Lilik Huriyah Kepala Pusat Pendampingan dan Pengembangan Mutu Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Diktum Karet SKB 3 Menteri Tentang Seragam Sekolah

2 min read

SKB 3 Menteri tentang seragam dan atribut sekolah ternyata masih menyisakan kritik. Hingga kini masih banyak pihak yang memprotes Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri tersebut. Banyak yang menyarankan agar pemerintah membuat kebijakan yang memberikan kelonggaran kepada sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah. Hal ini agar pemerintah daerah dapat membuat peraturan positif yang mengajarkan peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agama sesuai keyakinannya – termasuk dalam berpakaian seragam khas agamawi.

Diktum SKB 3 Menteri yang paling disorot adalah diktum KETIGA, yang berbunyi: “Dalam rangka melindungi hak peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA, pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, mengimbau, atau melarang penggunaan pakaian seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu.”

Kalimat “sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, mengimbau penggunaan pakaian seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu” itulah yang selama ini jadi acungan kritik dan api protes. Mengacu pada kalimat tersebut, bisa pula dipahami bahwa bagi sekolah negeri seperti SDN, SMPN, SMAN, SMKN maka tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, dan menghimbau muridnya untuk menggunakan pakaian seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu. Bukankah setiap siswa berhak melaksanakan ajaran dan nilai-nilai keberagamaannya dengan merdeka di sekolah?  Dengan catatan, tanpa harus ada paksaan untuk melakukan hal yang bukan ajaran agamanya.

Diktum KETIGA SKB 3 Menteri memang berpotensi menjadi “diktum karet”, karena  bisa diseret  ke arah yang berlawanan dari maksud dan tujuan dari diktum tersebut. Diktum ini bisa dibaca lain, diinterpretasikan lain, oleh kacamata lain, dan dari sudut pandang yang lain pula. Diktum tersebut bahkan dapat dikontradiktifkan dengan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi:

Baca Juga  Etika Politik Berbasis Keadilan dalam Pandangan Gus Dur (1)

Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”.

Di dalam Pasal 29 UUD 1945 juga disebutkan secara jelas, pada ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat (2) berbunyi, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan demikian, bisa saja Diktum KETIGA SKB 3 Menteri dipersepsi tidak memberikan keleluasaan peserta didik dalam menjalankan nilai-nilai dan ajaran sesuai agama dan keyakinannya, wabilkhusus dalam memakai seragam khas keagamaan siswa.

Dengan persepsi semacam itu, bagi sekolah keagamaan semisal madrasah negeri bisa runyam karena peraturan yang telah diterapkan ternyata berhadapan dengan SKB tersebut. Selama ini, MIN (Madrasah Ibtidaiyah Negeri), MTsN (Madrasah Tsanawiyah Negeri), MAN (Madrasah Aliyah Negeri), Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri (MAKN) mewajibkan para siswinya untuk berjilbab. Jika madrasah negeri melarang siswinya untuk melepas jilbab, maka hal itu akan berhadapan dengan SKB 3 Menteri. Pihak madrasah bisa dikenai sanksi karena melanggar aturan SKB terbaru ini.

Dalam “membaca” enam butir diktum SKB 3 Menteri tentang “Penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan” tersebut, seyogjanya dilakukan secara cerdas, tenang, teliti dan cermat. Ambil misal pada diktum KETIGA yang banyak dipersoalkan. Pada diktum tersebut terdapat kalimat “sebagaimana dimaksud dalam diktum KEDUA”. Artinya, bahwa diktum KETIGA sangat berkaitan erat dengan diktum KEDUA.

Pada diktum KEDUA disebutkan: Pemerintah daerah dan sekolah memberikan kebebasan kepada peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan untuk memilih menggunakan pakaian seragam dan atribut sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU. Jadi, untuk memahami diktum KEDUA harus pula dihubungkan dengan diktum KESATU, yang berbunyi:

Baca Juga  Cara Pandang Gus Dur atas Kemiskinan dan Pemecahannya

Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah berhak memilih untuk menggunakan pakaian seragam dan atribut: (a). tanpa kekhasan agama tertentu; atau (b). dengan kekhasan agama tertentu, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Dengan membaca diktum SKB Seragam Sekolah secara utuh, yang saling berkaitan antara satu dan lainnya, tentu akan dapat menjernihkan masalah. SKB tersebut telah memberikan kebebasan dan keleluasaan untuk memilih seragam dan atribut ‘tanpa kekhasan agama tertentu’ atau ‘dengan kekhasan agama tertentu’ kepada peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.

Dari “pembacaan” semodel ini dapat dipahami, bahwa sekolah keagamaan seperti madrasah bisa memilihkan seragam Muslimah dan atribut jilbab pada seluruh peserta didiknya. Hal itu berkaitan dengan nilai-nilai bahwa menutup aurat merupakan ajaran Islam, yang bertujuan agar moral dan akhlak peserta didik bisa tumbuh berkembang dengan baik. Pihak sekolah harus memfasilitasi lingkungan yang baik dan menunjang tumbuh-kembang moral dan akhlak peserta didik. Salah satunya adalah lingkungan dengan pembiasaan mengamalkan ajaran agamanya, yakni berjilbab.

Alhasil, peraturan MIN, MTsN, MAN, MAKN yang mewajibkan dan memerintahkan siswinya berjilbab, tidaklah bertentangan dengan SKB 3 Menteri. Hal tersebut justru sesuai dengan isi keputusan SKB 3 Menteri, karena hanya mewajibkan para siswinya berjilbab bagi yang beragama Islam saja. Sebuah sekolah baru akan melanggar aturan, jika mewajibkan berjilbab bagi siswa yang bukan Muslimah.

Nah, mari kita cerdaskan bangsa kita dalam literasi peraturan dan perundangan. Namun kritik dan polemik tetap dibutuhkan, karena ini merupakan alat untuk mengukur seberapa kuat kerukunan bangsa kita. Mari kita melawan lupa akan pesan Ali bin Abi Thalib r.a.; “Angin tidak berhembus untuk menggoyahkan pepohonan, melainkan untuk menguji seberapa kokoh kekuatan akarnya”.

Baca Juga  Tradisi Beragama dalam Peradaban Planetari

 

Lilik Huriyah Kepala Pusat Pendampingan dan Pengembangan Mutu Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya