Aziz Ahmad Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Belajar Toleransi dari Nepal van Java Magelang (1)

2 min read

destinasio.com

Saya tumbuh di area kaki gunung Sumbing, sebuah kawasan pedesaan yang terletak di desa Temanggung, kecamatan Kaliangkrik, Magelang, Jawa Tengah. Berlokasi pada ketinggian sekitar 1.600 mdpl, dengan keasrian alam yang masih terjaga, udara relatif dingin, hijau gunung Sumbing yang membentang menjadi latar belakang pedesaan serta beraneka ragam sayuran menghiasi sawah-sawah penduduk, menjadikan kawasan ini diminati sebagai tempat wisata dalam beberapa tahun terakhir.

Seiring dengan perbaikan infrastruktur, sebagian penduduknya kini berprofesi sebagai pedagang sayuran dengan mendistribusikan aneka sayuran ke sejumlah kota seperti Kudus, Yogyakarta, Semarang, dan Purworejo. Karena rumah-rumah penduduknya yang saling berhimpitan dan bertumpuk seperti halnya di negara Nepal, di bawah gunung Everest, dusun Butuh yang terletak di bagian paling atas kini lebih dikenal dengan sebutan Nepal van Java.

Meminjam trikotomi Cliffort Geertz (1960) yang membagi masyarakat Jawa menjadi tiga varian abangan, santri, dan priyayi (yang kini sudah tidak diterima lagi oleh para pengkaji masyarakat Jawa dan Islam Indonesia), dapat dikatakan bahwa desa-desa di sekitar Nepal van Java menjadi basis kelompok santri. Meskipun demikian, masih terdapat sebagian masyarakat yang oleh Geertz disebut sebagai abangan.

Dalam diksi masyarakat setempat, orang-orang yang belum bersembahyang, menjalankan ritual puasa, dan berburu binatang di gunung untuk dikonsumsi disebut dengan istilah dereng nglampahi atau belum menjalankan syariat Islam (lihat Pranowo: 2009). Ketika terdapat salah satu warga yang wafat pada bulan puasa, misalnya, sang tuan rumah akan tetap menghidangkan aneka penganan kepada mereka sebagai bentuk toleransi.

Pemahaman tentang toleransi dengan lebih memilih menggunakan diksi dereng nglampahi, bukan “abangan” yang terkesan lebih kasar, menunjukkan tentang peran tokoh agama setempat dalam memperkenalkan Islam. Dalam hal ini yaitu para kyai kampung. Seperti yang telah dijelaskan oleh para Antropolog seperti Zamakhsyari Dhofier dan Ronald Luken-Bull bahwa kyai tidak hanya menguasai ilmu-ilmu keislaman yang berorientasi syariah saja, tetapi sekaligus menjadi guru sufi yang mengajarkan tasawuf.

Baca Juga  Nasihat Al-Ghazali pada Orang Yang Suka Bertanya “Kapan Nikah?”

Meskipun sebagian besar kyai di daerah ini tidak memiliki pesantren, mereka memiliki hubungan yang kuat dengan sejumlah pesantren seperti Tegalrejo di Magelang, Sunan Pandanaran di Yogyakarta, dan sejumlah pesantren lokal seperti Pondok Pesantren Bodho di Kajoran. Nama pesantren yang terakhir ini didirikan oleh salah satu putra KH. Abdul Hamid, salah satu kyai yang dikenal kewaliannya oleh masyarakat Magelang dan sekitarnya. Mbah Wali, begitu sebagian masyarakat memanggilnya, merupakan salah satu guru dari Mbah Mangli, nama lain KH. Hasan Asykari, yang cerita tentang kewaliannya tersebar di seluruh penjuru kabupaten Magelang, bahkan sebagian daerah di Jawa Tengah lainnya.

Adipuro: Satu Desa Ragam Islam

Bersebelahan dengan Nepal van Java, terdapat desa Adipuro yang menjadi satu-satunya dusun yang dikenal sebagai basis terkuat gerakan Muhammadiyah. Sejumlah warganya juga ada yang bercadar yang, berdasarkan penuturan warga setempat, menunjukkan afiliasi mereka kepada kelompok-kelompok Islam lain yang cenderung lebih puritan. Desa ini menjadi salah satu contoh tentang bagaimana toleransi dan harmoni antar ormas Islam terbentuk dan berjalan, tidak sekadar jargon dan lipstik belaka.

Pada Mei 2021, saya berkesempatan mengunjungi desa Adipuro untuk mengisi acara Halal bi Halal di pesantren Al-Istiqomah yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU). Dalam obrolan saya bersama pengasuh dan jajaran pengurus pesantren, mereka menceritakan kepada saya tentang bagaimana dinamika kehidupan keagamaan di desa tersebut. Alih-alih berseteru dan mengedepankan sekian perbedaan yang ada, mereka hidup secara rukun dan menjunjung toleransi.

Suatu hari, cerita salah satu pengurus pesantren, terdapat salah satu warga pendatang yang mencela amaliyah atau ritual keagamaan NU melalui akun media sosial. Dalam menghadapi persoalan ini, mereka mendatangi ke rumah pelaku dan melakukan klarifikasi atau tabayun. Nampaknya, ketidaktahuan atau narasi tunggal tentang kelompok tertentu yang kemudian menghasilkan sejumlah stereotype, menjadi problem utama yang mereka hadapi.

Baca Juga  Indonesia Ini Rumah Siapa sih? (2)

Di atas semua itu, toleransi yang mereka kembangkan tidak sekadar toleransi pasif, melainkan toleransi aktif. Pada saat warga Nahdliyin membangun pesantren Al-Istiqomah, misalnya, warga lain yang berafiliasi dengan Muhammadiyah ikut serta dalam kegiatan gotong royong pembangunan gedung pesantren, bahkan menjadi donatur untuk pengadaan bahan bangunan infrastruktur pesantren. Hal serupa juga terjadi ketika pesantren mengadakan acara khataman di mana kepala desanya, yang notabene Muhammadiyah, turut menfasilitasi, memberikan izin, dan dukungan moral dan finansial untuk kesuksesan acara tersebut.

Lebih jauh, keakraban dan toleransi yang tercipta di desa ini memunculkan sebuah anekdot yang berkembang di masyarakat. Tokoh Muhammadiyah di desa Adipuro suatu hari berkata kepada kyai NU, “Besok kalau saya meninggal dunia tolong diadakan acara tahlilan yaa..”

Anekdot semacam ini, saya kira, menjadi gambaran umum tentang bagaimana toleransi keagamaan telah terbangun di sebuah desa yang terletak di kawasan lereng gunung Sumbing.

Selanjutnya: Belajar Toleransi dari Nepal … (2)

Aziz Ahmad Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga