Intihob Sudh Savirta Penulis adalah Santri Pondok Pesantren Mansajul Ulum, Pati Jawa Tengah

Pentingnya Mempelajari Ushul Fiqih

2 min read

Ilmu fiqih senantiasa menjadi topik pembicaraan yang hangat di dunia pesantren. Kajian-kajian fiqih, dari mulai kitab matan sampai khasyiyah, baik dengan model bandongan ataupun musyawaroh, menjadi salah satu aktifitas utama di pondok pesantren. Bukan hanya itu, Bahtsul Masail, yang didalamnya juga membahas masalah-masalah fiqih, menjadi salah satu ikon pesantren yang paling mentereng di kancah nasional.

Bab-bab fiqih yang tersusun rapi dari mulai bab al-thoharoh sampai bab al-‘itq, serta di dalamnya memuat hukum-hukum dan qoul-qoul para ulama’ yang berbagai macam rupa, memanjakan mata para pembaca untuk terus berdiam diri menekuni ilmu ini. Dengan hampir semua hukum masalah yang sudah termaktub dalam karangan para fuqoha’(pakar ilmu feqih), pertanyaan yang muncul di benak saya adalah “Perlukah kita mempelajari ushul fiqih?”.

Di tulisan ini saya bukannya ingin menerangkan tentang faedah-faedah dan manfaat mempelajari ilmu ushul fiqih, dan tentu juga saya pun tidak ingin menjelaskan perincian-perincian ilmu ushul fiqih, tetapi saya –yang masih sangat dini dalam belajar ilmu ushul fiqih- hanya ingin berbagi sekelumit catatan saya yang saya dapatkan setelah mengerjakan karya tulis, yang nantinya akan menjadi jawaban dari pertanyaan di atas.

Ilmu ushul feqih adalah ilmu yang memuat dalil-dalil fiqih yang global, metode-metode pengambilannya, dan karateristik mujtahid . Di antara dalil-dalil tersebut, ada yang disepakati untuk dijadikan dasar, dan ada yang masih diperdebatkan (mukhtalaf fiiha).  Termasuk dalil-dalil yang masih diperselisihkan adalah konsep yang populer dari Imam Malik R.A. yaitu, maslahah mursalah.

Maslahah mursalah adalah salah satu konsep yang populer dari Imam Malik R.A. , fiqih nya pun terkenal dengan fiqih al-masholih. Hingga saking popoulernya, ketika nama Imam Malik disebutkan, maka di situlah juga disebutkan nama maslahah mursalah, begitu sebaliknya. Tentunya saya pun bukan ingin membahas maslahah mursalah dengan sedemikian rupa masalahnya di sini namun saya akan menyinggung sedikit soal konsep ini.

Baca Juga  Bagaimana Penjelasan Tasawuf tentang Kewalian

Definisi maslahah mursalah sendiri adalah maslahah yang selaras dengan maqasid syariah ( tujuan-tujuan syari’at) tanpa ada dalil khusus yang menganggapnya (sebagai dasar) ataupun membatalkannya. Empat mazhab fiqih berselisih dalam menjadikannya sebagai dasar. Mazhab Maliki dan Hanbali menggangap maslahah mursalah menjadi dasar dalam ushul fiqihnya, sedangkan mazhab Syafi’i dan Hanafi sekilas tidak menjadikannya sebagai hujjah, sehingga ketika kita sudah berbicara fiqih syafi’i, maka kita tak akan menemukan nama maslahah mursalah di dalamnya.

Kendati demikian, apabila kita lihat lebih dalam lagi, sebenarnya mazhab Syafi’i dan mazhab Hanafi pun menggunakan konsep ini. Dalam mazhab Syafi’i, konsep maslahah mursalah ini terselip dalam dalil qiyas. Dalam mazhab Hanafi, konsep maslahah mursalah ini terselip dalam dalil istihsan. Seperti yang saya katakan tadi, di sini saya tidak akan menulis segudang persoalan maslahah mursalah dari mulai hujjah maslahah mursalah sampai pandangan-pandangan pakar ushul tentang konsep ini, tetapi semua hal itu bisa anda temukan dalam berbagai kitab maupun tulisan para pakar.

Dewasa ini, masalah di sekitar kita semakin beragam, begitu juga hukum-hukum fiqih yang muncul. Kita tak usah jauh-jauh menarik contoh, misalnya di awal-awal pandemi, kita diharuskan untuk melakukan beberapa hal karna alasan pandemi, seperti merenggangkan shof ketika salat berjama’ah, melakukan salat Dzuhur di rumah sebagai ganti salat Jum’at, tata cara tajhizul mayyit yang terkena covid, dan sebagainya.

Sebagai umat muslim, tentunya kita harus menata hal-hal semacam itu sesuai konsep fiqih. Maka sangat disayangkan, apabila kita tidak teliti, maka kita akan dengan mudahnya menghukumi suatu masalah dengan hukum begini dan begini, dengan berpandangan bahwa ini termasuk kesejahteraan umum yang merupakan arti dari maslahah mursalah. Lantas apa yang salah dengan berpandangan seperti itu?.

Baca Juga  Tadarus Litapdimas [4]: Beragama untuk Manusia

Apa yang perlu kita tela’ah kembali adalah, Pertama; untuk menggunakan dalil maslahah mursalah, kita tidak bisa hanya meliihat dari segi arti harfiyahnya saja, kita perlu mengkaji seabrek permasalahan maslahah mursalah, dari mulai definisi, kriteria-kriteria penggunaannya, hingga pandangan-pandangan pakar dalam menjadikannya hujjah, dan syarat-syaratnya.

Kedua; Kita sebagai muslim indonesia, yang mayoritas atau bahkan hampir dikatakan semuanya bermazhab Syafi’i, hendaknya mengikuti prosedur-prosedur dalam bermazhab, khususnya mazhab Syafi’i. Seperti yang saya singgung di atas, fiqih Syafi’i tidak berbicara soal maslahah mursalah dalam masalah-masalahnya. Lantas ketika kita berpijakan pada maslahah mursalah, mazhab siapa yang kita ikuti?.

Ketiga; Kita sebagai muqollidin (orang yang taqlid/ ikut dalam satu mazhab tertentu ), bukan lingkup kita untuk membicarakan hukum suatu masalah dengan berlandaskan dalil ushul fiqih tanpa menoleh sedikitpun pada cabang-cabang fiqih imam mujtahid. Lingkup kita sebagai muqollidin adalah berpijakan pada hasil ijtihad imam mujtahid yang tertera dalam fatwa dan qoul mereka, tanpa harus bersusah payah berijtihad di setiap masalah. Toh, bisa dikatakan dari kita pun tak ada yang memenuhi standar ijtihad meskipun pintu ijtihad masih terbuka lebar.

Setelah sedikit penjelasan dari saya tadi, bisa kita tarik kesimpulan, di tengah-tengah banyaknya informasi yang kita dapatkan, dan munculnya bermacam-macam hukum dari berbagai pandangan, mempelajari ilmu ushul fiqih adalah salah satu hal yang kita perlukan, tentunya dengan tetap menekuni ilmu fiqih.

Dewasa ini, mempelajari ilmu ushul fiqih bukan semata-mata bertujuan untuk menjadi mujtahid, tetapi mempelajari ilmu ushul fiqih justru menjadikan kita tidak sembrono dalam bermazhab dan lebih berhati-hati dalam menentukan suatu hukum, seperti yang saya contohkan dalam masalah maslahah mursalah tadi.

Baca Juga  Jalan Pemikiran Muhyiddin Ibnu Arabi (2)

Demikian, semoga bermanfaat, Wallahu a’lam bi al-shawab. (mmsm)

Intihob Sudh Savirta Penulis adalah Santri Pondok Pesantren Mansajul Ulum, Pati Jawa Tengah