Syaichon Ibad Mahasiswa Program Studi Akidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Ampel

Pentingkah Belajar Hermeneutika untuk Membaca Teks?

3 min read

Literalisme dalam pembacaan teks-teks otoritaf pada kitab suci banyak memberikan pengaruhnya dalam mendorong praktik-praktik munculnya gerakan fundamentalisme dan radikalisme dalam agama. Ini juga dapat dijadikan sebagai pembenaran atas dasar kebijakan-kebijakan mereka yang menolak keras terkait demokrasi dalam politik. Terkait dengan cara pembacaan teks tersebut, saat ini keilmuan yang sering diidentikkan dengan metode pembacaan teks agama ialah hermenutika.

Di sini, istilah hermeneutik pertamakali bisa ditemukan sejak munculnya buku logika milik Aristoteles dan semenjak saat itu upaya rasionalitas diyakini sebagai alas pertama dalam praktik hermeneutika (Stephen, Tree of Philoshopy, 2000). Hermeneutika memang pada awalnya dikembangkan oleh para filolog yakni, Friederich Ast (1748-1841) dan Friedrich August Wolf (1759-1824) yang hanya memusatkan pada interpretasi teks-teks kuno sebagai bentuk warisan Yunani Romawi Kuno dalam konteks Eropa.

Konsep interpretasi inilah yang kemudian masuk ke dalam tradisi agama, sehingga, hermeneutika dewasa hanya meliputi kegiatan interpretasi teks-teks sakral dan filologis. Kendati berdampak pada istilah hermeneutik yang lebih akrab dikenal dengan disiplin-disiplin religius, seperti halnya para ahli tafsir Qur’an yang melakukan hermeneutik atau kajian-kajian teologi. (Budi Hardiman, Seni Memahami, 2015:14)

Di lain sisi, hermeneutika hadir sebagai bentuk kritis atas literalisme skriptural para reformis Protestan pada abad pertengahan. Mereka meyakini bahwa Alkitab tidak membutuhkan interpretasi eksternal lagi agar lebih mudah untuk dipahami, dikarenakan di dalam Alkitab sendiri telah mengandung koherensi internal. Dalam artian, Alkitab yang menafsirkan sendiri (Scriptura sanca est sui ipsius interpres).

Lantas, hermeneutika kemudian diadopsi dan dikembangkan oleh Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834). Ia berasal dari keluarga protestan yang taat dan lahir pada tanggal 21 November 1768 di Breslau, Polandia. Mulanya, Schleiermacher adalah pengkotbah yang handal. Hingga akhirnya, Ia tertarik untuk belajar teologi, filsafat, dan filologi di Universitas Hale, setelah pertemuannya dengan kepustakaan ilmiah dan filosofis saat berkhutbah di Elbe (Metzler Philoshophen Lexikon, 1989:702).

Baca Juga  Keberagaman dalam Era Kelaziman Baru

Pada awal hermeneutika modern, Schleiermacher menyadari, bahwa adanya fenomena kemajemukan cara dalam menafsirkan teks-teks tertentu (Kitab suci, dokumen hukum, dan karya sastra). Hal ini berdampak pada lahirnya jenis-jenis khusus disiplin dalam interpretasi (Hermeunetika Universal) dan dari usahanya itu, Schleiermacher mendapatkan julukan sebagai bapak hermeneutika modern (Richard E. Palmer, hlm. 97).

Menurut Schleiermacher, hermeneutika adalah sebuah “Seni Memahami”. Ia menggunakan kata kerja “memahami” daripada kata benda “pemahaman” untuk memperlihatkan perbedaan di antara keduanya, “memahami” di sini cenderung kepada proses dan aktivitas menangkap. Sementara, “pemahaman” adalah sesuatu yang telah ditangkap atau hasil (Nicholas Davey, Unquiet Understanding. 2006:38).

“Memahami” atau versi asli istilah Jermannya Schleiermacher yaitu, “Verstandnis” adalah kemampuan yang fokus pada proses penangkapan makna dalam bahasa dan yang menjadi prioritas pemahaman adalah konsepsi teks atau simbol. Seperti pada kehidupan sehari-hari, saat kita berinteraksi dengan orang lain melalui percakapan. “Memahami” di sini untuk menangkap maksud yang telah diucapkan oleh pembicara, obyeknya hanya bahasa. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri atas keterlibatan pikiran penuturnya terhadap bahasa yang ia pakai.

Sedangkan, “seni” menurut Schleiermacher ialah sebuah kemampuan untuk menemukan kesalahpahaman. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya perbedaan terkait “memahami secara reflektif dengan memahami dengan usaha”. Semisal, saat kita berbicara dengan teman sekolah, keluarga, atau saudara. Jarang sekali kita mengalami kegagalan dalam mencerna ungkapan-ungkapannya, hal ini dikarenakan struktur bahasa kita bernafas di dalam ruangan saling memahami bersama.

Sepintas, Hermeneutika Schleiermacher terlihat bersumber dari sebuah kesalahpahaman, bukan sebaliknya. Fenomena kesalahpahaman sering terjadi di antara orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda dan tidak memiliki konteks pemahaman yang sama. Seperti penduduk asli dengan para pendatang (imigran). Gejala kesalahpahaman yang demikian menurut Schleiermacher disebabkan oleh kemajemukan gaya hidup.

Baca Juga  Membahagiakan Kedua Orang Tua untuk Meraih Surga

Pada akhirnya, duduk persoalan hermeneutika Schleiermacher terletak pada kesenjangan antara ruang dan waktu antara penulis dengan pembaca yang berupaya menangkap makna asli penulis tanpa disertai prasangka-prasangkanya. Disini, Schleiermacher memakai dua metode. Yakni, interpretasi teknis atau gramatis dan interpretasi psikologis. Sementara penulis bergerak dari dalam (pikiran) menuju keluar (ungkapannya), pembaca bergerak sebaliknya: dari struktur kalimat-kalimat (luar) menuju ke dalam dunia mental penulis (Ricahrd E. Palmer, hlm. 86).

Interpretasi gramatis adalah memahami sebuah teks melalui struktur kalimat-kalimat, genre, dan keterkaitan teks dengan karya-karya lain dengan jenis yang sama. Bila interpretasi gramatis meletakkan teks pada sketsa obyektif, maka interpretasi psikologis fokus pada wilayah subyektif sebuah teks, yaitu dunia mental penulis.

Schleiermacher sepakat dengan pendapat Ast dan Wolf, selaku para tokoh filolog kuno sebagai pendahulunya, bahwa tujuan pemahaman adalah di mana kita sebagai pembaca masuk ke dalam mental penulis atau mengalami asam garam penulis (Nacherleben). Dengan catatan, alamat utama yang dituju bukanlah rasa emosi. Namun, cuaca pikiran penulis. “Penafsir harus meletakkan dirinya secara subyektif maupun obyektif dalam posisi penulis”, tulis Schleiermacher (F.D.E. Schleiermacher, hlm. 83)

Peletakan secara subyektif dan obyektif adalah sebuah usaha memahami karakter khas penulis (Subyektif) dan harus dibarengi dengan situasi lingkungan eksternal dari diri penulis (Obyektif). Baik gramatis maupun psikologis, kedua metode itu harus setara. Dalam artian, kita bisa memahami bahasa melalui pemakainya. Dan sebaliknya, kita bisa memahami penutur lewat bahasa yang ia gunakan (Lingkaran Hermeneutika).

Sedangkan, yang dimaksud pernyataan dari Schleiermacher terkait “pembaca lebih baik dalam memahami teks daripada penulisnya” ialah, pembaca yang tidak memiliki jalan pintas untuk masuk ke dalam dunia mental penulis, mengharuskannya untuk mengetahui banyak hal-hal lain yang berhubungan dengan teks itu dan lingkungan sekitar di luar diri penulis. Lantas, hal-hal ini yang telah diketahui oleh pembaca, pada hakikatnya tidak disadari atau tidak diketahui oleh penulis (Schleiermacher, hlm. 87).

Baca Juga  Psikologi dan Islam, Apakah Bertentangan?

Dengan demikian, statement Schleiermacher ini tidak diperuntukkan perihal pembaca lebih benar dalam memahami teks daripada penulisnya. Kita harus menyadari, banyak hal yang tidak disadari oleh penulis. Dari sekian banyaknya buku-buku tafsir mengenai masalah dan kajian tertentu, bukan hanya menunjukkan akan melimpahnya hasil interpretasi atas hal-hal tersebut. Melainkan, banyak hal pula yang diketahui oleh penafsir daripada penulis. Dalam artian, para penafsir memahami penulis lebih baik daripada diri penulis sendiri. (MMSM)

Syaichon Ibad Mahasiswa Program Studi Akidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Ampel