Sila keempat Pancasila merupakan sila yang paling kompleks, karena memiliki lima aspek: kerakyatan (demokrasi), kepemimpinan, hikmat kebijaksanaan, permusyawaratan, dan perwakilan. Dari kelima aspek tersebut, tulisan ini akan melihat satu aspek saja, yakni “hikmat kebijaksanaan”, dari aspek bahasa agama. Kenapa para founding fathers memilih menggunakan istilah tersebut?
Dalam bahasa Arab, kata hikmat mempunya beberapa arti. Buku Lisān al-‘Arab karya Ibn Manzūr menyebut hikmat sebagai al-qaḍā, yang berarti “memutuskan”. Sementara kitab al-Mu’jam al-Wasīt menjelaskan bahwa kata hikmah berasal dari kata hakama yang bermakna mana’a (melarang atau menghalangi). Maksudnya, sebuah hukum dianggap tegak jika ia mampu menghalangi seseorang berbuat zalim. Hikmah juga bermakna adil dalam memutuskan sesuatu. Hikmat adalah mengetahui hakikat segala sesuatu apa adanya dan mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya (Lihat Mu’jam Tāj al-‘Arūs). Hikmah juga bermakna melihat setiap persoalan secara filsafati dan mengamalkan sesuatu secara bijaksana.
Kata hikmah juga terdapat dalam Alquran. Sebut saja misalnya ayat, “Dan yang telah diturunkan kepada kalian dari kitab dan hikmah untuk memberikan nasihat dan pengajaran kepadamu,” (Q.S. al-Baqarah [2]: 231). Hikmah di sini bermakna nasihat, seperti dikatakan Imam al-Rāzī dalam Tafsīr Mafātih al-Ghayb. Beberapa makna lain dari hikmah adalah “pemahaman” (Q.S. Maryam [19]: 12), “pengetahuan” (Q.S. Al-An’ām [6]: 89), “kenabian” atau nubuwwah (Q.S. al-Nisā’ [4]: 54; Q.S. Sād [38]: 20), “perkataan yang tegas” (Q.S. al-Nahl [16]: 125), dan “kemampuan untuk memahami rahasia syariat” (Q.S. al-Baqarah [2]: 269).
Para mufasir memiliki definisi sendiri tentang hikmah. Imam Mujahid mengartikan hikmah sebagai “benar dalam perkataan dan perbuatan”; Ibnu Zayd memaknainya sebagai “cendekia dalam memahami agama”; Malik bin Anas menyebutnya “pengetahuan dan pemahaman yang mendalam terhadap agama Allah serta mengikuti ajarannya”; Ibnu al-Qasim mendefiniskannya sebagai “memahami, mengikuti, dan mengamalkan ajaran Allah”; Imam Ibrahim al-Nakha’i menjelaskannya sebagai “memahami apa yang dikandung Alquran”; Imam al-Sudī mengartikannya dengan al-nubuwwah atau kenabian; dan Hasan al-Basri memaknainya sebagai sifat wara’ (hati-hati).”
Dalam konteks sila keempat Pancasila, frasa “hikmat kebijaksanaan” menggambarkan bahwa rakyat Indonesia dipimpin oleh mereka yang memiliki sifat “hikmat kebijaksanaan”. Pemimpin yang kata dengan perbuatannya padu, adil, melindungi seluruh bangsa, cerdik dan cerdas melihat masalah, memahami tata kelola negara, dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
Hikmah memunculkan kelembutan hati dan kejernihan pikir seorang pemimpin yang tegas dalam bertindak, demi kepentingan bangsa dan negara. Sedangkan” kebijaksanaan” adalah kata sifat yang menunjukkan hadirnya akal budi, berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan. Penggabungan dua kata ini, hikmat-kebijaksanaan, memiliki efek saling menguatkan makna, sehingga sulit untuk menafsirkan satu per satu.
Dengan demikian, frasa “hikmat kebijaksanaan” mengandung makna penggunaan pikiran sehat yang mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, mementingkan kepentingan rakyat, jujur, dan bertanggung jawab. Hal ini sesuai dengan pendapat Muhammad Yamin, sang konseptor konstitusi, yang memaknai “hikmat kebijaksanaan” sebagai penggunaan pikiran atau rasio yang sehat karena melepaskan diri dari anarkisme, liberalisme, dan semangat penjajahan.
Meskipun secara eksplisit sila keempat menunjukkan bahwa rakyatlah yang berkuasa, tetapi perlu digarisbawahi bahwa rakyat “harus” dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, bukan sembarang orang tanpa kualifikasi, kompetensi, integritas dan dedikasi. Kata hikmat-kebijaksanaan mengarah pada pemimpin yang profesional (hikmat) melalui tatanan dan tuntunan permusyawaratan/perwakilan. Tegasnya, sila keempat merupakan sistem demokrasi-perwakilan yang dipimpin oleh orang-orang yang profesional, berintergritas melalui sistem musyawarah.
Dalam konteks krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19, menarik untuk mengaitkan sifat atau karakter pemimpin hikmah-kebijaksanaan ini dengan apa yang pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Apa yang dilakukan beliau ketika negara sedang krisis hebat dan kas negara defisit? Beliau memotong anggaran istana dan kementerian untuk menanggulangi krisis keuangan. Beliau pulang ke rumah dan berkata kepada istrinya, “Wahai Istriku, aku beri kamu dua pilihan. Pertama, kumpulkan semua perhiasanmu dan serahkan ke kas negara untuk penanggulangan krisis, atau kedua, kamu aku ceraikan.”
Itulah sikap pemimpin yang berkarakter hikmat-kebijaksanaan: tidak menggunakan jabatan untuk menumpuk kekayaan. Benar kata para filsuf, “Contoh yang baik lebih berpengaruh daripada ribuan kata-kata”. [AS, MZ]