Imam Wahyudi Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Pentingnya Pengarusutamaan Moderasi Beragama di Institusi Pendidikan

3 min read

Dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi beberapa tindak intoleransi, terorisme serta radikalisme yang bernuansa agama di beberapa wilayah Indonesia. Dari pemberitaan media massa tercacat pada tahun 2018 terjadi peledakan bom di Surabaya, seperti di beberapa gereja, kantor Mapolresta Surabaya, dan Rusunawa Wonocolo Sidoarjo.

Kejadian-kejadian peledakan bom tersebut merupakan bukti bahwa aksi radikaslime itu nyata dan bukan hoax. Para pelaku aksi bom bunuh diri dan penyerangan dengan melakukan peledakan merupakan anggota dengan kelompok tertentu, seperti Jamaah Ansarud Daulah dan Jamaah Islamiyah.

Kedua kelompok ini merupakan kelompok yang membawa tegaknya khilafah Islamiyah. Kejadian peledakan bom yang ada di Surabaya dan di Sidoarjo tersebut melibatkan sekelurga sebagai pelaku peledakan bom bunuh diri. Peristiwa ini merupakan fenomena baru bagi gerakan radikalisme agama yang ada di Indonesia. [Zakiyah, “Moderasi Beragama Masyarakat Menengah Muslim”].

Akhmad Mujahidin dalam buku Moderasi Beragama: dari Indonesia untuk Dunia menyebutkan terdapat 19,4% Aparatur Sipil Negara yang terpapar radikalisme dan pemikiran intoleran. Hal ini jelas menjadi petunjuk bagi kementerian atau lembaga, termasuk Kementerian Agama, untuk lebih serius dalam melakukan pembinaan dengan menambah kajian-kajian tentang keislaman yang moderat.

Pun dengan Mata Air Fondation dan Alvara Research Center yang menghasilakan survei bahwa terdapat 23,4% mahasiswa dan 23,3% pelajar SMA sederajat setuju dengan adanya jihad untuk menegakkan negara Islam atau khilafah [Akhmad Mujahidin, “Implementasi Moderasi Beragama di Lingkungan PTKIN”].

Ini jelas sangat memprihatinkan mengingat jumlah yang terpapar radikalisme cukup banyak. Hal ini menjadi kerisauan bagi masa depan keberagamaan di Indonesia, dan sekaligus menjadi bukti bahwa fenomena munculnya terorisme dan radikalisme agama tidak bisa dianggap remeh.

Tumbuhnya gejala radikalisme di Indonesia tidak terlepas pada masa pergantian Orde Baru menjadi era Reformasi, di mana pada masa itu terdapat banyak pemikiran dan gerakan yang diperlihatkan oleh beberapa organisasi keagamaan dengan semangat keberagamaan yang kuat, tetapi tekstual, untuk membenahi keadaan umat Islam.

Baca Juga  Merosotnya Pernikahan Dini dalam Lensa Fenomenologi Husserl

Contoh beberapa organisasi yang secara terbuka menyuarakan pemikiran tersebut, seperti HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), dan FPI (Front Pembela Islam). Dalam menyuarakan ajarannya, terkadang sikap dan perbuatan mereka sangat menyimpang dari tatanan dasar yang sudah disepakati founding fathers Republik Indonesia, Pancasila dan UUD 1945. Yang diinginkan kelompok tersebut hanya tatanan sosial yang baru, syariatisasi segenap tatanan tersebut di Indonesia [Muhammad Harfin Zuhdi, “Radikalisme Agama dan Upaya Deradikalisasi Pemahaman Keagamaan”, 202].

Memang harus diakui bahwa pada era reformasi merupakan peluang yang sangat menguntungkan bagi kelompok radikal untuk menyebarluaskan dan menjalankan aktivitas ideologinya. Hal tersebut tidak mungkin terjadi pada Orde Baru ketika Negara bertindak menekan terhadap kelompok-kelompok radikal.

Akibatnya, ormas radikal secara terbuka berani menyebarluaskan sikap anti-Pancasila dan menyatakan ingin menggantikannya dengan sistem Islam seperti syariah dan khilafah [Masdar Hilmy, “Radikalisme Agama dan Politik Demokrasi di Indonesia Pasca-Orde Baru”, 416].

Indikasi radikalisme salah satunya sikap fanatis yang berlebihan terhadap pendapat tertentu sembari tak mau tahu dan tak pernah mengakui pendapat yang lain. Padahal pendapat lain bisa kemungkinan memberikan kemaslahatan kepada manusia sesuai dengan tujuan kaidah Islam. [Yusuf Qardhawi, Islam Radikalisme, 40]

Lantas, bagaimana kesiapan lembaga pendidikan dalam menangkal radikalisme yang sudah cukup lama merengsek ke dunia pendidikan, baik sekolah maupun kampus?

Nur Syam—Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya dan mantan Sekjen Kementerian Agama—menyampaikan bahwa pembinaan terhadap mahasiswa sangat penting dilakukan, temuan beberapa peneliti yang menunjukkan bahwa telah terjadi perluasan gerakan radikal dan intoleran hingga usia dini. Penganut paham radikalisme sekarang rata-rata dimiliki oleh pemuda, yang di masa lalu, penganut radikalisme kebanyakan berusia di atas rata-rata 35 tahun. Survei yang dilakukan oleh Institute, 2016, menunjukkan bahwa tingkat toleransi pada siswa SMA Negeri di Jakarta dan Bandung Raya dengan responden sebanyak 760 orang, mempresentasikan sebanyak 61% toleran, 35,7% intoleran pasif, 2,4% intoleran aktif atau radikal, dan 0.3% berpotensi sebagai terorisme.

Baca Juga  Cara Menjaga Anak Agar Tetap Menjadi Muslim Ketika Hidup di Luar Negeri

Dengan demikian, perlunya penerapan moderasi beragama untuk dijadikan program unggulan dan program utama dengan sasaran kepada siswa dan mahasiswa baru.

Dengan hal ini, moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci utama untuk terciptanya hidup saling toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, global, maupun nasional. Dengan adanya moderasi dapat menolak ekstremisme dan radikalisme dalam beragama yang merupakan sebagai kunci keseimbangan. Artinya, sebuah pemikiran yang memilih jalan tengah yang tidak memihak pada ekstrem kanan ataupun ekstrem kiri.

Demi terjaganya peradaban dan terciptanya perdamaian, masing-masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara baik, sopan, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai dan sejahtera.

Moderasi merupakan jati diri Islam yang sudah melekat sejak dari dulu. Dengan sebab itu, menyeret Islam pada radikalisme sejatinya adalah membajak jati diri Islam yang orsinal, baik secara historis maupun doktrinal. Secara historis, agama Islam tidak dilahirkan dari ekstrem kanan ataupun ekstrem kiri.

Sedangkan secara doktrinal, agama Islam merupakan risalah rahmat bagi seluruh alam semesta dan membawa misi dengan jalan tengah untuk menjaga keseimbangan. Dengan demikian, dalam berbagai sisi, agama Islam terdukung untuk menciptakan suasana moderasi karena bekal yang dimilikinya.

Agama Islam tidak hanya menerima moderasi, tetapi menganjurkan umat Muslim untuk mengambilnya dan menjadikan sebagai jalan hidup. Karena umat Muslim sudah ditandai langsung oleh Al-Qur’an dengan tanda kualitas moderasi, yang semestinya dipelihara dan diperlihatkan kepada masyarakat dunia. Oleh sebab itu, moderasi menjadi pilihan umat Islam yang tidak bisa ditawar dan tidak bisa diganti dengan tanda kualitas yang lain.

Al-Qur’an dengan menggunakan kata wasatha untuk menyebut kapasitas moderasi umat Islam. Misalnya, dalam suatu kegiatan yang melibatkan dua belah pihak yang bersaing, yaitu wāsit. Sebagaimana halnya profesi seorang wasit yang harus netral ditugaskan agar menghindar dari keberpihakan. Seperti itu pula dengan kualitas umat Islam yang harus mengambil jalan tengah, di antara munculnya paham ekstremisme dan radikalisme [Prof. Mahmud, “Moderasi Karakter Asli Agama Islam”, 69].

Baca Juga  Pendekatan Aswaja terhadap Literasi Digital: Menjaga Kesantunan di Media Sosial

Selanjutnya, Menurut Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya yaitu Nur Syam, bahwa Moderasi beragama merupakan suatu konsep yang dikembangkan dalam rangka untuk menjadikan Islam yang bercorak wasathiyyah. Sasaran strategis dari gerakan moderasi beragama adalah lembaga-lembaga pendidikan dengan bertujuan untuk menyiapkan generasi yang mengamalkan Islam dan pancasila untuk diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat.

Jika pengarusutamaan moderasi beragama itu didirikan di setiap institusi pendidikan, sekolah maupun kampus, maka besar kemungkinan hal ini bisa menjadikan para siswa dan mahasiswa ke arah pemikiran Islam yang moderat dan menjujung nilai-nilai keagamaan yang toleran, menghargai pendapat lain, serta menjadikan agama Islam sebagai agama rahmatan lil ālamīn.

Sudahkah “rumah moderasi” didirikan di sekolah-sekolah maupun kampus-kampus dan apa kegiatan yang sudah dilakukan sejauh ini dalam memoderasi sikap keberagamaan para siswa dan mahasiswa? [MZ]

Imam Wahyudi Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya