Fawaizul Umam Dosen Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora IAIN Jember

Kapan Ya Ada Maulid Aisyah?

2 min read

Aku pernah ikut menghadiri Maulid Sayyidah Fatimah Azzahro’ dua kali, di Mataram dan Bondowoso. Untuk Haul Sayyidah Khadijah al-Kubra, malah nyaris kuikuti tiap tahun; keluarga besarku bersama warga sekitar selalu menyelenggarakannya di pertengahan Ramadan.

Kalau Maulid atau Haul Sayyidah Aisyah ra? Sama sekali belum pernah. Karena, sependek pengetahuanku, memang belum pernah ada yang merayakannya. Andai ada, aku ingin pula ikut hadir. Bukan sok religius, aku cuma suka berada di tengah-tengah kerumunan yang berasyik-masyuk merayakan kegembiraan. Senang banget menikmati cara mereka mengekspresikan cinta terhadap orang-orang terkasih dari sang junjungan, Sayyidina Muhammad SAW. Selebihnya, tentu karena aku ini termasuk golongan penyuka bid’ah hasanah. Hehehe…

Untunglah ada “Aisyah Istri Rasulullah”, sebuah lagu lawas lansiran 2017 yang muncul kembali menghentak penasaran banyak orang dan menjadi hit. Melalui lagu tersebut aku jadi punya momen menikmati bagaimana orang-orang mengapresiasi konstruksi sang pencipta lagu tentang sosok Aisyah putri Abu Bakar Ash-Shiddiq itu. Lantaran lagu ini, setidaknya orang yang malas membaca al-Sīrah al-Nabawīyah jadi punya rujukan sederhana mengenal sosok-sosok kinasih sang Nabi. Apalagi di tengah pandemi global yang tak kunjung usai, menyimak bait demi bait lagu ini seolah menjadi pelepasan diri dari kemencekaman situasi.

Sudah sebulan belakangan lagu ini sukses mengharu biru publik Tanah Air. Mengapa lagu ini begitu disuka? Selain nada ritmisnya yang menghasut, bait-bait syairnya sukses melayani dahaga kesempurnaan setiap orang tentang citra perempuan (istri) dan lelaki (suami).

Lagu ini sepenuhnya bertutur tentang kecantikan fisik dan kelembutan romantik Aisyah serta romansa cintanya bersama Rasulullah. Lagu ini lupa bercerita aspek terpenting paling mengagumkan dari sang ummul mukminin, yakni kecerdasan dan keluasan ilmunya, perilaku zuhud, kedermawanan, kesabaran, keikhlasan, dan keberanian dalam menjaga kehormatan dan ketegasannya menggengami kebenaran di tengah badai fitnah dan kebencian. Lagu ini juga melewatkan fakta-fakta historis apresiasi sang suami yang memungkinkan ia leluasa menunjukkan segenap potensi kecerdasannya.

Baca Juga  Jebakan Patriarki di Balik Kontestasi antara Pro-Khadijah atau Pro-Aisyah

Kita memang tidak perlu menuntut terlalu banyak pada sebuah lagu, termasuk lagu ini. Ia hanyalah sebuah lagu. Tak lebih. Oleh sang pencipta, ia memang tidak dihajatkan berbicara banyak hal layaknya buku sejarah (sīrah) tentang figur Aisyah. Soal isinya diam-diam menyimpan prasangka patriarkis yang kental, itu soal lain. Soal lain inilah yang diakui atau tidak telah menginspirasi banyak lelaki atau suami ramai-ramai menyukainya.

Memang banyak lelaki menyukai lagu ini. Antara lain karena isinya mencitrakan kecantikan yang ideal. Perempuan atau istri idealnya ya seperti Aisyah begitu. Lembut memanjakan, penuh pengertian terhadap tiap kegundahan suami, dan cantik putih dengan pipi merona bersemu merah muda. Pencitraan tersebut memang berdasar idealisasi lelaki tentang perempuan, bersandarkan hasrat lelaki tentang kecantikan fisikal. Demi apa citra itu diteguhkan? Tentu demi kebahagiaan lelaki. Lagu ini sungguh-sungguh melayani hasrat purba lelaki tentang perempuan yang ideal: cantik. Kecantikan fisik perempuan memang terlalu penting bagi banyak lelaki tinimbang kecerdasannya!

Adakah Angah Razif, sang pencipta lagu, dan Mr. Bie yang mengadaptasinya digerakkan oleh motivasi ideologis serupa? Entahlah. Yang pasti, keduanya lebih memilih menonjolkan citra ideal fisik Aisyah dalam lagu tersebut ketimbang hal paling inspiring darinya: kecerdasan dan keluasan ilmu.

Bagi kebanyakan lelaki, terutama yang hidup nyaman berkalang peradaban patriarkis, kecerdasan perempuan memang bukan hal terpenting. Bagi mereka, bahkan kecerdasan perempuan (istri) adalah ancaman bagi dominasi kelelakian para lelaki (suami) dalam kehidupan rumah tangga. Kita tahu, lelaki sangat gampang memuji fisik perempuan, tapi sulit menyanjung kecerdasannya bukan? Kita juga banyak menjumpai lelaki tampan dan jelek yang menggilai perempuan cantik. Namun, sungguh sangat sedikit lelaki yang berani mencintai perempuan cerdas dan mandiri. Hanya lelaki dengan keberanian dan kecerdasaan istimewa yang berani menginginkan perempuan sedemikian menjadi istrinya.

Baca Juga  Kematian Masha Amini: Bagaimana Violent-ekstremism Timbul?

Uniknya, kebanyakan perempuan justru suka dihujani pujian di aspek kecantikan luar itu. Padahal seluruh idealisasi kecantikan perempuan hampir selalu diproyeksikan untuk melayani perspektif lelaki. Kita tahu, dalam nalar bias gender seperi itulah, kapitalisme bekerja dalam industri kosmetika. Dan lagu ini melanggengkannya dengan syair mendayu menumpang kecantikan sang Humairo. Wajarlah jika banyak perempuan juga sangat menyukai lagu ini.

Begitulah. Lagu ini, dalam perspektif gender, memang sungguh mengintimidasi perempuan. Itulah mengapa sejumlah kawan aktivis gender meradang. Bagi mereka, idealisasi perempuan semata pada kesempurnaan fisik, ketaatan, dan kelembutan romantiknya telah membuat para lelaki kian keranjingan menempatkan perempuan sebagai objek dalam relasi gender yang tak setara, sekadar pemuas bagi kesenangan seksual para lelaki, bahkan tumbal penyempurna spiritualitas kelelakian yang pongah.

Namun, bagiku, lagu ini justru sangat mengintimidasi lelaki, terutama setelah istriku begitu menyukainya. Nyaris di tiap kesempatan ia rengengrengeng menyanyikan lagu ini. Macam menyindirku begitu.

“Memang gak ada lagu lain ta?” potongku, kesal.

“Aku ingin sampean berlaku lembut padaku, romantis meminum lewat bekas bibirku di gelas, seperti Nabi kepada Aisyah.”

Nah kan, dia mulai membandingkan suaminya ini dengan citra ideal Rasulnya. Kesalku berbalas senyum mengolok.

“Ah, mudah saja itu. Akan lebih mudah andai kamu cantik putih memerah muda seperti Aisyah,” kataku sekenanya. Dan, ia pun cemberut kesal. Hehehehe.

Hmm, semoga saja ada orang yang menyelenggarakan Maulid atau Haul Sayyidah Aisyah ra. Aku pingin ikut hadir merayakannya, lengkap beserta istri dan anak-anakku. Karena menumbuhkan cinta pada Rasul dan ahl al-bayt-nya tidaklah cukup hanya dengan memutar lagu “Aisyah Istri Rasulullah” berulang-ulang. Begitu. [MZ]

Baca Juga  Jilbab dan Hak Orang Tua atas Pendidikan Agama dan Moral Anak

 

Fawaizul Umam Dosen Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora IAIN Jember

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *