Ust. El Fajri Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

Ngaji Sullam al-Tawfiq [2]: Yang Menjadi Kewajiban Seorang Mukalaf

1 min read

Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi thumma al-salat wa al-salam ‘ala rasulillah. Wa ila Allah narju rahmatahu wa ra’fatah.

Dalam pasal paling awal kitab Sullam al-Tawfīq, mualif membahas tentang mukalaf. Apa sebenarnya kewajiban seorang mukalaf?

Mukalaf, yang dalam kata benda disebut taklif, merupakan titik fase peralihan di mana seseorang mulai diwajibkan menjalankan perintah agama Islam. Perintah-perintah agama yang semula bersifat anjuran, pada fase taklif inilah perintah tersebut beralih menjadi sebuah kewajiban. Ibarat sebuah lonceng, taklif merupakan sebuah tanda bahwa seseorang telah benar-benar masuk dalam pintu gerbang agama Islam secara kafah.

Sang mualif berkata:

فصل في أهم ما يجب على كل مكلف

يجب على كافة المكلفين الدخول في دين الإسلام والثبوت فيه على الدوام، والتزام ما لزم عليه من الأحكام.

Artinya:

Pasal tentang kewajiban setiap orang mukalaf

Setiap orang mukalaf wajib untuk memeluk agama Islam, berpegang teguh selamanya terhadap Islam, serta menjalankan hukum-hukumnya.

Dalam fikih, mukalaf sering disebut sebagai orang yang “terbebani”. Artinya, orang yang mendapat kewajiban untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan sesuai syariat agama Islam (al-mukhātab bi al-shar‘).

Seseorang dinilai mukalaf jika dia telah mencapai akil balig, cukup umur, dan sampai kepadanya syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Ukuran akil balig bagi masing-masing jenis kelamin berbeda. Bagi laki-laki, bisa diketahui dari dua hal: 1) keluarnya sperma (umumnya terjadi saat tidur); 2) atau mencapai batas usia akil balig: 15 tahun. Sedang bagi perempuan, bisa diketahui dari tiga hal: 1) keluarnya sperma; 2) mencapai batas usia balig: 15 tahun; dan 3) haid. Meski dewasa ini usia pubertas anak semakin muda, jika didapati salah satu dari tanda tersebut, maka seseorang telah benar-benar masuk usia mukalaf.

Baca Juga  Garis Pemisah antara Sains dan Filsafat dan Kematian Metafisika [Bag 2]

Jika seseorang berasal dari agama lain, ketika dia membaca syahadat, saat itu pula dia memulai masa taklifnya. Namun menurut mualif, fase mukalaf ini lintas batas, tidak hanya berlaku untuk orang Islam. Mereka yang non-Muslim, ketika masuk usia mukalaf harusnya memeluk agama Islam. Dalam kutipan di atas, sang mualif sepertinya juga sangat tegas menekankan bahwa semua orang yang telah mencapai usia mukalaf wajib hukumnya memeluk agama Islam.

Lebih jauh, sang mualif juga menegaskan bahwa seorang Muslim sudah semestinya menjaga keislamannya. Seorang Muslim harus menjauhkan diri dari ragam bentuk kemurtadan, baik dari perkataan, perbuatan, maupun keyakinan. Baginya, Islam bukanlah sekadar identitas. Ia menjadi ruh bagi setiap pemeluknya. Berislam berarti menjadikan tuntutanannya sebagai pijakan dalam setiap langkah kehidupan.

Di akhir penjelasan, sang mualif memberi tuntunan. Agar tetap berada dalam Islam, seseorang harus menjalankan syariat agama dengan sebaik-baiknya. Karena itu merupakan wasilah yang menghubungkan seseorang dengan Allah, dan menjadi penguat imun keimanan agar tetap terjaga dari virus yang menggerogoti keyakinan.

Dari uraian singkat di atas, hal yang paling mendasar dari mukalaf adalah adanya kewajiban. Ia memiliki implikasi yuridis-teologis. Siapa yang melakukan kewajiban, dia akan mendapat pahala. Siapa yang melanggar, dia akan berdosa. Demikian pula dengan turunan-turunan di dalamnya yang memunculkan hukum wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Pada titik taklif inilah, Islam mengenalkan adanya catatan penilaian terhadap amal perbuatan. Catatan inilah yang akan menjadi cermin wajah masing-masing individu di hari akhir nanti.

Taklif pada dasarnya lebih dari sekadar “pembebanan”. Ia bukanlah seperti beban karung yang harus dipikul dengan hati yang enggan. Lebih dari itu, menjadi mukalaf pada dasarnya merupakan manifestasi manusia menjadi khalifah seutuhnya. Taklif merupakan jalan penghantar kita kepada Sang Pencipta. Ia adalah wasilah yang dengannya bumi ini hidup dalam syariat-Nya. Semoga kita bisa menjadi lampu pijar yang menerangi bumi dengan menjalani kehidupan dalam tuntunan-Nya.

Baca Juga  Ngaji Sullam al-Tawfiq [4]: Tata Cara Berwudu dan Yang Membatalkannya

Wallāhu a‘lam bi al-sawāb

Ust. El Fajri Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *