Tidak seperti biasanya, pagi itu, istriku meminta diantar ke pasar. Apa yang disebutnya pasar itu sebenarnya hanyalah sebuah gang perumahan yang berjarak tidak lebih dari 50 meter dari tempat kami tinggal. Pasar kaget biasanya warga perumahan, termasuk istriku, menyebutnya.
Setiap hari, semenjak pukul 5 pagi, pasar itu sudah ramai. Pada hari-hari biasa, tidak lebih dari 10 lapak pedagang yang berjualan di situ. Namun, berbeda jika hari Minggu, jumlah lapak maupun pembelinya, bisa mencapai 3 kali lipatnya.
“Tumben, dan lagi, kenapa pagi-pagi sekali”, tanyaku.“Iya, aku takut Mas. Ini kan hari Minggu, siang sedikit pasti sudah ramai. Dan lagi, sekarang pasarnya dijaga polisi”, jelasnya.
Ah, makin manja saja istriku ini rupanya. Tumben-tumbenan minta diantar ke pasar yang cuma di sebelah rumah. Mana bawa-bawa polisi segala, pikirku.
Sepekan sejak satu orang Pasuruan meninggal akibat Covid-19, suasana kota berubah. Jalan-jalan utama sudah ditutup-buka dan dijaga polisi. Lalu lalang warga tidak lagi seperti sebelumnya. Dan hari ini, polisi pun mengawasi pasar kaget di perumahan kami.
Jarum jam baru menunjuk 05.15 pagi, tapi suasana pasar sudah ramai. Rupanya para ibu berpikir yang sama dengan istriku, jika makin siang makin ramai, akhirnya memilih untuk ke pasar lebih pagi. Dan benar apa yang istriku katakan, tampak sebuah mobil patroli polisi parkir di mulut gang, empat orang polisi nampak di sisih kanan kirinya.
Istriku pun bergegas menuju lapak panjual sayur. Sedang aku, memilih menunggu di dekat mobil pick up penjual beraneka macam buah yang letaknya hanya beberapa meter dari tempat istriku berbelanja. Bukan bermaksud membeli buah, tapi, lewat tape mobilnya, penjual buah itu memutar lagu “Aisyah Istri Rasulullah” yang tengah viral itu.
Lagu yang semula berjudul “Aisyah Satu Dua Tiga Cinta Kami” itu benar-benar telah menghipnotisku. Aku pun diam-diam manggut-manggut dan bersenandung pelan. Berbeda dengan beberapa ibu yang berdiri di sampingku, sembari memilih buah, mereka ikut menirukan syairnya dan menyanyikannya.
Ah, rupanya di tengah pro-kontra yang menyertai kemunculannya, lagu ini terbukti mampu menghibur hati jutaan manusia di tengah pandemi Corona. Tidak terkecuali ibu-ibu pembeli buah dan sayur di pasar kaget perumahanku itu.
Tak butuh waktu lama, istriku menghampiriku sembari menenteng satu tas kresek barang belanjaannya. Sambil berjalan pulang, ia menceritakan obrolan ibu-ibu mengenai berita penolakan warga terhadap jenazah yang meninggal akibat Covid-19. Menurutnya, ada ibu yang menyesalkan sikap dan tindakan itu, namun tak sedikit yang membenarkannya dengan alasan takut tertular.
***
Sejak merebaknya penularan Covid-19 di tanah air, bahkan beberapa bulan sebelumnya, saat virus ini masih “mendekam” di Wuhan, Cina, hampir setiap saat telivisi kita memberitakannya. Minimal sampai tulisan ini dibuat, lebih dari tiga ratus ribu korban meninggal dan lebih dari 1,7 juta kasus melanda di seluruh dunia.
Di Indonesia sendiri, beragam kebijakan dan tindakan telah disiapkan dan dilakukan, baik oleh pemerintah, swasta, kelompok masyarakat atau individu. Tidak cukup himbaun social distancing, lalu physical distancing, hingga pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pun ditetapkan. Diam di rumah menjadi pilihan yang paling bijak demi memutus mata rantai penyebarannya.
Di tengah berita duka yang setiap detik kita dengar itu, terselip kabar yang begitu memilukan dan menyesakkan dada. “Warga Tolak Pemakaman Jenazah Covid-19, Paramedis Dilempari Batu dan Kayu, Bupati Turun Tangan, Gali Sendiri”, demikian tulis Levi Larassaty di Gridhealth.id (3/4). Belum lagi tentunya, penolakan di beberapa tempat yang kian merebak. Alasan kekhawatiran dan ketakutan tertular virus menyertai aksi penolakan warga.
Sebagai upaya mengantisipasi “keganasan” virus ini, WHO pun telah menetapkan tata cara (protokol) menguburkan jenazah. Tak kurang, MUI pun memberikan panduan mengenai prosedur menyalatkan dan menguburkan jenazah pasien Corona. Bimas Islam, Kemenag RI, pun juga tak mau kalah dalam hal ini.
Islam menyebutkan bahwa kewajiban sebagai Muslim terhadap jenazah yang harus dipenuhi adalah memandikan, mengafani, menyalatkan, dan menguburkan. Sehingga, apabila sebagai Muslim, kita menolak pemakaman jenazah, dapat dikatakan ada dua hal yang kita langgar, yakni tidak menunaikan kewajiban atas jenazah dan menghalang-halangi pelaksanaan pemenuhan kewajiban terhadap jenazah.
Lalu mengapa semua itu bisa terjadi? Mengutip Gus Dur, Islam membedakan antara tindakan “mengetahui” (to know) dengan kemampuan “mengerti” (to understand). Dengan “mengetahui” orang menjadi pandai, sedangkan “mengerti” atau “mamahami” memerlukan sikap empati kepada persoalan yang dihadapi. Orang mengetahui belum tentu ia mengerti.
Penolakan warga terhadap pemakaman jenazah itu bukan karena warga tidak mengetahui bahwa memakamkan jenazah adalah kewajiban mereka sebagai Muslim. Yang mereka khawatirkan penularan virus yang (mungkin) ditimbulkan dari si jenazah. Sehingga, pilihan menolak lingkungannya dijadikan sebagai tempat pemakaman dianggapnya sebagai pilihan bijak.
Obrolan ibu-ibu di lapak sayur dan fenomena penolakan jenazah itu memberikan pesan kepada kita, betapa sikap dan tindakan kita lebih banyak didasari oleh rasa mengetahui, dibanding rasa mengerti dan memahami. Dalam banyak hal, sikap dan tindakan kita lebih banyak dimanifestasi oleh naluri necrophilous/tanathos (merusak dan anti-kehidupan) ketimbang naluri biophilous (memperjuangkan, merawat, dan memelihara kehidupan atas nama kemanusiaan).
Fenomena ini mungkin tidak akan terjadi seandainya kita memperbesar kemampuan mengerti dan memahami dibanding kemampuan mengetahui. Kemampuan memahami akan menumbuhkan rasa empati lebih besar dalam diri kita kepada setiap persoalan yang kita hadapi.
Akhirnya, marilah kita renungkan, seandainya (maaf) keluarga kita yang dipelakukan seperti itu, betapa sakit dan pedih hati kita. Lalu, atas nama kemanusiaan yang mana, sikap dan tindakan kita ini dibenarkan? Bukankah menista makhluk-Nya hakikatnya sama dengan menista penciptanya? [AZH]