Dr. Limas Dodi, M.Hum Editor-in-Chief Jurnal Didaktika Religia Pascasarjana IAIN Kediri

Jamu Anti Covid-19 Itu Memoderasikan Mental

2 min read

Hari ini siapa yang tidak merasakan ketegangan, kebingungan, dan rasa was-was diri? Pemerintahnya pening memikirkan kebijakan apa yang pas untuk negara dan bangsanya, sementara masyarakat histeris secara sosial dan ekonomi. Dalam situasi kalut ini, menengadah kepada Tuhan dan menunggu wabah Covid-19 terangkat ke langit adalah jamu mujarab bagi mental.

Superhero is dead. Tak perlu berharap dari Amerika yang adikuasai, China yang perkasa, Italia yang mempesona, dan Espana yang gagah. Mereka pun menghadapi takdir yang sama. Tidak ada pahlawan super seperti yang diciptakan Marvell. Ini nyata. Dunia telah melihat Covid-19 lepas dari prediksi sains manusia. Semua masih samar dan gelap. Satu-satunya harapan doa yang mampu menyelesaikannya.  

Pemenjaraan diri mulai dari social distancing, physical distancing dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dibongkar-pasang di Indonesia . Ini tanda ketaksigapan pemerintah menghadapi pandemi. Kebijakan tersebut sekilas masuk akal. Namun ini bukan persoalan medis dan sosial semata. Lebih dari itu adaptasi emosional kejiwaan (al-rūyah al-nafsīyah) dan kesiapan mental masyarakat perlu dikuatkan.

Kondisi mental menjadi pintu masuk-melembabnya penyakit dalam tubuh manusia. Rendahnya suhu emosional berakibat luar biasa pada kenyamanan sosial. Bukti nyata dapat dilihat dari skenario sosial akhir-akhir ini. Kondisi mental masyarakat kita memang sedang diguncang hebat. Bagaimana tidak, orang meninggal yang biasanya diperlakukan terhormat dengan tradisi dan pemahaman keagamannya, malah ditolak oleh warga setempat. Kampung-kampung membuat kebijakan sendiri-sendiri dengan menetapkan lockdown seakan menjadi negara sendiri (on voice rule). Ini semata bukan kesalahan masyarakat, tapi kondisi emosional yang frustrasi mengakibatkan demikian.

Panic buying dan claim sick merupakan dua bukti akurat untuk menggambarkan carut marut kondisi mental masyarakat hari ini, sampai-sampai menimbulkan paranoia massal. Banyaknya masyarakat yang melakukan saving stok barang untuk dikonsumsi, berpengaruh terhadap penetapan harga akibat banyaknya permintaan, hingga lahirnya kondisi psikologi panic buying. Kena gejala mirip Covid-19, dianggap suspect dan mengganggu ketenangan sampai terpapar insomnia. Kenyataan ini semakin parah saat sajian-sajian berita dengan semua perspektif dibahas, diingatkan dan dihimbau. Kondisi mental masyarakat kita benar-benar sedang diuji.

Baca Juga  Membumi Saat Pandemi: Menengok kembali Fikih Kebencanaan Muhammadiyah [Part 1]

Kekalutan mental masyarakat seperti ini, pernah terjadi pada masa pra-Islam ketika terjadi pagebluk. Masyarakatnya resah, gelisah, saling tidak percaya, serba ragu bahwa penyakit menular itu benar-benar ada. Satu sisi mereka takut tertular dan menularkan, sehingga berdampak pada kehidupan sosial waktu itu. Manfred Ulmann dalam buku Islamic Medicine menceritakan, “masyarakat pra-Arab dulu kalau bercakap-cakap menggunakan sekat kain ataupun dari balik tembok. Merek juga memisahkan unta yang berpenyakit dengan unta yang sehat”.

Antisipasi masyarakat pra Arab terhadap penyakit di atas, pernah disinggung Rasulullh dalam hadis, “…jangan mengumpulkan (unta) yang sakit dengan yang sehat (HR. al-Tirmidzi), dan hadis, “… dan larilah dari penyakit kusta sebagaimana engkau lari dari singa” (HR. al-Bukhari).Dua hadis ini meyakinkan penulis, bahwa dalam konteks Covid-19 ini perlu upaya pemisahan antara yang suspect dengan yang sehat, sebagaimana yang pernah dilalukan masyarakat Arab pra-Islam dengan analogi memisahkankan unta. Sedangkan hadis kedua, merupakan ilustrasi diberlakukannya social distancing.

Dengan membandingkan kondisi sosial yang sama, perlu melihat bagaimana Rasulullah membuat kebijakan. Model kebijakan pertama, menginstruksikan agar tidak memasuki wilayah terdampak (zona merah). Sedangkan bila berada di dalam wilayah terdampak, maka jangan keluar dari wilayah tersebut. Jika dihubungkan dengan kebijakan hari ini, kurang lebih karantina wilayah opsi yang relevan guna memutus penyebaran Covid-19. Hal ini bukan berarti Rasulullah menyepakati konsep isolasi, melainkan lebih kepada common sense, di mana tujuannya adalah penguatan mental dan emosi.

Model kebijakan kedua sebagaimana, Rasulullah tegaskan dalam hadis, “Tidak ada ‘Adwa (penyakit menular), tidak Thiyarah (kesialan), tidak ada Hāmah (burung hantu), dan shafar (kesialan di bulan Safar)” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Sekilas hadis Rasulullah ini kontradiktif, satu sisi ada perintah meniadakan penyakit menular, disisi lain ada perintah menjauhi penderita penyakit yang dianggap menular. Namun menurut penulis kedua hadis itu justru saling melengkapi tergantung mental mukhātabnya. Hadis “tidak ada penyakit menular” diperuntukan bagi mental masyarakat yang lemah. Sementara hadis “menjauhi penyakit menular” diperuntukan bagi mental yang telah siap dan kuat. Perbedaan ini semata-mata untuk menjaga keseimbangan mental publik.

Baca Juga  Kenangan Benedict Anderson: Dari Gus Dur, Cak Nur, Malari 1974 sampai Gerakan Mahasiswa ITB 78 (2)

Pada aspek ini, penulis berpandangan bahwa mental masyarakat perlu mendapat perhatian untuk konteks pandemi Covid-19 hari ini, selain upaya medis. QS. Ali Imran [5]: 139 juga menasihatkan agar menjaga mental, “janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.”Ayat ini menandakan bahwa keimanan merupakan stimulan paling tinggi untuk menghilangkan ketakutan.

Dalam suatu artikel majalah Asia Times dengan tajuk “Bali’s mysterious immunity to Covid-19” mendudukan Bali sebagai daerah ajaib bin ajaib, aneh dan supratural. Bagaimana tidak, dengan jumlah penduduk 4,2 juta namun sampai 16 April 2020, Bali merupakan wilayah paling sedikit terjangkit Covid-19. Jumlah wisatawan China yang datang ke Bali meningkat 3% pada Bulan Januari, dimana saat itu Wuhan sedang mengalami lockdown. Apakah ini berarti masyarakat Indonesia telah bermental baja menghadapi pagebluk ini? [FM, MZ]

Dr. Limas Dodi, M.Hum Editor-in-Chief Jurnal Didaktika Religia Pascasarjana IAIN Kediri

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *