Ust. El Fajri Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

Ngaji Sullam al-Tawfiq [3]: Makna Syahadat Kita

2 min read

Bismillāhirrahmanirrahīm. Alhamdulillāhi thumma al-salāt wa al-salām ‘alā rasulillāh. Wa ilā Allah narju rahmatahu wa ra’fatah.

Syahadat merupakan rukun paling awal dari kelima rukun Islam. Ia adalah sesuatu yang mengawali seseorang menjadi seorang Muslim yang kafah. Tak ada Muslim yang kafah tanpa dimulai dari perenungan akan arti syahadat. Ia adalah sebuah persaksian. Sebuah kesaksian di mana ia benar-benar menjadi seorang hamba, mengakuai ke-Esa-an Allah swt dan bahwa Muhammad saw adalah Rasulullah.

Pengakuan ini penting, terutama jika kita melihat dari aspek sejarah. Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad bukanlah satu-satunya agama yang hidup di tanah Arab. Di sana juga telah berkembang berbagai ritus dan keyakinan yang telah mengakar kuat di masyarakat.

Yang namanya keyakinan, tentu tidak mudah untuk berubah. Kecuali ada hal yang menarik hati dan pikiran untuk berpindah ke agama lain. Di sinilah kemudian letak pengakuan akan ke-Esa-an Allah dan Muhammad sebagai rasulullah menjadi penting. Pengakuan atau persaksian ini menjadi sebuah titik peralihan seseorang dari keyakinan lama ke keyakinan baru, yaitu Islam.

Kalau kita melihat pada zaman awal Islam, bersyahadat itu tidak mudah. Butuh perjuangan. Ada banyak pertentangan, upaya pengucilan, bahkan penindasan bagi mereka yang mengikuti agama baru yang dibawa Nabi Muhammad. Lihat misalnya kisah Umar b. Khattab yang menampar keras adiknya, Nu‘aym b. ‘Abdillah, tatkala mengetahui bahwa adiknya telah masuk Islam. ‘Umar, yang saat itu adalah orang yang paling ditakuti sekaligus disegani, marah besar tatkala mendapati adiknya ingin bertemu nabi Muhammad. Karena sejak awal, Umar mengikuti agama lama, yang tentunya tidak suka jika ada agama baru datang mengusik tatanan lama. Kedengkian Umar terhadap Islam ternyata berbalik. Kebencian itu pada akhirnya berujung pada cinta. Hingga ia mendapat juluk al-Fārūq dari Nabi Muhammad.

Baca Juga  Cak Nun, Pluralisme Agama, dan Gus Dur Kedua

Perubahan keyakinan sang panglima itu berawal setelah mendengar potongan bacaan Alquran surah Taha yang dilantunkan oleh sang adik. Umar kemudian menitikkan air mata dan dari lidahnya terlantun kalimat syahadat, asyhadu an-lā ilāha illā Allāh wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullāh. Sebuah ucapan yang tentunya disadari dengan sepenuhnya, diyakini dengan keteguhannya dan dilantunkan dalam derap jiwa yang penuh makna.

Jika Umar bisa bersyahadat dengan seperti itu, lalu, bagaimana dengan syahadat kita?

Dalam hal ini, sang Mualif kitab Sullam al-Tawfiq menjelaskan tentang makna syahadat, yang kutipan terjemahnya akan kita sadur sebagai berikut:

“di antara hal yang wajib diketahui dan diyakini ‘secara mutlak’ adalah dua kalimat syahadat, yang wajib diucapkan di saat itu juga ketika dia kafir dan di dalam salat apabila dia seorang Muslim.

Sang mualif menjelaskan bahwa makna أشهد ان لا اله الا الله adalah engkau mengetahui, meyakini, mempercayai dan membenarkan bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak untuk disembah dengan sebenar-benarnya kecuali hanya Allah swt.

Dialah Yang Maha Esa, Tang Maha Tunggal, Yang Maha Pertama, Yang Maha Terdahulu, Yang Maha Hidup, Yang Maha Kekal, Yang Maha Abadi, Yang Maha Pencipta, Yang Maha Memberi Rezeki, Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Memperbuat pada sesuatu yang dikehendaki.

Apapun yang diinginkan Allah untuk wujud, maka akan terwujud. Apapun yang tidak diinginkan-Nya wujud, maka tidak akan terwujud. Dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan-Nya, Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.

Dia bersifat dengan semua sifat kesempurnaan dan disucikan dari semua kekurangan, dan tidak ada sesuatu apapun yang menyamai-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Dia adalah terdahulu dan selain-Nya adalah sesuatu yang baru. Dia adalah Yang Menciptakan dan selain-Nya adalah yang diciptakan.

Kalam-Nya adalah terdahulu sebagaimana sifat-sifat-Nya karena sesungguhnya Dia (maha suci Allah) berbeda dengan seluruh makhluk didalam zat, sifat dan perbuatan.

Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa-apa yang diucapkan oleh orang-orang yang zalim dengan ketinggian yang besar. 

Dan adapun makna أشهد أن محمدا رسول الله adalah engkau mengetahui, meyakini, mempercayai dan membenarkan bahwasanya junjungan dan nabi kita Muhammad SAW b. ‘Abdullāh b. ‘Abdul Muthallib b. Hāsyim b. ‘Abd Manāf yang bersuku quraisy adalah hamba dan utusan Allah kepada seluruh makhluk.

Beliau dilahirkan dan diutus di mekah dan beliau hijrah ke Madinah dan dikuburkan disana.

Beliau saw adalah benar di dalam seluruh kabar yang telah disampaikannya. Di antaranya adalah berita tentang siksa dan nikmat kubur, pertanyaan dua malaikat Munkar Nakir sewaktu di alam kubur, berita tentang hari kebangkitan, padang Mahsyar, kiamat, hari perhitungan, hari pembalasan, hari pertimbangan, berita tentang neraka, sirat al-mustaqim, telaga, syafaat, surga dan keabadian, melihat Allah di surga.

Selain iman kepada Allah dan Nabi Muhammad adalah iman kepada malaikat, rasul, kitab suci yang diturunkan, meyakini baik buruk qada dan qadar semua dari Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir dan menjadi pemimpin bagi seluruh anak Adam as.” [MZ]

Ust. El Fajri Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *