Tidak lama lagi kita akan menyambut bulan suci Ramadan. Ramadan ternyata adalah bulan yang dijadikan Allah SWT sebagai tonggak deklarasi tentang pentingnya esensi pendidikan berupa tradisi membaca bagi komunitas Muslim. Deklarasi Tuhan tersebut tercantum dengan jelas dalam surah al-Alaq. Turunnya surat tersebut tidak sekadar dimaknai sebagai tanda kenabian Muhammad, tetapi lebih daripada itu, ia dimaknai sebagai seruan Tuhan yang universal dan vital. Universalitas dan vitalitas surah pertama yang diturunkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad tersebut setidaknya bisa kita lihat dengan jelas pada ayat pertama yang berbunyi iqra’ (bacalah).
Secara historis, lingkungan sosial yang mengitari Nabi Muhammad—saat surat tersebut diturunkan kepadanya—lebih menekankan pada pentingnya hafalan (memorization). Bahkan hingga Abad Pertengahan Islam, aspek hafalan masih dominan di institusi-institusi pendidikan Islam. Iqra’ mengandung makna penegasan Allah tentang pentingnya aspek membaca.
Dengan demikian, ayat tersebut dimaksudkan untuk merubah metode pembelajaran komunitas Muslim saat itu dari metode yang menekankan aspek hafalan ke metode yang mementingkan budaya membaca. Sehingga, kata perintah ‘hafallah’ tidak terdapat dalam surat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah. Sayangnya, sejak turunnya deklarasi Tuhan tersebut hingga sekarang, kaum Muslim kurang menyadari pentingnya budaya membaca. Kurangnya kesadaran komunitas Muslim terhadap deklarasi Allah tersebut mengakibatkan lemahnya daya saing pendidikan Islam di pentas global.
Bukan hal asing bagi kita, sejarah pendidikan Islam di Indonesia juga diwarnai dengan penekanan hafalan ketimbang membaca. Penekanan aspek membaca daripada hafalan di lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia baru muncul pada akhir abad ke-20.
Walaupun demikian, hingga saat ini, tradisi membaca masih belum kuat mengakar di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Padahal, tradisi membaca sebagai esensi dasar pendidikan telah lama diterapkan di dunia barat. Kesadaran dunia barat tentang pentingnya aspek membaca daripada hafalan telah mampu mengangkat derajat peradaban mereka beberapa digit di atas kaum Muslim.
Memang di dunia pendidikan, tradisi hafalan memiliki nilai positif. Namun, dibandingkan tradisi membaca, tradisi hafalan memiliki kelemahan dalam dua hal. Pertama, hafalan kurang mampu mendorong daya kritis pembelajar. Tradisi hafalan lebih menuntut pengulangan (repetition) yang konsisten. Sebaliknya, tradisi membaca mendorong pembelajar untuk bersikap kritis karena pembelajar diminta memahami isi dan koherensi bacaan. Bukan hal yang asing bagi kita, sikap kritis merupakan persyaratan penting dalam dunia akademik. Tanpa sikap kritis, dunia pendidikan tidak akan mampu melahirkan pengetahuan yang progresif dan berkualitas bagi kepentingan kemanusiaan.
Kelemahan kedua tradisi hafalan adalah ia kurang mampu memproduksi pengetahuan melalui penerbitan buku-buku ilmiah. Sebaliknya, tradisi membaca akan mendorong produktivitas penerbitan buku-buku ilmiah karena membaca akan melahirkan kebiasaan menulis. Kalau diibaratkan dalam kehidupan sehari-hari, orang yang membaca sama dengan orang yang makan. Ketika seseorang makan dengan kenyang, niscaya dia memerlukan pembuangan. Pun juga ketika seseorang membaca dengan kenyang, dia membutuhkan pembuangan berupa menulis. Sehingga, tradisi membaca memiliki korelasi yang kuat dengan produktivitas menulis. Seseorang yang rajin membaca, biasanya, dia akan mudah menulis.
Kalau kita melihat potret dunia pendidikan Islam di Indonesia, ternyata wajah bopeng yang kita lihat pada dasarnya diakibatkan lemahnya penekanan aspek membaca di dalamnya. Deklarasi yang dicanangkan langsung oleh Allah pada bulan Ramadan berabad-abad yang lalu, tidak direspons sigap oleh komunitas Muslim hingga saat ini.
Pendidikan kita juga tidak menyediakan fasilitas yang memadai bagi terciptanya budaya membaca. Perpustakaan sebagai ‘nyawa’ institusi pendidikan seringkali tidak diperhatikan dengan baik. Minimnya jumlah buku dan kurangnya pelayanan di sebagian besar perpustakaan kita adalah penyumbang yang cukup besar bagi macetnya budaya membaca sehingga memperlemah daya saing pendidikan kita.
Pendidikan kita lebih mementingkan pembangunan fisik daripada memperbanyak jumlah buku dan meningkatkan pelayanan perpustakaan. Sejumlah perguruan tinggi kita berlomba-lomba membangun gedung perkuliahan dan auditorium yang mewah dengan dana miliaran tanpa memikirkan bagaimana caranya menjadikan perpustakaan bermutu. Perpustakaan sebagai pusat pembelajaran yang vital benar-benar telah dinomorduakan di negeri ini.
Di perguruan-perguruan tinggi Barat, di Belanda misalnya, anak didik didorong untuk meningkatkan frekuensi membaca. Di samping itu, anak didik dimanjakan dengan fasilitas perpustakaan yang menyediakan jutaan buku dan pelayanan yang efektif dan efisien. Setiap minggu, beban membaca minimal 100 halaman untuk satu mata kuliah sudah biasa diterapkan di sana. Untuk merangsang anak didik berkunjung ke perpustakaan, mereka diminta mencari referensi alternatif minimal tiga judul buku setiap minggunya. Sehingga anak didik dipaksa untuk mengunjungi perpustakaan setiap hari. Mereka diminta aktif mencari sumber-sumber bacaan kontemporer untuk dikomparasikan dengan bacaan baku (obligatory).
Tantangan yang paling dahsyat terhadap tradisi membaca saat ini adalah membanjirnya media visual dan sosial dalam kehidupan kita sehari-hari. Hal ini dikarenakan mulai tergesernya peran penting budaya membaca ke tradisi menonton. Tidak dibatasinya akses anak didik terhadap media televisi misalnya, bisa mengakibatkan rusaknya tatanan dasar pendidikan kita.
Bulan Ramadan sudah semestinya dimanfaatkan oleh kalangan pendidik dan orang tua untuk memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi anak didik agar terbiasa membaca. Biasanya saat-saat berpuasa, pikiran membutuhkan sesuatu untuk mengisi kekosongan waktu menjelang berbuka. Pada saat itulah, semestinya anak-anak diberikan bahan bacaan, bukan dibiarkan untuk selalu menonton tayangan televisi atau media sosial.
Salah satu elemen vital dalam tradisi membaca adalah implementasi logika dan nalar yang sehat untuk memahami teks. Ini mendorong berfungsinya roda beragama yang sehat atau moderat dalam masyarakat. Penggunaan logika dan nalar dalam menghadapi isu-isu atau persoalan sosial sangat penting untuk mencegah pola pikir tak sehat dalam beragama (baca: radikal).
Misalnya dalam konteks kekinian, wabah Covid-19 yang menjadi persoalan global, akan ditanggapi dengan nalar yang sehat oleh kelompok Muslim yang senantiasa membiasakan dirinya untuk berpikir logis. Ketika cara atau solusi yang ditawarkan oleh logika (ilmu pengetahuan) untuk memutus mata rantai wabah ini adalah social distancing, tak ada penolakan atau komentar negatif berbasis agama sekalipun.
Kita harus yakin bahwa budaya membaca sangat vital bagi pendidikan dan peradaban kita. Kalau kita tidak menggiatkan tradisi ini, kemunduran dan stagnasi peradaban masyarakat Muslim tak terelakan. Hal ini dikarenakan, Allah dengan tegas telah menyerukan ‘iqra’ di surat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Kita tidak hanya dituntut yakin, tetapi juga diwajibkan menerapkannya di dalam kehidupan nyata. Ramadan, dengan demikian, adalah bulan kaum Muslim untuk meningkatkan dan menyerukan tradisi membaca untuk kemajuan peradaban Islam. Walhasil, tradisi membaca bukan sekedar hidup di dunia ideal saja tetapi hidup di dunia real. [MZ]