Nur Syafni Pradita Zuda Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Meneladani Empat Nilai Kehidupan Sufistik Dari Semar

2 min read

Kepiawaian dari Wali Songo dalam dakwahnya memberikan sumbangan besar untuk menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa. Berbekal pengetahuan yang disampaikan dengan dakwah serta keyakinan kuat kepada Allah SWT. Para Wali Songo  mendapatkan keberhasilan untuk mencapai misi mereka untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.

Sebagai salah satu contohnya adalah Sunan Kalijaga. Beliau berdakwah dengan mengadopsi budaya pra-Islam. Penyajian dakwah yang diberikan oleh Sunan Kalijaga, dapat dikatakan sebagai cara yang unik dan mengutamakan kelembutan tanpa paksaan. Yang disampaikannya melalui perantara wayang kulit.

Dakwah menggunakan Wayang Kulit sama halnya dengan menyajikan cerita. Yang mana memberikan nasehat dan juga memberikan kesempatan bagi para pengikutnya untuk mengambil hikmah dari cerita pewayangan tersebut. Juga meneladani sifat-sifat yang baik dari pemeran dalam wayangnya atau yang biasa disebut lakon.

Di dalam cerita pewayangan, terdapat lakon yang seringkali dimunculkan sebagai lakon protagonis yang bertugas sebagai pembawa pesan. Yang mana lakon ini dicirikan sebagai sosok setengah dewa dan berjiwa adil, meskipun berwajah jelek. Yang diberi nama Semar Badranaya oleh Sunan Kalijaga.

Jadi, apa yang bisa kita teladani dari sosok pemimpin punokawan ini?

Pertama, adanya semboyan Manunggaling Kawula Gusti. Manunggaling Kawula Gusti artinya suasana batin seorang hamba yang merasa sangat cinta dan dekat dengan Tuhan. Sehingga ia merasa lebur dan menyatu dengan Tuhannya. Layaknya leburnya besi dan api, dimana keduanya berbeda namun tak dapat lagi dipisahkan. Dimana seorang hamba yang selalu berusaha menerapkan sifat-sifat ketuhanan yang telah ditransformasikan oleh Sang Pencipta. Seolah-olah ia menyatu dengan Tuhan, karena memiliki sifat seperti Tuhan.

Menyatu dengan Tuhan tidak berarti bahwa, seseorang tersebut telah menjadi Tuhan hanya karena meneladani sifat-sifat Tuhan. Melainkan berbuat layaknya apa yang diinginkan oleh Tuhan. Artinya kita harus menjadi wakil Tuhan di bumi, menerapkan sifat-sifat ketuhanan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Serta mengetahui apa yang menjadi tugas kita untuk dijalankan dan apa yang harus dijauhi karena dilarang oleh-Nya.

Baca Juga  Pandangan Sosiologi Durkheim tentang Kasus Pembunuhan dan Pemutilasian di Ciamis

Jadi, dapat ditangkap bahwa kita sebagai hamba harus mengabdikan seluruh hidup kita kepada Allah. Juga menjadikan perbuatan apapun yang kita lakukan beralaskan ibadah hanya karena Allah. Hal tersebut memunculkan hukum timbal balik. Dimana Allah akan memperhatikan seseorang selama orang itu mendahulukan-Nya, mengingat-Nya, dan memperhatikan-Nya. Seperti dalam bacaan sholat, “inna sholatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lilllaahi robbi al-‘Aalamiina”.

Kedua, Sangkan Paraning Dumadi. Yakni asal-usul dan tujuan hidup manusia di dunia. Setiap orang perlu tahu dari mana mereka berasal dan apa tujuan ia ada. Filosofi ini mengajarkan bahwa hakikat hidup manusia berasal, “dari mana?” dan “mau kemana?”. Manusia dilahirkan ke dunia harus selalu mengingat asal-usulnya sendiri. Maka dari itu, dala filosofi Jawa seringkali mengenalkan semboyan “eling lan waspada”. Agar manusia selalu mengingat hakikat kehidupannya dan waspada pada sifat duniawi yang dapat membuat mereka lupa pada hakikatnya.

Hidup seringkali diibaratkan hanya mampir minum. Yang dapat dimaknai sebagai hidup yang hanya sesaat. Dunia bukanlah asal-usul hidup manusia dan juga bukan tujuan hidup manusia. Dalam Islam, manusia itu benar-benar milik Tuhan dan dia akan selalu kembali kepada Tuhan. Inilah yang sebenarnya diajarkan dalam kalimat “inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’un”.

Kebahagiaan terbesar manusia adalah memahami makna hidup yang akan menuju pada hal yang lebih baik. Ketika tidak mengutamakan kepentingan duniawi, tetapi selalu berbuat baik untuk mencapai kualitas kehidupan yang hakiki. Dimana seseorang tak lagi menemukan kekhawatiran dan keraguan dalam hidup mereka. Setiap langkah yang ia ambil akan selalu penuh dengan kepastian dan pada akhirnya akan mempengaruhi kemantapan hati dan ketenangan batin.

Baca Juga  Menalar Choose to Challenge Dengan Spirit Isra’ Mi’raj: Catatan Reflektif Feminis Sufistik

Ketiga, Kasedan Jati (kehidupan setelah kematian). Merupakan sebuah filosofi yang berisi tata cara hidup dan mati yang sempurna. Untuk mencapainya, dapat dilakukan dengan cara menghilangkan keinginan dan ego di diri kita, dan menggantinya dengan kemauan dan kehendak Tuhan. Sebagaimana dalam hadits “kafaa bi al-mauti wa idzhon”, yang berarti “cukup dengan kematian sebagai nasihat”.

Hidup harus dipahami sebagai suatu pinjaman yang diberikan oleh pemiliknya. Yang mana harus dikembalikan juga kepada pemiliknya. Pentingnya mengisi hidup dengan beribadah dan berbuat baik itu menjadi relevan. Karena selama di dunia, kita sudah memiliki bekal untuk kehidupan selanjutnya di akhirat. Kematian akan menjadi kekosongan dan tak berarti, jika seseorang tak pernah mengisi hidupnya dengan bekal yang cukup untuk menerima kematian.

Keempat, Memayu Hayuning Bawana (menjaga ketentraman di muka bumi). Yang dapat diartikan sebagai energi yang terpancar dari diri yang memegang etika. Yang mana menafsirkan nilai kehidupan dan memperindahnya dengan menanamkan kebaikan yang menciptakan kebaikan di dunia. Dimulai dari sikap diri pada diri sendiri, keluarga, sesama, dan dunia ini. Sebagaimana dunia ini diciptakan dengan keindahan, penghuninya juga harus cantik.

Filosofi yang diberikan oleh Semar, dapat dikatakan sebagai nasehat agar manusia memiliki budi pekerti luhur atau akhlak mulia untuk kehidupan manusia di dunia. Disamping itu, nilai-nilai filosofis yang ada pada Semar, memiliki kandungan sufistik. Dimana dalam ajarannya tersebut terdapat nasehat untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang berorientasi kepada Tuhan.

Filosofi dari Semar dapat dikatakan sebagai hal yang relevan di era modern. Mengingat, di era modern terdapat banyak hal yang membuat seseorang menjadi tenggelam dalam kesenangan duniawi. Sehingga seseorang melupakan hakikat atas dirinya sendiri. Filosofi Semar dapat dijadikan landasan untuk selalu mengingat bahwa adanya kita berasal dari Allah dan pada akhirnya juga akan kembali kepada-Nya.

Baca Juga  Orang Muhammadiyah Hidup Enjoy di Lingkungan NU (1)

 

Nur Syafni Pradita Zuda Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya