Ada sahabat bertanya tentang dinamika internal Nahdlatul Ulama’ menjelang Muktamar NU ke-34 di Lampung. Pertanyaan tersebut muncul, karena hampir setiap hari yang bersangkutan disuguhi informasi media seputar memanasnya penentuan waktu Muktamar. Seolah-olah NU sedang tidak baik-baik saja.
Saya sendiri tidak menjawab secara langsung pertanyaan tersebut. Sepertinya tidak elok sebagai orang NU yang juga santri, terlalu dalam membahas perbedaan yang sedang terjadi di antara para kiai NU.
Yang kemudian saya sampaikan, bahwa apa yang terlihat di latar media terkadang melampaui apa yang sebenarnya.Ya, semacam hiperrealitas kata Jean Baudrillard. Toh, sebagai warga NU yang tinggal di pedesaan, semua program dan kegiatan berjalan secara normal. Maka, kalaupun ada riak, resonansinya hampir tidak terasa di level bawah. Artinya, semua sebetulnya masih baik-baik saja.
Kelaupun muncul perbedaan, semua normal dalam ruang organisasi. Apalagi untuk organisasi sebesar NU. Bahkan, setiap saat perbedaan pasti ada. Hanya saja, perbedaan yang muncul menjelang even-even tertentu terkadang mudah dikapitalisasi menjadi rumor penanda keretakan.
Pengalaman telah mendewasakan NU secara kelembagaan dalam menghadapi dinamika internal. Apalagi semuanya bermuara pada satu kepentingan yang sama, yaitu kemaslahatan organisasi. Perbedaan yang muncul sebenarnya berkaitan dengan wasilah, bukan tujuannya.
Disinilah berlaku kredo al-wasail ala hukmil maqashid (perantara mengikuti hukum tujuannya). Karena itulah, fokus harus kita arahkan pada tujuan, bukan pada ekspresi temporal kondisional. Karena tujuan para Kiai bermuara pada satu kepentingan yang sama, maka perbedaan pada ruang ekspresi masing-masing tidak perlu dipersoalkan.
Sebagai warga NU dan santri, eloknya kita menghindari mengomentari terlalu dalam ikhtilaf yang terjadi di antara para pengurus yang notabenenya terdiri dari para kiai. Dalam ruang perbedaan para kiai, kewajiban para santri adalah menjaga adab. Salah satu adab yang paling tepat dalam suasana tersebut adalah sukut (diam).
Meskipun kecenderungan hati untuk memihak tidak bisa dielakkan, namun menyimpannya untuk konsumsi sendiri jauh lebih elok. Diam adalah pilihan terbaik. Terutama di saat komentar insinuatif mulai bermunculan.
Cukup dimaklumi bila insinuasi tersebut muncul dari pihak luar. Mereka tidak memahami bagaimana kultur NU serta kekhasannya sebagai ormas yang unik. Namun, jika insinuasi demikian dilakukan oleh orang NU, apalagi sampai menelanjangi “kejelekan” para kiai, maka tentu demikian adalah bentuk suul adab yang sangat vulgar.
Dalam tradisi pesantren, menjaga marwah dan kehormatan Kiai adalah urusan prinsip. Kepatuhan terhadapnya adalah keharusan asasi. Demi ketulusan menjaga kehormatan kiai, menghindari potensi yang bisa mendelegitimasi mereka di mata kita sendiri harus senantiasa menjadi ikhtiar saban hari.
Doa yang dikutip Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ “Ya Allah, tutuplah aib guruku dari pandanganku, jangan hilangkan barakah ilmunya dariku” sangat popular di kalangan para santri. Selain sebagai harapan, doa ini sejatinya juga menjadi alarm untuk senantiasa menjaga kadar penghormatan kepada guru agar tidak mengalami degradasi.
Ditampakkannya aib guru kepada kita adalah musibah. Sebab saat aib tersebut nampak, ada potensi yang sedikit-banyak bisa memengaruhi kedudukan guru di hati. Saat itu terjadi, barokah-pun pergi.
Jika ditampakkannya aib guru menjadi musibah, padahal kita berusaha menghindarinya, maka tentu musibah mempermaklumkan aib Kiai di muka publik jauh lebih besar. Apalagi saat aib tersebut ternyata fitnah semata. Naudzu billah
Yang jelas, ada diskrepansi nyata antara klaim dengan idealitas nilai ke-NU-an dan kesantrian. Kita berharap fenomena ini adalah eksepsionalisme. Sebab, segala sesuatu mengandung pengecualian (li kuli syay’in mustatsnayat). Degan demikian, diskrepansi ini hanya kasus minor dan khusus yang tidak mencerminkan kondisi keseluruhan warga NU.
Sebaliknya, kita tidak berharap bahwa pemandangan demikian merupakan fenomena permukaan gunung es yang mana diskrepansi demikian adalah gambaran dari sebagian besar keadaan yang belum tersingkap.
Diam bukan Tidak Kritis
Diam sendiri bukan berarti kehilangan nalar kritis. Sebab,kritis bukan persoalan keberanian bersuara dan membuat utas. Kita tidak menjadi kritis hanya dengan bacar mulut. Pun kritis bukan ditentukan oleh seberapa rajin membuat cuitan mengomentari segala hal. Jika demikian indikatornya, maka para pendengung (buzzer) adalah gerombolan orang paling kritis.
Kritis adalah sikap yang dibalut dengan kekuatan intelektual. Sikap ini ada dalam pikiran. Di manapun berada, ia tetap sama. Yang berbeda adalah artikulasinya. Sebagai santri, kritis tetap dijaga. Namun artikulasinya harus tunduk pada adab.
Konsepsi Syekh Ibnu Ruslan, pemilik kitab zubad, was ma jara bainas shahabi naskutu (apa yang terjadi di antara para sahabat kita diam) sebagai kristalisasi metode berfikir Aswaja yang elegan, perlu kita ekstensi dalam ruang ke-NU-an. Wa ma jara bainal kiai naskutu adalah kaidah turunan yang perlu kita terapkan.
Dengan demikian, jika paradigma sukut selama ini kita atribusikan terhadap perbedaan para sahabat, terutama menyangkut konflik politik saat itu, maka dalam skena NU, hal demikian dapat kita konstekstulisasikan menyikapi perbedaan para kiai.
Jika keberpihakan aktif kepada salah satu sahabat yang terlibat perbedaan adalah anomali dari konstruksi berpikir Aswaja, maka sikap yang sama menyikapi perbedaan di kalangan para Kiai adalah anomali dari konstruksi berfikir NU (fikrah nahdhiyah). Mengambil posisi diam sebagai bentuk menjaga adab, dengan tetap mempertahankan nalar kritis, adalah ekspresi paling elegan menyikapi perbedaan para Kiai. (mmsm)