“Beberapa pemimpin terlahir sebagai wanita.” – Geraldine Ferraro
Pernyataan itu mengalir dari mulut Geraldine Ferraro, seorang jaksa dan politikus Amerika Serikat yang mengingatkan bahwa perempuan juga bisa menjadi seorang pemimpin. Perempuan tak hanya bisa mengurus anak dan pekerjaan rumah tangga belaka sebagaimana anggapan banyak orang. Perempuan juga bisa menjadi tipe ideal seorang pemimpin: cerdas, kuat dan kharismatik.
Namun, realitas masyarakat kita cenderung peyoratif terhadap perempuan. Ia adalah manusia kelas dua yang lebih cocok diperintah daripada memerintah, lebih cocok dikendalikan daripada mengendalikan dan lebih cocok diatur daripada mengatur. Karena itu, perempuan dianggap lebih cocok mengurusi persoalan privat saja. Urusan persoalan publik lebih baik diserahkan kepada laki-laki.
Alasan yang biasanya sering dikemukakan ialah perempuan itu manusia lemah, cengeng dan lebih banyak menggunakan perasaan. Padahal kita tahu untuk menjadi pemimpin seseorang haruslah kuat, tak gampang gentar dan selalu memakai akal dalam mengambil keputusan.
Artinya, alasan tersebut ingin menegaskan bahwa perempuan sudah dari ‘sononya’ tak pantas menjadi pemimpin. Tuhan hanya memberikan wewenang kepemimpinan di pundak laki-laki dan menyuruh perempuan untuk mengurusi pekerjaan rumah tangga dan menjadi pelayan bagi laki-laki.
Namun, apakah benar demikian? Apakah secara given sudah ada segregasi pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan? Apakah perempuan pantas dan mampu menjadi pemimpin? Dan, bagaimana Islam memandang kepemimpinan perempuan?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan saya jawab dalam tulisan ini.
Kontrsuksi Sosial
Tentu saja salah bila menganggap bahwa perempuan tak bisa menjadi pemimpin. Perempuan adalah manusia yang juga kuat, tegar dan bijak laiknya laki-laki. Sebenarnya anggapan seperti di atas berasal dari konstruksi masyarakat yang terus didaur ulang. Leila Ahmed dalam buku yang berjudul ‘Women and Gender in Islam’: Historical Roots of a Modern Debate’ mencatat bahwa konstruksi itu bermula sejak manusia memasuki zaman urban. Sebelum itu, perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama.
Bahkan, perempuan justru memiliki peran yang relatif dominan dan penting dalam kehidupan masyarakat. Dengan menelisik pada kondisi sosial-politik Mesopotamia kuno, Leila membuktikan bahwa perempuan turut terlibat dalam kegiatan pertanian, kesenian dan agama. Perempuan adalah sosok yang mandiri, independen dan bebas pada masa itu.
Namun, sejak Mesopotamia dikonfigurasi sebagai daerah urban, peran perempuan mulai menyusut secara perlahan. Sebab, pembangunan dan penataan suatu daerah lebih banyak membutuhkan tenaga laki-laki. Oleh karena itu, perempuan lebih banyak melakukan pekerjaan di ranah domestik. Pada akhirnya, pembagian peran tersebut diinstutisionalisasikan dan dilegitimasi dalam bentuk kebijakan.
Dari sejarah itulah kemudian muncul stigma bahwa perempuan itu lemah karena hanya bisa mengurusi pekerjaan domestik. Perempuan tak akan bisa dan mampu menjadi pemimpin yang merupakan pekerjaan publik.
Islam Membolehkan Kepemimpinan Perempuan
Seringkali kita mendengar hadis yang berbunyi demikian “Suatu kaum tak akan sejahtera apabila urusan mereka dipegang dan dipimpin perempuan. Hadis itu kerap dijadikan justifikasi bahwa perempuan tak boleh menjadi pemimpin. Suatu institusi yang dipimpin oleh perempuan pasti anggota atau rakyatnya akan sengsara dan menderita. Kurang lebih seperti itulah pendapat kebanyakan orang terhadap hadis di atas.
Padahal, kalau kita lihat konteksnya, hadis tersebut muncul ketika Nabi mendengar laporan bahwa Bauran binti Syairawah bin Kisra akan dinobatkan sebagai ratu Persia menggantikan ayahnya yang telah meninggal dunia. Penobatan ini dilakukan karena raja Yazdarid III yang bergelar Kisra tidak memiliki anak laki-laki.
Bauran dilihat sebagai sosok yang lemah dan kurang mampu dalam memimpin suatu negara. Pada masa itu juga kedudukan perempuan masih dianggap di bawah laki-laki dalam strata sosial bangsa Persia. Melihat kondisi yang demikian, wajar saja bila Nabi berucap demikian. Dalam Al-Qur’an sendiri, Allah telah berfirman dalam Surat ‘Ali Imran ayat 110 yang berbunyi:
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan manysia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah SWT.
Ayat tersebut secara tersirat menunjukkan adanya kewajiban yang senafas bagi perempuan dan laki-laki dalam melakukan amar maa’ruf nahi munkar. Hal ini termasuk juga dalam konteks kepemimpinan. Al-Qur’an pun menjelaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.
Dari ayat tersebut, bisa diambil kesimpulan bahwa semua manusia itu sama, tidak ada pembeda untuk menjadi khalifah atau pemimpin bagi suatu kaum di bumi. Rasulullah saw. bersabda, “Ketauhilah, bahwa setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan bertanggung jawab dari apa yang dipimpinnya” yang mengisyarakatkan tak ada pembedaan gender. [AA]