Dewi Anisatur Rahmah Mahasiswa Prodi Studi Agama-Agama, FUF, UIN Sunan Ampel Surabaya

Cak Nun, Pluralisme Agama, dan Gus Dur Kedua

2 min read

Emha Ainun Najib, yang  kerap disapa Cak Nun, adalah Pria Kelahiran Jombang 27 Mei 1953. Sosok berusia 67 tahun ini merupakan intelektual Muslim Indonesia yang sangat bersahaja, bersahabat dan egaliter dengan kaum millenial dan masyarakat dari berbagai kalangan. Metode dakwah yang antimainstream membuatnya mendapat banyak pengikut, hingga terciptalah sebuah forum bernama Maiyah.

Dalam pengajiannya Cak Nun  membahas problematika masyarakat kontemporer, baik di bidang  sosial, agama atau budaya. Saya bukanlah anggota Maiyah ataupun  fans Emha, jadi saya tidak tahu banyak tentang sosok Cak Nun. Tetapi, saya mengagumi pitutur katanya yang selalu seru, unik dan lucu, meskipun ia sedang membahas sesuatu yang “dalam”, seperti makrifat misalnya.

Kekaguman saya berawal ketika saya melihat video pendeknya di Platform Youtube. Saat itu  ada seseorang yang bertanya,  “Kenapa Tuhan memilih saya untuk hidup dan ada di dunia ini?” Intinya, Cak Nun pada waktu itu menjawab “Jangan perhatian tentang siapa diriku, karena sebenarnya tidak ada aku dalam diriku. Cukuplah Allah sebagai perhatian.” Sejak itulah saya mulai tertarik dan akhirnya menemukan video Cak Nun yang sangat menarik menurut saya.

Dalam video itu, Cak Nun berkolaborasi dengan Romo Bambang. Cak Nun dan Romo Bambang berada dalam satu panggung yang dihadiri oleh ribuan jamaah Maiyah. Di tengah-tengah pembicaraan, Cak Nun meminta Romo Bambang  melantunkan sebuah lagu gereja, diiringi oleh musik Kiai Kanjeng. Ketika Romo mulai menyanyikan lagu itu, Cak Nun  mendengarkan dengan penuh hormat dan hikmat. Lagu itu berjudul Malam Kudus. Berikut ini baitnya:

 

Malam Kudus

Sunyi Senyap

Bintang Mu gemerlap

Juru selamat manusia

Dia datang untuk kita manusia

Untuk tebus dunia 

Untuk Menebus dunia

 

Baca Juga  [Cerpen] Soto Mang Asep, Bonus Pertunjukan Drama

Selesai lagu tersebut dilantunkan, Cak Nun dan jamaah Maiyah melantunkan shalawat Badar dengan nada Malam Kudus tadi. Semua jamaah ikut melantunkan shalawat dengan hikmat dan semangat. Mereka begitu kompak dan menyatu. Usai melantunkan shalawat, Cak Nun  dan Romo Bambang bersenda gurau dan saling tertawa di sela-sela pengajian itu.

Ketika ditanya tentang pendapat Romo Bambang terkait forum Maiyah, ia merasa senang sekali. Beliau tersanjung dengan kerukunan yang tercipta malam itu, merasa dihargai dengan tulus dan dianggap saudara oleh ummat Islam. Persatuan antar-umat beragama tampak hangat dalam video itu. Romo mengatakan akan membawa Umat Kristen kepada statemen bahwa Umat Islam tidak seperti yang mereka bayangkan. Mengutip kata-katanya yang indah kurang lebih seperti ini “Baju saya tidak berbeda dengan Anda. Saya sama dengan kalian. Dalam hati yang paling dalam, saya tulus menganggap kalian adalah saudara. Mari menghargai keunikan kita ini.”

Di sini saya melihat adanya kasih sayang sesama manusia. Rasa persaudaraan dan cinta tanah air terlihat jelas, seolah-olah isu konflik agama telah sirna. Cak Nun menjelaskan kenapa ia meminta Romo melantunkan lagu gereja tadi dan juga mengupas beberapa baitnya. Alasan pertama adalah lagu itu ditujukan kepada Yesus, yang dalam Islam merupakan Nabi Isa.  Jadi kita  semua harus  menghormati orang yang umat Kristen juga hormati. Alasan kedua, lirik malam kudus itu liriknya bagus, tidak ada kafir-kafirnya. Jadi apa salahnya menyanyikannya? Lalu mengenai frasa bintangMu, semua orang juga mengenal bintang bukan? Sejak kecil kita semua menyanyikan lagu “bintang kecil”. Jadi salahnya di mana? Cak Nun menjelaskan sambal tertawa.

Di sela-sela mauizdahnya, Cak Nun bercerita kalau ia bahkan pernah mendirikan shalat di gereja ketika mendapat undangan dari para Romo di Solo. Baginya, semua itu tidak masalah, karena Rasulullah bersabda, di mana kita berada, di situlah masjid.

Baca Juga  [Puisi] Nyata, Kepada Tubuh, dan Wahai Fana Yang Kupinta

Awalnya saya berpikir Cak Nun ini sudah kelewat batas dalam agama. “Katanya pengajian, tapi kok gitu sih?” Gumam saya dalam hati.  Tetapi setelah saya mendengarkan wejangan-wejangan beliau , saya sadar  bahwa pluralisme agama itu penting. Cak Nun seperti “Gus Dur Kedua”. Ia membawa kedamaian melalui pituturnya, menyatukan umat lewat senda gurau dan gaya mbelingnya, merangkul muda-mudi dengan piweling  yang santai tapi mengena, membalut sarkas dengan argumen yang bisa diterima di hati masyarakat, dan dengan halus membawa kita pada mindset bahwa semua manusia itu sama.

Manusia itu tidak boleh dipersalahkan atas identitasnya. Jadi apabila ada orang Islam yang teroris, yang salah bukan identitasnya sebagai Islam, tapi orangnya yang salah. Apabila ada Romo yang melakukan tindakan kriminal, yang salah adalah orangnya bukan agamanya.

Mengutip tulisan seorang blogger, memang benar kata Gus Mus, Cak Nun adalah santri tanpa sarung, kiai tanpa sorban, dai tanpa mimbar, aktifis tanpa LSM, wakil rakyat tanpa dewan, pemberontak tanpa senjata, dan saudara tanpa hubungan darah. []

Dewi Anisatur Rahmah Mahasiswa Prodi Studi Agama-Agama, FUF, UIN Sunan Ampel Surabaya