Ilmu Laduni dan Ilmu Hikmah, Sama Atau Beda?

Indonesia adalah negara yang kaya akan keragaman budaya. Saking kayanya, sampai-sampai kita tidak bisa mengidentifikasikan yang mana yang merupakan kesenian khas Indonesia, makanan khas Indonesia, dan semacamnya itu. Untuk kesenian khas Jawa, makanan khas Minang, tarian khas Bali, itu ada; tapi untuk yang khas Indonesia, mungkin kedekatannya dengan hal-hal atau tradisi yang berbau mistik dan supranatural adalah jawabannya.

Tradisi-tradisi yang berkaitan dengan hal yang berbau mistik dan supranatural hampir dimiliki oleh setiap suku budaya di Indonesia. Untuk spesifiknya mungkin sulit, tapi paling tidak kedekatan tersebut cukup mengakar dalam benak pribumi bangsa Indonesia. Sampai-sampai, ada kekhasan tersendiri dalam dunia Islam di negeri Indonesia ini.

Sebagai orang muslim Indonesia, tentu tidak asing bagi kita mendengar istilah ilmu hikmah maupun ilmu laduni. Apalagi dengan maraknya perseteruan antara Pesulap Merah dengan para dukun akhir-akhir ini, istilah tersebut sering disinggung dan semakin familiar di telinga kita.

Terlepas dari perseteruan di antara mereka, apa sebenarnya ilmu hikmah itu? Apa sebenarnya ilmu laduni itu? Apakah itu adalah ilmu-ilmu tentang kesaktian, kekebalan, dan sejenisnya yang berbau mistik dan supranatural? Apakah ilmu-ilmu tersebut ada di dalam atau menjadi bagian dari ajaran Islam?

Secara etimologis, istilah “hikmah” berasal dari bahasa Arab yang berarti “kebijaksanaan”. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam Madarij al-Salikin mendefinisikan hikmah sebagai sesuatu yang harus dilakukan dengan cara yang semestinya dan di waktu yang seharusnya. Dengan demikian, ilmu hikmah berarti adalah ilmu yang membahas tentang sesuatu yang harus dilakukan dengan cara dan dalam waktu tertentu.

Di sisi lain, filsuf pertama dalam dunia Islam Al-Kindi menyamakan ilmu hikmah dengan filsafat. Hal itu dikarenakan filsafat juga berartikan cinta kebijaksanaan, yang mana itu senada dengan makna hikmah itu sendiri. Terlebih Ibnu Sina mendefinisikan bahwa hikmah adalah kesempurnaan jiwa manusia tatkala berhasil menangkap makna sesuatu dan mampu menyatakan kebenaran dengan pikiran dan perbuatannya sebatas kemampuannya sebagai manusia; dengan begitu, makna antara ilmu hikmah dan filsafat semakin identik adanya.

Lantas bagaimana dengan ilmu-ilmu tentang kesaktian, kekebalan, dan sejenisnya yang berbau mistik dan supranatural itu? Apakah itu bukan atau tidak termasuk ilmu hikmah? Jika kita kembalikan berdasarkan definisi etimologis dan makna terminologis asalnya, kiranya cukup jelas bahwa bila mengartikan ilmu hikmah itu sebagai ilmu tentang kesaktian, kekebalan, dan sejenisnya yang berbau mistik dan supranatural itu cukup berlainan.

Sedangkan ilmu laduni, secara historis, merupakan jenis keilmuan yang dipopulerkan oleh Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali melalui karyanya Al-Risalah al-Laduniyyah. Secara etimologis, istilah tersebut dinukil dari salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang mengkisahkan Nabi Musa dalam perjalanannya bertemu dan berniat berguru pada Nabi Khidir.

فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَآ اٰتَيْنٰهُ رَحْمَةً مِّنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنٰهُ مِنْ لَّدُنَّا عِلْمًا

Artinya: “lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami.” (QS. Al-Kahf [18]: 65)

Istilah “laduni” adalah bentuk nisbah dari kata “ladunna” yang berarti “sisi kami”. Mengingat kata “ladunna” mengikuti kata “min” yang menjadi berartikan “dari sisi Kami”, Al-Ghazali mengambil istilah tersebut untuk menjelaskan macam ilmu berdasarkan pemerolehannya. Jadi, ilmu laduni bukanlah ilmu tentang apa, akan tetapi ilmu tentang dari mana dan diperoleh dengan cara apa. Dapat dipahami, bahwa ilmu laduni adalah ilmu dari sisi Allah.

Bukankah semua ilmu itu, betapapun dan bagaimanapun, berasal dari sisi Allah? Ya, betul. Namun, dalam konteks ini, Al-Ghazali mengidentifikasikan suatu keilmuan yang disebut ilmu laduni sebagai ragam keilmuan yang pemerolehannya adalah bukan dengan usaha-usaha insani seperti membaca buku, mengikuti seminar, mendengarkan ceramah, latihan, dan sebagainya; melainkan dengan usaha-usaha rabbani seperti riyadhah, mujahadah, dan muraqabah yang menjadikan diri menjadi pribadi yang layak untuk menerima keilmuan tersebut.

Ilmu laduni adalah ilmu yang ‘diperoleh’ atau ‘terlimpahkan’ dari sisi Allah di mana seseorang tidak perlu berusaha untuk memperolehnya, melainkan harus berusaha bagaimana caranya agar dirinya layak untuk menerimanya. Ilmu laduni bukanlah ilmu yang kita peroleh dengan cara mencari, bukan pula ilmu yang diajarkan atau bahkan ditransferkan dari satu orang ke orang lain, melainkan ilmu yang terberikan dari Allah kepada kita. Oleh karena sifatnya ‘pemberian’ atau ‘pelimpahan’, maka isi dan bentuk pengetahuan yang dimaksud bergantung kepada Yang Memberi atau Yang Melimpahkan, tanpa harus menyesuaikan dengan keinginan, kehendak, maupun kapasitas dan perangkat pemahaman yang kita miliki.

Akal dengan metode rasionalnya diakui memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu. Dalam wilayah-wilayah kajian metafisika misalnya, akal banyak tidak berdaya. Maka dari itu, produk akal dalam hal ini sering disebut tidak lebih dari spekulasi.

Di sisi lain, pancaindra hanya mampu berhubungan dengan apa yang bisa dilihat, didengar, dicium, diraba, dan dirasa. Pancaindra tidak berdaya menghadapi hal-hal yang di luar semua itu. Kalau akal masih bisa berabstraksi, meskipun dalam bentuk spekulasi, terhadap hal-hal metafisik atau non-empiris; maka pancaindra bisa dikatakan menyerah sama sekali terhadap hal-hal yang demikian itu. Pancaindra hanya mampu merefleksikan sesuatu kalau ada bahan-bahan konkret yang bisa ‘disentuh’.

Keterbatasan-keterbatasan akal dan pancaindra itu tidak menjadi masalah bagi laduni. Laduni yang berpijak pada intuisi dengan sumber pengetahuan suara kalbu dan dipercaya berasal dari ‘pemberian’ Tuhan secara langsung, memiliki wilayah yang bisa dikatakan tidak terbatas. Hal ini mengherankan karena sumber pengetahuan atau keilmuannya adalah Tuhan sendiri yang pengetahuan-Nya dipandang meliputi segala sesuatu.

Apakah termasuk ilmu-ilmu tentang kesaktian, kekebalan, dan sejenisnya yang berbau mistik dan supranatural? Ya, tidak terkecuali. Akan tetapi, jika diartikan bahwa ilmu laduni semata-mata tentang kesaktian, kekebalan, dan sejenisnya yang berbau mistik dan supranatural; itu adalah keliru. Karena, ilmu laduni bisa berupa tentang ilmu-ilmu Keislaman baik ushul maupun furu’; bisa juga tentang pengobatan, filsafat, fisika ataupun metafisika; semua kembali pada apa yang Allah ketahui tentang kita dan apa yang Allah inginkan atas kita.

Jika Allah menghendaki kebaikan pada hamba-Nya, Allah mengangkat tabir antara jiwa hamba dan jiwa yang di dalamnya ada telaga (jiwa universal). Allah menampakkan dalam jiwa hamba sebagai rahasia realitas dan memahamkan dalam jiwa hamba makna realitas itu. Maka tersingkaplah jiwa hakiki dan hakikat hikmah bagi hamba yang dikehendaki Allah melalui ilmu laduni.

يُّؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ اُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ

Artinya: “Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS. Al-Baqarah [2]: 269)

Ilmu hikmah adalah ilmu tentang kesempurnaan jiwa manusia tatkala berhasil menangkap makna sesuatu dan mampu menyatakan kebenaran dengan pikiran dan perbuatannya. Ilmu laduni adalah ilmu yang diperoleh atau terberikan dari sisi Allah di mana seseorang tidak perlu berusaha untuk memperolehnya, melainkan harus berusaha bagaimana caranya agar dirinya layak untuk menerimanya.

Di dalam Islam tidak mengajarkan tentang kesaktian, kekebalan, dan sejenisnya yang berbau mistik dan supranatural; mengingat Nabi Muhammad SAW, betapapun mulia dan luhurnya beliau, dapat sakit dan terluka. Walau demikian, hal semacam kesaktian dan keajaiban tersebut tetaplah ada dalam Islam dalam bentuk mukjizat ataupun karomah. Akan tetapi, semua itu adalah hal yang bukan untuk dimiliki dan diajarkan, semata-mata adalah bentuk anugerah dan keberuntungan dari Allah Azza wa Jalla. (mmsm)

26

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.