Faried Wijdan Alumni 'Sekolah Arab' Al-Huda, Petak, Susukan, Kab. Semarang. Trah K.H. Abdul Djalil, Petak. CEO Sebuah Pabrik Aksara.

Menyoal Arah Pengembangan MAPK Masa Depan

7 min read

Direktorat KSKK Madrasah Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI mempunyai beberapa madrasah bonafid binaan. Sebut saja: Sekolah Islam Afkaaruna di Yogyakarta, Madrasah Techno Natura di Depok, MAN Insan Cendekia, dan Madrasah Aliyah Program Khusus (MANPK) di beberapa kota.

Pada tulisan ini, penulis akan membahas tentang Madrasah Aliyah Program Khusus, karena ‘madrasah jempolan’ ini lahir lebih dulu dari ketiga prototip madrasah unggulan lainnya. Lebih dari tiga dasawarsa Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) berdiri.

Sejak dirintis tahun 1987 ‘pesantren negeri’ yang merupakan ‘ijtihad jenius dan futuris’ mantan Menteri Agama RI Zaman Orde Baru, Munawir Syadzali, sudah melahirkan puluan Guru Besar, ratusan Doktor alumni dalam dan luar negeri, penceramah agama, pejabat publik, praktisi hukum, jurnalis, pengamat politik, ahli ekonomi, dosen PTAIN, anggota TNI/ POLRI, hingga wirausahawan sukses.

Tidak berlebihan dikatakan bahwa hampir di semua sektor profesi di sana ada alumni MAPK, dan menunjukkan peran strategisnya. Sebuah versi, yang jarang diketahui publik, bahkan alumninya, bahwa lahirnya program ini diilhami oleh Pesantren Mambaul Ulum, Surakarta, madrasah pertama di Indonesia yang melahirkan tokoh dan pemikir Islam jempolan di tanah air, sebut saja: K.H. Masykur, K.H. Saefuddin Zuhri (keduanya pernah menjabat Menteri Agama), Mahbub Djunaidi (Kolomnis), Prof. Dr. Baiquni (Ahli Fisika Atom ITB), K.H. Munawir Sadzali (Pencetus ide MAPK), dan Prof. Dr. Amin Rais. Nah, Madrasah Aliyah Program Khusus ini merupakan versi modern dari Pesanten Mambaul Ulum.

Sejarah membuktikan bahwa MAPK merupakan ruh dari lembaga pendidikan yang ada di bawah Kementerian Agama. Sebab, melalui MAPK ini karakteristik madrasah dengan kekhususan tafaqquh fī al-dīn masih bisa dipertahankan. MAPK merupakan aset berharga yang wajib dipelihara dan dilestarikan bahkan dikembangkan keberadaannya agar tetap bisa menjadi kebanggaan bersama.

Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) mempunyai keistimewaan (mumayyizāt) dalam hal kurikulum dan pembelajarannya dibanding sekolah menengah umum dan madrasah aliyah reguler. Setidaknya penulis merangkum tigal hal penting yang menjadi keistimewaan pesantren negeri ini.

Pertama, spirit moderasi beragama dimasukkan ke dalam kurikulum pembelajaran; kedua, penanaman pemahaman keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan yang tinggi; ketiga, penanaman sikap bijak dalam menyikapi perbedaan dalam kehidupan.

Peserta didiknya digembleng untuk mengkaji dan menganalisa kitab-kitab babon referensi keislaman, baik fikih, ushul fikih, tasawuf, ilmu mantik dan balaghah, ilmu tafsir dan Al-Quran, di samping penguasaan secara advance dalam berbahasa Inggris dan Arab, serta penguasaan ilmu non agama, seperti: filsafat, sosiologi, komunikasi, dan seni budaya.

Soal olah pikir, rasa, dan karsa, santri MAPK di atas rata-rata. Mereka mendalami secara serius ilmu-ilmu syariat, tasawuf, dan seni. Mereka adalah peserta didik berkultur hibrida, par excellent dalam hal bersikap terbuka, dialogis, komunikatif, tidak gegar dan kagetan akan perbedaan pemikiran dan pandangan keagamaan.

MAPK lahir untuk mendidik kader ulama, ulama yang intelek dan intelek yang ulama. Program prestisius ini dijalankan untuk mengantisipasi akutnya persoalan madrasah, melahirkan input mahasiswa/i Perguruan Tinggi Agama Islam (UIN/IAIN/STAIN) yang berkualitas, di samping sebagai pilot project untuk dipersiapkan menjadi pegawai Kemenag yang lebih profesional, berwawasan luas, dan moderat agar mampu memahami perbedaan pemikiran keagamaan masyarakat.

Revitalisasi MAPK Sampai Mana?

Ganti rezim, bergantilah peraturan. MAPK ‘terombang-ambing’ dalam problematika legalitas dan undang-undang. Kejelasan payung hukum dan penjabaran aturan serta ketentuan yang lebih pasti yang mengatur tentang MAPK bukannya semakin mantap dan kuat, malah semakin ‘lesu darah’.

Sedikit flash back: di tahun 1975, Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama 3 Menteri 1975, untuk “memodernisasi” madrasah; namun di sisi lain telah berdampak pada mandegnya kaderisasi ulama di madrasah. Tujuan Menteri Agama Prof. Mukti Ali untuk mencetak ulama intelek dan intelek yang ulama jauh panggang dari api.

Baca Juga  Pentingkah Belajar Hermeneutika untuk Membaca Teks?

Kualitas lulusan madrasah dinilai serba tanggung: pengetahuan umum tidak menguasai, pengetahuan agama tidak mendalam. Berawal dari keresahan akan akutnya persoalan madrasah, terutama menyangkut pengkaderan ulama (program tafaqquh fid-din), pada tahun 1987 Menteri Agama Munawir Sjadzali memprakarsai proyek penyelenggaraan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) dengan kurikulum yang padat agama dan bahasa (Arab dan Inggris) serta pembelajaran yang intensif dengan sistem asrama seperti pesantren.

Di zaman Menteri Munawir, MAPK mengalami masa keemasan, berdirilah lima MAPK di lima kota (Padang Panjang, Ciamis, Yogyakarta, Jember, dan Ujung Pandang), berdasarkan Keputusan Menteri Agama nomor 73 tahun 1987. Selanjutnya, pada tahun 1990 dibuka lagi di Lampung, Surakarta, Mataram, dan Martapura. Di awal-awal pendiriannya, program MAPK ini benar-benar dikelola, diperhatikan secara serius, dengan seleksi ketat dan pendanaan memadai (didukung proyek).

Berkaca pada suksesnya MAPK, desakan masyarakat untuk membuka lebih banyak MAPK semakin masif. Untuk merespons desakan itu, melalui Keputusan Menteri Agama, Era Tarmizi Taher, melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 371 Tahun 1993, restrukturisasi madrasah dilakukan lagi yaitu dengan mengubah MAPK menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAPK). Secara substansial, antara MAPK dengan MAPK tidak ada perbedaan yang berarti, kecuali beban kurikuler MAPK agak lebih berat ketimbang MAPK.

Dari segi operasional, MAPK didukung proyek, sedangkan MAPK tidak. Di samping itu, dengan KMA 371 Tahun 1993 ini Kanwil Depag diberi wewenang membuka MAPK sesuai kebutuhan dan bagi MA yang mau melaksanakan, bukan saja di MAN tetapi juga di MAS.

Jumlah MAPK menjadi semakin banyak dan masif. Namun sayang, pertambahan jumlah yang sangat besar ini tidak dibarengi dengan dukungan dana, sarana, prasarana dan tenaga yang memadai. Akibatnya, kualitas MAPK menurun dan semakin lama semakin buruk.

Pada gilirannya, minat masyarakat juga menurun drastis bahkan sejumlah MA swasta dan Pesantren penyelenggara program keagamaan menutup program ini karena tidak lagi mendapat murid. Selanjutnya dikeluarkannya UU No 20/2003 tentang Sisdiknas (UUSPN 2003) ternyata memunculkan persoalan baru.

Beberapa klausul (UUSPN 2003) yang mengatur tentang jenis pendidikan, penyelenggaraan dan penjurusan (Pasal 15, 18, 30 ) tidak memberikan indikasi yang jelas tentang apa, bagaimana dan di mana status hukum dan legalitas MAPK. Artinya, bukan saja masalah degradasi kualitas dan animo masyarakat yang sedang menimpa Madrasah Aliyah Keagamaan (MAPK), status kelembagaan MAPK pun sangat problematis.

Pada 1 Agustus tahun 2006 program keagamaan diberhentikan dengan keluarnya surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Nomor: DJ.II.1/PP.00/ED/681/2006 tentang Pelaksanaan Standar Isi pada poin 5 dinyatakan bahwa pada tahun pelajaran 2007/2008 Madrasah Aliyah penyelenggara Madrasah Aliyah Keagamaan (MAPK) tidak diperkenankan menerima murid lagi.

Artinya, sejak tahun itu MAPK mulai berhenti beroperasi dengan kata lain dibubarkan. Sebagai gantinya Madrasah Aliyah Keagamaan (MAPK) diubah menjadi Program Keagamaan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang pemberlakuanya dimulai tahun ajaran 2007/2008 tanggal 6 Mei 2008.

Dengan mengacu standar isi dan standar kelulusan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (PERMENDIKNAS) nomor 22 Tahun 2006, dan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 2 Tahun 2008.

Kemudian, Tahun 2013 pemerintah mengeluarkan kebijakan baru berupa yaitu kurikulum 2013, dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No 90 Tahun 2013 tentang penyelenggaraan madrasah yang diberi nama Program Studi Keagamaan.

Baca Juga  Belajar Toleransi dari Nepal van Java Magelang (1)

Didukung dengan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No 912 Tahun 2013, tentang kurikulum madrasah 2013 mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab yang diberi nama Peminatan Ilmu-Ilmu Keagamaan Madrasah Aliyah.

Produk Kebijakan-kebijakan madrasah aliyah program keagamaan selanjutnya adalah Peraturan Menteri Agama No 60 Tahun 2015 tentang perubahan atas PMA Nomor 90 Tahun 2013. Di dalam peraturan ini muncul tumpang tindih istilah: Madrasah Aliyah Kejuruan yang itu sama dengan Madrasah Aliyah Keagamaan.

Ada lagi Madrasah Aliyah Akademik dan Madrasah Aliyah Keterampilan. Peraturan Menteri Agama No. 60 Tahun 2015 ini dilengkapi dengan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam No. 1293 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Program Keagamaan di Madrasah Aliyah.

Jika dicermati, petunjuk teknis ini terkesan ‘kurang work’, banyak ditemukan kelemahan-kelemahan, antara lain: Tidak ada satupun juknis yang memuat keterlibatan masyarakat, yakni alumni dan wali murid) dalam penyelenggaraan Program Keagamaan di Madrasah Aliyah, yakni pasal 46: komite madrasah tidak dimasukkan unsur alumni.

Padahal alumni merupakan aset penting yang harus dirangkul dan dikembangkan. Peranan alumni dalam memajukan kualitas suatu institusi pendidikan formal sering terlupakan. Dalam kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan dan pengembangan berbagai kegiatan di sekolah, alumni dapat berperan sebagai katalis dengan memberikan berbagai masukan kritis dan membangun kepada almamater mereka.

Alumni seharusnya memiliki posisi tawar yang unik dan strategis karena meskipun mereka tidak lagi merupakan bagian aktif dalam proses pendidikan di sekolah, namun pengalaman mereka selama menjadi siswa dan ikatan batin serta rasa memiliki mereka yang kuat terhadap almamater dapat menghasilkan dan menawarkan berbagai konsep, ide, pemikiran, masukan dan kritik membangun.

Selanjutnya pasal 63 tentang Pengawasan Madrasah, tidak ada keterlibatan unsur masyarakat. Mengacu pada konsep “Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah”, maka diperlukan sinergi dan kerjasama antara beberapa komponen (stakeholders) yang melingkupi sekolah.

Di antara stakeholder madrasah adalah pimpinan/guru/pengelola/siswa yang ada di madrasah, Pemerintah, dan masyarakat, meliputi orang tua, masyarakat umum, dan alumni.

Kontribusi kedua pihak tersebut tidak hanya bersifat finansial atau materi saja, tetapi dalam konteks peningkatan mutu diperlukan sumbang saran dan pemikiran tentang berbagai macam hal yang berorientasi pada peningkatan mutu sekolah.

Berubah-ubahnya peraturan dan kebijakan ini menunjukkan bahwa: pertama, kebijakan seperti itu merupakan refleksi dari penyelesaian masalah secara tidak serius, program ini tidak dianggap sebagai program penting, barangkali hanya ‘sisipan’ dan ‘tempelan’.

Kedua, ‘mendistorsi’ sebagian misi utama Kementerian Agama sebagai pemegang tupoksi pembelajaran tafaqquh fid-din yang sudah diembannya sejak Republik Indonesia memaklumatkan kemerdekaannya.

Tanpa kebijakan yang arif, tepat, dan visioner bisa muncul preseden buruk bagi kiprah Kementerian Agama ke depan, terutama menyangkut masalah pendidikan agama dan concern Kementerian Agama terhadap kelangkaan Ulama beberapa tahun ke depan.

Format MAPK Masa Depan

Program revitalisasi Program Keagamaan sudah dijalankan semenjak 2017. Miliaran dana digelontorkan untuk pembangunan fisik dan sarana non fisik. Program ini merupakan implementasi dari kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 60 Tahun 2015 tentang perubahan atas PMA Nomor 90 Tahun 2013.

Pertanyaan besarnya adalah apakah dana revitalisasi MAPK sudah tepat sasaran dan peruntukannya? Dan di tahun ketiga program revitalisasi, masyarakat menunggu hasil evaluasi, monitoring, dan audit sesunguh-sungguhnya oleh lembaga terkait. Selanjutnya, di 2020, masihkah ada anggaran revitalisasi MAPK atau justru Rp. 0,-?

Baca Juga  Meneladani Empat Nilai Kehidupan Sufistik Dari Semar

Ada beberapa strategi dan kebijakan terkait modifikasi format dan restrukturisasi penyelenggaraan MAPK ke depan supaya tidak terus berada ‘di persimpangan jalan’, sebagaimana berikut:

Pertama, terkait payung hukum MAPK. Perlu dikeluarkan Peraturan Menteri Agama RI yang baru dengan standarisasi baku, petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang jelas, menyeluruh dan terarah, serta didukung dana proyek khusus jangka panjang.

Penulis mencoba membandingkan dengan Peraturan Menteri Agama RI Nomor 42 Tahun 2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1524), kemudian diperkuat dengan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 3192 tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia Sebagai Madrasah Berasrama.

Dalam PMA ini disebutkan: MAN Insan Cendekia berada di bawah Direktur Jenderal Pendidikan Islam (pasal 2) dan MAN Insan Cendekia menyelenggarakan fungsi: perencanaan kegiatan dan anggaran, penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran, penyelenggaraan kerjasama dan sinergi lintas sektoral, pengelolaan unit asrama, unit laboratorium, unit penjamin mutu, dan unit penunjang lainnya, pelaksaan administrasi, evaluasi, dan pelaporan (pasal 4), dan kepala madrasah IC wajib melaksanakan pengendalian internal, penilaian kinerja, dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tugasnya kepada Direktur Jenderal (pasal 16).

Kenapa MAPK tidak bisa seperti itu? Padahal, sejarah membuktikan bahwa kedua prototip sekolah unggulan ini mampu menjadi Magnet School-nya Kementerian Agama, yakni model dan inspirasi bagi madrasah-madrasah lain.

Kedua, MAPK dijadikan nomenklatur pendidikan atau unit pelaksana teknis (UPT) tersendiri berdasarkan Peraturan Menteri Agama. Pelaksanaannya tidak dititipkan kepada satuan kerja Madrasah Aliyah Negeri yang ditunjuk.

Secara administrasi kelembagaan, manajemen pengelolaan, sarana dan prasarana, gedung, tenaga guru, dan kurikulum dikelola secara penuh dan otonom oleh satuan kerja MAPK. Selama masih menempel pada MAN regular, pengelolaannya terasa ‘biasa’ dan hanya sampingan.

Ketiga, perlunya penerapan kebijakan secara teori transaktif, yakni perumusan kebijakan melalui diskusi dengan semua pihak. Proses pendiskusiannya perlu melibatkan sebanyak mungkin pihak-pihak terkait atau stakeholder, termasuk dalam hal ini adalah founding fathers MAPK, tokoh pendidikan, kiai, perwakilan alumni MAPK dengan ‘tuan rumah’ Kementerian Agama, dengan menunjuk satuan tugas perumus kebijakan baru MAPK.

Satuan tugas tersebut diisi oleh aktor-aktor yang paham sejarah dan dinamika MAPK, masih punya idealisme bukan yang ‘lesu darah’ dan sekadar berorientasi proyek.

Keempat, tentang kurikulum MAPK. Perlunya penyesuaian kurikulum yang adaptif, kontekstual, dan ‘peka zaman’. Selain kurikulum-kurikulum ‘pakem’, ‘andalan’, dan ‘tsawabit’ (meminjam istilah Dr. Asrorun Niam Saleh), sebagai trade mark MAPK, yakni penguasaan ilmu-ilmu kegamaan Islam, seharusnya santri-santri MAPK dibekali dengan kurikulum-kurikulum zaman now, ‘mutaghayyirat’, sebut saja: desain grafis, sinematografi, dan penguasaan ilmu IT.

Kurikulum 4.0 ini bisa diajarkan di jam tutorial/ekstrakurikuler, dipersiapkan infrastruktur dan perangkatnya serta didanai oleh Kementerian Agama melalui dana revitalisasi.

Akhirul Kalam, MAPK sebagai salah satu produsen generasi emas alumni madrasah harus dipertahankan, ditingkatkan, dan dikelola secara lebih serius lagi oleh pihak terkait: Kementerian Agama RI. MAPK adalah solusi alternatif dan avant-garde kampanye moderasi beragama sehinga tercipta kehidupan keberagaman yang adem, ramah, dan tersenyum.

Terlebih, mutakhir ini, saat kondisi keberagamaan di Indonesia terasa ‘gerah’ dan ‘tidak asyik’, saat sebagian oknum menjadikan agama sebagai juri, hakim, dan assessor bagi sesamanya. MAPK adalah market place yang menjajakan warna-warni pemikiran Islam, kawah candradimuka intelektualisasi washatiyyah Islam, keindonesiaan, dan kebangsaan. [MZ]

Faried Wijdan Alumni 'Sekolah Arab' Al-Huda, Petak, Susukan, Kab. Semarang. Trah K.H. Abdul Djalil, Petak. CEO Sebuah Pabrik Aksara.