Sebelumnya: Memori atas The Death of Saddam Hussein… (1)
GUS DUR DAN INVASI IRAK KE AS
Saddam Hussein dijatuhi hukuman gantung. Irak diserbu oleh invasi militer AS dan sekutunya. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) marah besar terhadap kekejian AS yang menyerang Irak secara brutal dan mengandalkan kekuatan multinasional, AS adalah negara adidaya dan Irak itu negara berkembang, sangat tidak adil dan timpang.
“Sebuah negara adikuasa telah memaksakan kehendak dan menginjak-injak hukum internasional untuk kepentingannya sendiri. Serangannya atas Irak mengabaikan peranan PBB melaui dewan keamanan,” kata Gus Dur dalam esainya, Kita dan Perdamaian.
Gus Dur melihat dan menyatakan bahwa dengan serangan AS ke Irak itu, makin penting bahwa etika global dan pemerintahan yang baik (good governance) hanya akan ada artinya kalau didasarkan pada dua hal: kedaulatan hukum dan keadilan dalam hubungan internasional.
Ini berarti, negara adi kuasa manapun harus memperhatikan kedua prinsip ini. Karena itu, demikian Gus Dur, perjuangan untuk menegakkan kedaulatan hukum dan keadilan dalam hubungan internasional itu harus mendapatkan perhatian utama.
Pidato pembukaan itu, mendapatkan jawaban dan tanggapan sangat positif dari berbagai pihak, termasuk Dharma Master Hsin-Tao (Taiwan) yang mewakili para pengikut agama Buddha. Tanggapan yang sama positifnya juga disampaikan oleh Wolfgang Smith dari Persekutuan Gereja- Gereja Eropa dan Rabbi Alon Goshen Gottstein dari Jerusalem.
Gus Dur bersikap tegas soal daulat Irak yang dihancurkan AS/Barat tersebut, sebab semua itu adalah dehumanisasi. Dalam kaitan ini, kita belum lupa, tepatnya pada tanggal 20 Maret 2003, Amerika Serikat (AS) melalui perintah Presiden George Walker Bush melancarkan serangan brutalnya ke Irak tanpa ampun.
Invasi tersebut dilakukan berdasarkan tiga alasan; pertama, menggulingkan rezim otoriter Saddam Husein. Kedua, menghancurkan senjata pemusnah massal. Dan ketiga, merendam gerakan jaringan teroris al-Qaeda. Harta benda di Irak dihancurkan, ribuan rakyat dibunuh dan dokumen, ribuan manuskrip dan naskah-naskah kuno, artefak-artefak kuno, dijarah/dirampok pihak Asing dan konon sebagian besar disimpan di Barat.
Hingga 20 Maret 2008, invasi AS sudah berjalan lima tahun. Menurut catatan Iraq Body Count, invasi AS yang dimulai 20 Maret 2003 hingga 17 Maret 2008 telah menewaskan 1,2 juta warga sipil Irak tak berdosa dan menyebabkan 4 juta lainya kehilangan tempat tinggal, hidup terlunta-lunta dan terlantar di pengungsian.
Sementara itu, dari kalangan AS sendiri sudah lebih dari 3.990 tentaranya tewas sia-sia dan lebih dari 29.000 lainya terluka dalam perang yang memakan biaya hingga USD 500 miliar. Setiap hari pasti ada yang tewas mengenaskan akibat terkena serangan bom bunuh diri atau terperangkap ranjau bom yang dipasang para milisi Irak.
Dalam tahun kelima itu saja, invasi AS mendapatkan perhatian lebih dari berbagai media massa di seluruh dunia dan para pengamat politik. Mayoritas berisi kritikan dan kecaman terhadap kebijakan perang Gedung Putih yang telah mengakibatkan jutaan rakyat Irak menderita dan kehilangan masa depannya.
Politik Hegemoni AS
Jutaan nyawa manusia melayang di Irak akibat kebengisan tentara AS menimbulkan tanda tanya besar. Kenapa negara yang disebut-sebut sebagai negara yang gencar mengumandangkan HAM, AS justru dengan tegak merampas kebebasan hidup rakyat Irak dengan melancarkan sejumlah serangan yang amat mematikan? Lalu, ada apa dengan AS?
Sebagian pengamat mengatakan, salah satunya Riza Shihbudi, pakar pengamat politik Timur Tengah, bahwa AS dalam menjalankan politik luar negerinya, terutama sekali yang berhubungan dengan dunia Timur Tengah selalu menggunakan politik hegemoni.
Keinginan untuk menghegemoni dunia, terutama sekali Timur Tengah mengakibtakan segala kebijakanya merugikan dan menyengsarakan bangsa-bangsa Arab. Karena, dalam pandangan AS, Timur Tengah, khusunya Irak adalah negara yang berpotensi akan mengancam kepentingan nasional AS.
Oleh karenanya, sebelum Irak lebih jauh dapat mengganggu kondisi dalam negerinya, AS terlebih dahulu harus melancarkan seranganya ke Irak. Dan slogan yang selalu dipakai AS adalah pertahanan yang paling ampuh adalah menyerang dan mendominasi.
Hegemoni politik AS di Timur Tengah juga terlihat dari penyelenggaraan KTT Ekonomi Timur Tengah dan Afrika Utara yang pertama di Casablanca, Maroko (Oktober 1994) yang berlangsung tidak lama sesudah pendandatanganan perjanjian damai Yordania-Israel.
Konferensi yang dihadiri semua negara Arab sekutu AS dan Israel ini resminya memang membahas prospek kerjasama ekonomi regional. Namun, pesan politis dari KTT MENA I sebenarnya adalah penegasan bahwa Israel sejak saat itu “suda diterima” oleh para tetangga Arabnya.
Tembok Besar AS
Peringatan lima tahun invasi AS ke Irak seharusnya dijadikan bahan renungan bagi bangsa-bangsa dunia. Bahwa solusi damai merupakan cara dan satu-satunya jalan yang epektif untuk mengakhiri penderitaan bangsa Irak.
Namun, upaya untuk menemukan solusi damai itu selalu menghadapi tembok besar yang teramat kuat dan kokoh untuk dirobohkan, yaitu dominasi dan egoisme AS. Bahkan badan dunia sekelas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun tidak mampu berbuat sesuatu demi kebaikan masa depan rakyat Irak, demi kemanusiaan, dan demi martabat umat manusia.
Padahal otorisasi PBB kepada AS pada Agustus 2002 hanya untuk mengahancurkan senjata pemusnah massal, bukan untuk menjatuhkan Saddam Husein, apalagi menduduki negara seribu satu malam itu.
Sikap Arif
Melihat kenyataan di atas, amat sulit bagi Irak untuk menghancurkan tembok besar AS yang semakin kuat dan kokoh itu. Kecuali dengan cara menolak segala kebijakan politik luar negerinya, terutama sekali kebijakan yang dapat menusik ketentraman manusia. Upaya ini harus dilakukan oleh seluruh masyarakat dunia termasuk rakyat AS sendiri.
Sebab dengan menolak segala kebijakan politik luar negerinya secara otomatis AS akan mendapatkan tekanan, baik secara materi dan psikologis.
Dan yang lebih penting dari itu adalah sikap arif dan bijak dari seluruh jajaran pemerintahan AS, termasuk Bush untuk menghentikan dan menarik seluruh pasukanya dari Irak. Karena sikap arif ini sesungguhnya akan membawa kedamaian dan ketentaraman bagi rakyat Irak khususnya dan rakyat dunia pada umumnya.
PENUTUP
Pandangan Gus Dur dan Al Jabiri di atas, seyogianya jadi referensi untuk kita dan dunia dalam melihat persoalan Irak yang penuh kompleksitas.
Dalam peringatan lima tahun invasi AS ke Irak di masa lalu, Bush beserta jajarannya telah melihat segi-segi negatif akibat invasinya itu. Atas penderitaan yang dialami rakyat Irak, Bush dan Pemimpin AS sekarang (Joe Biden) harus menimbang dengan hati nuraninya dan atas nama kemanusiaan harus bersikap arif dan bijaksana, yaitu menghentikan perang dan mengadakan dialog damai dengan pemerintahan Irak.
AS telah memadamkan ISIS dan Al Qaeda di Irak, namun rekonstruksi dan pembangunan kembali Irak masih kacau balau pasca Saddam Hussein. AS/Barat harus tanggung jawab terhadap konflik berdarah di Irak yang masih berlangsung sampai hari ini. Irak harus berdaulat dan tidak boleh dicampuri asing secara berlebihan.
Hanya dengan cara demikian, masa depan rakyat Irak akan kembali di tangan bangsa Irak. Jika tidak, rakyat Irak akan kehilangan masa depan dan mengalami kebangkrutan/kehilangan satu-dua generasi bangsanya. Ataukah barangkali AS/Barat memang sengaja menghancurkan peradaban Baghdad- Abbasiyah itu? Mungkin hanya Gus Dur (alumnus Universitas Baghdad dan mantan Presiden RI) yang bisa meraba dan menjawabnya, sayang Gus Dur sudah tiada. Mari, Al-Fatehah untuknya. Wallahualambisawab. (mmsm)
*Tulisan ini ditulis bersama dengan Mohamad Asrori Mulky ’(Dosen Institute Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta) dan pernah diterbitkan di koran Investor Daily, Jum’at 5 Januari 2007.
Foto: Mohamad Asrori Mulky