Kita tahu bahwa radikalisme merupakan masalah besar yang dihadapi oleh umat beragama. Ia merupakan suatu paham yang dicirikan dengan sikap fanatik terhadap suatu ajaran agama tertentu. Karena itu, ia menjalar dalam semua agama, tak terkecuali pada agama Islam.
Pengalaman tentang radikalisme beragama dalam Islam bisa dilihat pada aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar pada 28 Maret 2021. Dalam aksi itu, sepasang suami-istri, dengan dalih berjihad demi menegakkan syariat Islam, meledakkan bom pada hari ibadah umat kristiani. Pasca kejadian itu, sebanyak 20 orang mengalami luka-luka.
Tiga tahun sebelumnya, kejadian yang serupa juga terjadi di Surabaya. Kali itu satu keluarga yang terdiri dari 6 orang meledakkan dirinya di beberapa gereja hingga menyebabkan 12 orang meninggal dunia.
Orang yang masih menggunakan akal sehat dapat bertanya: Apakah mewartakan ajaran Islam mesti menggunakan aksi yang mencelakai orang lain? Apakah untuk menunjukkan eksistensi Islam harus sampai membunuh orang lain?
Tentu saja jawabannya tidak. Saya yakin semua agama pasti mengajarkan kehalusan dan perdamaian, bukan malah konflik dan kekerasan. Praktik radikalisme beragama seperti di atas justru mencoreng nama Islam, bukan hanya di Indonesia, melainkan di dunia.
Karena itu, perlu bagi kita sebagai umat muslim untuk menangkal dan melawan gelombang radikalisme. Di sini kita perlu menengok ajaran ahimsa yang dipopulerkan oleh Mahatma Gandhi.
Sebagaimana kita tahu, Gandhi dikenal sebagai seorang pejuang India yang berhasil mengusir para kolonialis Inggris. Dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Inggris, ia menggunakan strategi perlawanan yang disebut dengan “ahimsa” (ahiṃsā).
Gandhi juga menyerukan ajaran ahimsa untuk mendorong toleransi beragama mengingat adanya konflik yang panas antara umat Hindu dengan Islam di sana pada saat itu.
Secara etimologis, ahimsa dapat diartikan tidak melakukan kekerasan, sementara secara terminologis, ahimsa adalah ajaran yang menyerukan perlawanan terhadap ketidakadilan atau kekuasaan yang sewenang-wenang dengan menonjolkan aspek nir-kekerasan, seperti tidak menyerang, tidak membunuh, dan tidak melukai.
Ahimsa sebenarnya merupakan ajaran yang berasal dari agama Hindu yang berisi risalah tentang prinsip-prinsip etis kehidupan. Di tangan Gandhi, ajaran itu diperluas dan dikembangkan lebih lanjut guna mendapatkan makna yang universal. Maka dari itu, ia banyak menengok ajaran agama lain yang memiliki nafas yang sama dengan ahimsa.
Gandhi sendiri bahkan tak sungkan mengatakan telah mendapatkan ilham dari Al-Qur’an untuk mengukuhkan kebenaran ahimsa. Ia mengungkapkan, “Saya sampai pada kesimpulan bahwa ajaran Al-Qur’an pada dasarnya anti-kekerasan. Tanpa kekerasan lebih baik daripada kekerasan, begitulah dikatakan dalam Al-Qur’an.”
Dalam konteks tersebut, ia menunjukkan ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang melegitimasi sikap antikekerasan seperti, surah Ali Imran [3]: 159, al-Furqan [25]: 58, dan al-Syura [42]: 40.
Basis ajaran ahimsa bertolak dari pemikiran bahwa tindakan kekerasan sampai kapan pun bersifat destruktif dan akan menghasilkan siklus penindasan tiada ujung. Dalam ahimsa juga dipercayai akan adanya hukum karma di dunia ini, sehingga seseorang yang melakukan kekerasan akan dibalas juga dengan kekerasan.
Dalam implementasinya, ahimsa mesti bergandengan tangan dengan satyagraha yang berarti berpegang teguh pada kebenaran. Sehingga, gerakan nir-kekerasan mesti berpedoman dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran. Satyaghraha menekankan bahwa gerakan nirkekerasan mesti menegakkan kebenaran tanpa adanya kompromi setitik pun.
Dalam implementasinya juga, pendukung ahimsa mesti melakukan penyucian diri. Artinya, gerakan antikekerasan tidak boleh egoistik dan harus mengedepankan kerendahhatian. Tanpa penyucian diri, kata Gandhi, ahimsa hanyalah sekadar mimpi belaka.
Penyucian diri tersebut sebenarnya juga mengandung cita-cita luhur yang lain, yaitu bahwa gerakan antikekerasan harus dilakukan berdasarkan cinta yang mendalam terhadap umat manusia. Maksudnya, ahimsa bukan hanya menyerukan untuk tidak melakukan kekerasan fisik kepada orang yang melakukan kejahatan, melainkan juga tidak membenci dan malah memiliki kepedulian terhadap mereka.
Nirkekerasan adalah cinta. Nirkekerasan itu bertindak menyatu dalam diam, nyaris terselubung dalam kerahasiaan sebagaimana yang dilakukan cinta.
Dalam konteks itulah ahimsa dapat digunakan untuk menangkal radikalisme beragama. Sebagaimana kita tahu, aksi-aksi yang dilakukan dalam gerakan radikalisme beragama hampir tak bisa dilepaskan dari kekerasan. Kekerasan seolah sudah menyatu dalam tubuh gerakan radikalisme.
Dengan menerapkan ahimsa kita menjadi paham bahwa gerakan radikalisme tidak boleh direspons dengan kekerasan. Sehingga, hal yang perlu dilakukan adalah mendakwahkan atau mengajarkan kepada mereka mengenai prinsip Islam rahmatan lil-‘alamin dalam arti yang sesungguhnya. Kita tidak boleh mencemooh, mendiskriminasi, atau merepresi mereka. Sebab, mereka pada dasarnya juga manusia yang patut dihargai dan dihormati.
Kita juga mesti berpedoman pada kebenaran dalam menyelesaikan persoalan radikalisme beragama. Artinya, kita tidak boleh membawa kepentingan kelompok atau pribadi dalam setiap langkah menuntaskan persoalan itu. Sehingga, setiap upaya yang dilakukan harus diarahkan untuk membawa kehidupan umat Islam yang lebih baik dan beradab.
Tak lupa pula, ego dan kesombongan yang tertancap dalam diri kita mesti dilenyapkan. Dalam mewartakan Islam yang damai, kita tidak boleh menggurui atau bahkan menyalahkan mereka. Komunikasi yang baik atau bahkan dialog adalah upaya yang perlu dilakukan. Sebab, mereka juga muslim dan mereka juga manusia, sehingga apa salahnya untuk tetap dicintai? [AR]