“Suatu hari Juha ingin berbisnis, akhirnya ia membeli telur dengan biaya satu sen (qarsy) untuk tiap sembilan telur; Kemudian ia mulai menjualnya dengan harga satu sen (qarsy) untuk tiap sepuluh telur. Karena terlihat aneh, salah satu dari temannya dengan sinis bertanya, “bisnis menguntungkan macam apa ini?”, Juha menjawab dengan enteng, “sejak kapan keuntungan itu menjadi prasyarat bisnis? tidakkah cukup bagiku jika teman-temanku mengatakan tentang ku, bahwa aku ini adalah seorang pebisnis, di mana aku bisa menjual dan aku bisa membeli”.
Sepenggal Kisah di atas merupakan anekdot sufi yang diperankan oleh seorang tokoh bernama Juha (profil tokoh ini dan seabrek perdebatan akademiknya akan dibahas dalam tulisan lain). Penulis mengutipnya dari buku Nawādir Juhā al-Kubrā yang berisi kumpulan humor sufi yang akhir-akhir ini dikaji pada “Ngaji Rutin Online via Facebook” setiap malam Rabu bersama jemaah musala al-Anwar, sebuah langgar kecil di desa Ngaliyan Semarang.
Benar, berdagang merupakan salah satu profesi yang menjanjikan, menguntungkan, dan halal jika ditempuh dengan cara-cara yang benar. Dalam berdagang, seseorang bisa mengambil keuntungan dengan membeli suatu barang untuk kemudian dijual dengan nominal yang lebih tinggi sebagai keuntungannya. Begitu menjanjikannya perdagangan, Rasulullah sendiri pernah belajar berdagang dengan pamannya Abu Thalib dan menjalankan perserikatan dagang dengan Sayyidah Khadijah r.a.
Membaca kisah atau anekdot Juha di atas, spontan mungkin kita akan dibuat tertawa dengan model dagang yang dimainkan oleh Juha. Secara perhitungan matematis, kita merasa aneh adanya pedagang yang tidak mau mengambil keuntungan, malah justru ia mengambil jalan yang mendatangkan kerugian. Andaikan kita seorang pedagang, mampukah kita melakukannya? atau minimal membenarkan dan mendukung pola perdagangan tersebut?
Gambaran bisnis yang dijalankan dengan “konyol” ala Juha di atas sejatinya menyimpan banyak pesan dan nilai yang perlu direnungkan. Bahkan, dalam petikan kisah tersebut juga dijumpai sebuah sindiran dari Juha kepada kita dan seluruh orang yang bekerja di muka bumi apapun pekerjaannya khususnya para pedagang.
Berdagang merupakan salah satu pilihan manusia dalam bekerja di muka bumi. Berdagang sama halnya dengan bertani, berkebun, berternak, menjual jasa, dan sebagainya. Dalam perspektif agama, semua pekerjaan manusia jika ditempuh dengan cara yang baik dan benar ia akan bernilai ibadah. Dalam konteks ini, tentu berlomba-lomba dalam menggapai derajat kebaikan dapat dibenarkan. Dari sudut pandang inilah kita akan mampu memahami dan membenarkan prilaku dagang yang dijalankan oleh Juha. Sebagai manusia dengan kewajiban bekerja dan berusaha, Juha memiliki inisiatif yang baik untuk memilih pekerjaan halal, berdagang telur.
Pada fase ini, Juha sejatinya mengajarkan kepada publik tentang kewajiban manusia dalam maqām sababī/kasbī (level sebab-akibat/kerja). Maqam sababī atau kasbī adalah satu tingkatan spiritual dalam tasawuf di mana manusia masih berada di level bawah dan bergantung secara lahiriah dengan hasil usahanya. Dengan istilah, pada maqām ini manusia masih terkena hukum kausalitas (hukum sebab akibat/qānūn al-sababīyah). Hal ini bertalian dengan teologi Sunni/Asy`arīyah yang menegaskan bahwa kewajiban manusia adalah bekerja dan berusaha, sementara urusan berhasil atau tidaknya merupakan kehendak Allah. Manusia bekerja dan berusaha secara maksimal, lahir dan batin, sementara hasil usahanya murni hak prerogatif Allah.
Tidak hanya berhenti di maqām kasbī, sosok Juha lantas mengajarkan agar senantiasa meningkatkan level spiritual manusia menuju maqām tajrīd, yaitu maqām di mana seorang hamba berpasrah secara total kepada Allah. Dalam fase ini publik disuguhi penggalan anekdot Juha di mana ia berdagang tidak berorientasi mencari keuntungan duniawi, bahkan tampak dari pola perdagangannya seolah mendatangkan kerugian. Ketika ditanya oleh kawannya, dengan ringan Juha menjawab, “sejak kapan untung/keuntungn itu menjadi prasyarat bisnis?”. Pertanyaan yang sungguh retoris dan penuh makna.
Maqām tajrīd inilah yang menjadi landasan utama memahami pesan terdalam dari anekdot Juha. Manusia rohani seperti Juha merupakan gambaran manusia yang idealnya selalu ta’alluq dengan sang Khaliq. Tidak aneh kiranya jika Juha sudah tidak banyak berpikir tentang keuntungan yang akan digapai atau bahkan kerugian yang akan ditimpa.
Pola hidup seperti ini menjadi logis bagi mereka, para manusia rohani, yang berada di maqām tajrīd ini. Mereka akan terus menerus belajar untuk menghiasi diri dengan dawām al-ta’alluq (ketertautan hati secara terus menerus) kepada sang Khaliq dan bukan kepada makhluk. Sehingga, tangga yang ingin dicapai adalah kerelaan (rida) Allah. Pada tahap inilah tampak sekali ketinggian level akademik dan spiritual Juha, meskipun disampaikan dengan tipikal humor dan bahkan terkesan mengonyolkan diri sendiri. Seperti itulah sebuah pesan mulia tanpa menggurui atau bahkan menyakiti.
Persoalan ini dapat dijumpai pembenarannya dalam salah satu hikmah sufi besar Iskandariah, Syeikh Ibnu Atha’illah al-Iskandarani:
أنت مع الأكوان ما لم تشهد المكون، فإذا شهدته كانت الأكوان معك
Terjemahan bebasnya: “Kamu (wahai anakku/muridku) tidak akan mampu melepaskan diri dari kebersamaan (ketergantungan) terhadap alam-alam semesta selama kamu belum syuhūd dengan sang pencipta alam itu, Tatkala kamu sudah mampu syuhūd dengan sang pencipta alam, maka jangan khawatir, alam semesta akan senantiasa menyertaimu”
Ditegaskan dalam Alquran, Allah Swt. berfirman:
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Tāha [20]:132)
Selain pesan-pesan spiritual dan ketuhanan, penggalan anekdot Juha di atas sejatinya juga mengajarkan tentang pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian. Penggambaran aneh sosok Juha yang membeli telur dengan satu sen (qarsy) untuk tiap sembilan telur, kemudian menjualnya dengan harga yang sama untuk tiap sepuluh telur merupakan bentuk sindiran kepada publik agar tidak tamak dalam urusan harta dan dalam meraih keuntungan. Sungguh sebuah pesan mendalam khususnya bagi kita yang jarang berbagi. Sikap peduli dan tidak tamak atas keuntungan sangat dibutuhkan khususnya di musim pancaroba dan wabah saat ini.
Dalam konteks kepedulian sosial inilah sejatinya praktik bisnis Juha terlihat sangat elite dan berkelas. Perdagangan macam ini digambarkan oleh Allah sebagai perdagangan yang tidak akan mendatangkan kerugian sama sekali (tijārah lan tabūr) sebagaimana dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”. (Q.S. Fātir [35]: 29). [HM, MZ]