Radikalisme beragama di Indonesia dapat dikatakan cukup memprihatinkan. Hal ini dikarenakan masyarakat kita yang heterogen sangat mudah untuk menghasilkan konflik sosial. Konflik sosial yang sering terjadi adalah karena agama dipahami secara radikal.
Dalam hal ini, agama dapat menjadi sebuah “bencana” bagi kemanusiaan bila ditafsirkan penuh dengan amarah dan kebencian. Bila dilihat secara sosiologis, kondisi ini lebih mengarah pada stimulus negatif dalam memandang agama.
Sebagian besar penganut agama baik mayoritas maupun minoritas di Indonesia sama-sama memiliki rasa kecurigaan satu sama lain. Karl Marx mengatakan bahwa agama seperti opium yang dapat membuat kecanduan dan overdosis.
Bila dilihat secara kritis pernyataan Marx sangat tepat dikarenakan penafsiran agama secara eksklusif dapat mengakibatkan munculnya kesombongan dalam beragama, dan inilah benih-benih awal radikalisme beragama.
Dari sini dapat dipahami bahwa untuk memahami agama perlu penalaran rasional dan penyesuaian dengan realitas sosio-empiris. Dengan cara ini, akan memunculkan toleransi dalam beragama dan bentuk keberagamaan yang memasyarakat.
Seyogianya, para pemuka agama dapat menjembatani segala pemikiran yang humanis di mana saling menghargai satu sama lain adalah utama. Agama merupakan ajaran yang mengandung kemanusiaan dan pesan moral yang tinggi dan tidak baik bila kita menafsirkannya dengan penuh kemarahan.
Marilah kita belajar pada mendiang Gus Dur yang mengajarkan secara arif perihal beragama yang memanusiakan manusia—di mana agama mayoritas tidak menyalahkan dan menindas agama minoritas lain, melainkan agama mayoritas berusaha untuk bersahabat dengan agama minoritas.
Sebenarnya agak kurang sopan bila saya membuat tipologi agama maayoritas dan minoritas, tetapi inilah konstruksi sosial yang ada pada masyarakat kita. Jadi, langkah bijaksana untuk memahami keberagaman agama adalah memaknai agama secara lebih humanistis atau manusiawi. Maksud memaknai agama secara humanistis adalah mengonstruksikan agama dengan kemanusiaan dan rasa toleransi yang penuh penghayatan.
Dalam hal ini, memang cukup sulit dalam menciptakan keharmonisan antarumat beragama. Akan tetapi, itu bisa dilakukan bila kita dapat memahami agama dengan menyelaraskannya dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Nilai-nilai kemanusiaan tersebut adalah meyakini bahwa semua agama pada dasarnya membawa pesan-pesan kebaikan, dan kebaikan dalam agama merupakan nilai yang bersifat universal. Manusia pada dasarnya baik dan semua agama pun mengajarkan kebajikan. Yang diperlukan dalam hal ini adalah menjadikan para pemeluk agama punya karisma akan kemanusiaan dan kebajikan.
Memang, tidaklah mudah dan banyak tantangan untuk mewujudkan agama yang manusiawi. Akan tetapi, tantangan tersebut dapat dilalui bila para pemuka agama mampu merefleksikan agama dengan penghayatan kemanusiaan yang mendalam.
Bila para tokoh agama dan masyarakat memahami dengan baik pesan kemanusiaan yang terkandung dalam ajaran agama, maka keharmonisan akan lebih mudah tercapai. Tentu saja, untuk mewujudkan hal ini, kita akan menghadapi tantangan terutama dari kaum radikal dan ekstremis.
Dalam konteks itu, yang diperlukan adalah strategi yang bijaksana dan hati-hati dalam memperkuat humanisme dalam beragama. Agama dapat menjadi kehancuran peradaban manusia bila agama ditafsirkan secara keras, kaku, dan penuh dengan kebencian. Bila kita lihat, sebenarnya agama bermakna menyelaraskan dan membudayakan segala yang baik yang ada pada manusia.
Namun, masih banyak yang menafsirkan agama dengan penuh kebencian. Saya berpikir bahwa ini merupakan bagian dari konstruksi sosial yang sudah mengakar kuat dalam masyarakat. Patut untuk disadari bahwa agama sering kali ditafsirkan dengan arogansi kebencian.
Arogansi kebencian itulah yang memperkuat konflik dan pertumpahan darah. Sehingga, sepatutnya para pemuka-pemuka agama sadar akan posisinya untuk menjadikan agama lebih sarat manusiawi dan penuh dengan kedamaian.
Bila dilihat secara kritis, sangat perlu upaya dekonstruktif dalam hal ini. Dengan kata lain, sangat diperlukan pemahaman agama yang lebih manusiawi. Sudah selayaknya ini perlu dilakukan untuk mengembalikan agama pada jalur kemanusiaan.
Kemanusiaan yang saya maksud di sini adalah bagaimana agama dapat menyatukan berbagai macam perbedaan sehingga tidak memicu konflik sosial. Pada dasarnya semua agama itu baik, seperti kata Dalai Lama.
Maka dari itu, kita perlu memperkuat makna humanisme dan upaya humanisasi dalam beragama. Dengan jalan ini, kita akan membuat wajah agama lebih berciri khas bersahabat dengan perbedaan-perbedaan sosial yang ada.
Dengan cara ini, akan didapatkan sebuah makna dan rasa agama yang benar-benar manusiawi, di mana agama terlihat sangat bersahabat, ramah, dan merangkul masyarakat dalam heterogenitas religi. [AR]