasa di bulan Ramadan adalah salah satu bentuk jihād al-akbar; yakni jihad melawan nafsu yang, bisa jadi, butuh perjuangan yang ekstra besar.
Hal ini karena setiap orang yang berpuasa harus mampu menekan kebenaran dan kepentingan subjektif yang terkadang sangat mudah direkayasa di hadapan orang lain, karena hanya dirinya dan Tuhan yang tahu. Seseorang dituntut untuk jujur terhadap dirinya sendiri, temasuk saat sendirian—suatu perkara tidak mudah dilakukan. Misalnya, selain Allah dan dirinya, siapa yang tahu jika seseorang yang berpuasa telah sengaja meneguk beberapa tetes air saat ia berwudu.
Berjihad memahami nilai-nilai keadilan, kedermawanan, keikhlasan, kesucian, keindahan kesabaran sekaligus berusaha memanifestasikannya dalam perilaku adalah bentuk jihad yang lebih berat dibanding menghakimi kualitas iman sekelompok orang.
Salah satu upaya meneladani puasa Ramadan ini adalah dengan menjadikan Ramadan sebagai bulan rahmat bagi semua orang, dan bukan hanya umat Islam semata. Jika seseorang bersuka cita dengan datangnya Ramadan karena Allah telah menjanjikan rahmat, maghfirah (ampunan), dan ‘itqun min al-nār (bebas dari api neraka), itu memang sudah menjadi hal yang wajar.
Namun, yang lebih sulit adalah bagaimana mempengaruhi orang lain untuk ikut tersenyum tanpa merasa khawatir, misalnya, karena mereka harus takut menutup warung sebagai sumber penghidupannya. Faktanya, fenomena yang saya sebutkan terakhir, saat ini, sering terjadi. Lantas pertanyaannya adalah mengapa bisa demikian?
Sejauh yang saya amati, setidaknya ada dua alasan mengapa sebagian orang melakukan hal sedemikian, yakni; pertama, mereka menuntut adanya penghormatan atas bulan Ramadan; dan kedua, menuntut untuk menghoramati orang yang berpuasa. Dua alasan ini bagi saya sangat tidak tepat karena Allah pun tidak mewajibkan sebuah penghormatan, baik kepada mereka yang berpuasa maupun pada bulan Ramadan.
Akhirnya, sebagaimana pepatah yang mengatakan “kuman di seberang lautan tampak, tapi gajah di pelupuk mata tidak tampak,” yang dalam konteks ini mengajarkan kita bahwa bisa jadi kita luput untuk melihat setan (ego/al-anā) yang ada dalam diri sendiri, namun justru terjebak untuk selalu mengoreksi kesalahan yang dilakukan oleh orang lain (the other/al-ākhar).
Maka dari itu, sebelum memasuki bulan Ramadan yang sebentar lagi tiba, saya kira kita semua perlu untuk menata hati dan melakukan refleksi agar tidak terjebak pada ego sentris untuk mendapatkan penghormatan dan menyalahkan orang lain namun lupa akan, salah satu, esensi dari ibadah puasa itu sendiri, yakni mengekang ego dan hawa nafsu. Marilah kita wujudkan semangat jihād al-nufūs pada bulan ini dengan kegiatan-kegiatan `ubūdīyah dan dakwah nyata yang penuh hikmah. [AA, MZ]