Aji Damanuri Dosen IAIN Ponorogo; Sekretaris Majlis Tarjih dan Tajdid PDM Tulungagung

Membumi Saat Pandemi: Menengok kembali Fikih Kebencanaan Muhammadiyah [Part 1]

3 min read

Banyak yang bilang bahwa agama gagap dan mandul menghadapi Covid 19. Pernyataan ini merujuk bukan saja pada konsep-konsep agama yang memang kenyataannya masih terhegemoni paradigma klasik bahwa agama adalah urusan akhirat, tetapi juga lenyapnya para penggiat agama dari panggung sosial saat masyarakat membutuhkannya di masa pandemi. Alih-alih memberi solusi, yang terlihat malah berdebat lagi tentang teks-teks keagamaan yang tetap melangit dan jauh dari realitas.

Untunglah masih ada Muhammadiyah yang selalu produktif memproduksi pemikiran dan aksi sesuai dengan problem dan semangat zaman. Sejak masa kelahirannya, dengan teologi al-Ma’un, Muhammadiyah memang memahami bahwa Islam harus hadir sebagai penolong problem-problem keumatan, atau dalam bahasa Ziauddin Sardar bahwa seharusnya shari’ah (agama) mampu menjadi problem solver bagi umat. Konsep agama tidak boleh hanya menjadi “corona suci” di atas langit tanpa mampu menyentuh bumi.

Salah satu respon Muhammadiyah atas problem umat kontemporer adalah diterbitkannya Fikih Kebencanaan sebagai hasil dari Musyawarah Nasional Tarjih ke-29 tahun 2015 di Yogyakarta. Ini bukti bahwa agama tidak mandul dan gagap pada nalar yang tercerahkan karena konsep-konsep agama yang sempurna dipahami secara kontekstual. Maka pada masa pandemi seperti sekarang ini, Fikih Kebencanaan Muhammadiyah menemukan relevansinya.

Sayangnya, karena akal kita terkooptasi dengan bahasa Arab, karya yang bagus ini belum mampu menggeser kitab-kitab fikih berbahasa Arab dan hanya dilihat sebagai makalah akademik semata. Apalagi cetakan kedua ditulis dalam bahasa Inggris supaya menjadi konsep yang mengglobal.

Muhammadiyah dalam memandang bencana bukan hanya memahaminya sebagai azab, tetapi mampu mengeluarkan konsep-konsep dalam Alquran yang terkait dengan bencana. Paling tidak ada 10 istilah yang mampu dirumuskan oleh Muhammadiyah. 

Baca Juga  Islam Tidak Menghalangi Kebebasan Berpikir dan Bereksplorasi

Pertama, musībah yang berasal dari kata a-sa-ba yang artinya “sesuatu yang menimpa kita”. Istilah ini mengacu kepada sesuatu yang netral, tidak berkonotasi positif atau negatif (QS. Al-Hadīd: 22-23, al-Nisā: 79, al-Syuarā’: 30). Namun, dalam konteks Indonesia, kata musibah sering dipersepsi negatif sebagai peristiwa yang menyakitkan, menyengsarakan dan bernilai negatif bagi manusia.

Kedua, balā’. Kata ini cenderung dimaknai sebagai suatu yang buruk atau lazim dikenal sebagai musibah dengan konotasi negatif. Padahal ketika merujuk kepada Alquran, kata balā’ lebih bermakna kepada cobaan untuk memperteguh iman (QS. Al-A’rāf: 168). Pada ayat di atas kata balā’ merupakan sebuah ujian atau cobaan yang berupa kebaikan (al-hasanāt) atau keburukan (al-sayyi’āt).

Ketiga, fitnah, yang dalam bahasa Indonesia maknanya sangat tidak sesuai dengan makna asal di dalam Bahasa Arab. Fitnah dalam Alquran memiliki banyak makna, seperti kemusyrikan (QS. Al-Baqarah: 191, 193, 217), cobaan atau ujian (QS. Tāhā: 40 dan al-Ankabūt: 3), kebinasaan atau kematian (QS. al-Nisā’: 101 dan Yūsuf: 83), siksan atau azab (QS. Yūnus: 83 dan al-Nahl: 110) dan lainnya. Peristiwa yang dilabeli dengan kata fitnah mengacu kepada peristiwa sosial, bukan peristiwa alam. Fitnah diartikan sebagai peristiwa yang berasal dari hubungan antar manusia dengan manusia lain, yang memunculkan dampak negatif berupa kematian, ketakutan, kesesatan dan kericuhan.

Keempat, ‘azāb, yang berasal dari Bahasa Arab ‘adzaba. Kata ini memiliki arti yang sangat variative, sesuai konteksnya. Namun, ketika azab dikaitan dengan peristiwa yang menimpa manusia, kata ini selalu dimaknai sebagai siksaan. Hal ini bisa dilihat dalam QS. al-Dukhān: 15-16, al-Sajdah: 21-22, dan Luqmān: 6-7. Peristiwa yang masuk dalam kategori ‘adzāb dapat berupa peristiwa alam yang dahsyat, seperti tsunami, tanah longsor, banjir bandang, gunung meletus, dan gempa bumi. Peristiwa tersebut terjadi akibat kesalahan manusia dalam menjalani kehidupan dan berinteraksi dengan alam.

Baca Juga  Israel, “Etno-Demokrasi,” dan Paradoks Modernitas (3)

Kelima, fasād yang merupakan lawan dari salāh (baik, bagus dan damai). Dengan demikian fasād berarti suatu yang jelek, buruk dan sengketa. Kata fasād beberapa kali disebutkan dalam Alquran, misalnya pada surah al-Baqarah: 205, Hūd: 116, al-Rūm: 41, al-Fajr: 12 dan al-Mā’idah: 32, 33, 64. Hampir semua ayat tersebut menunjukkan sikap manusia yang tidak baik yang berakibat pada kerusakan bumi, baik kerusakan sosial maupun alam.

Keenam, kata halāk secara bahasa diartikan dengan “mati, binasa, dan musnah”. Berbeda dengan fasād, halāk dalam Alquran sering dihubungkan dengan perbuatan Allah, bukan manusia. Misalnya dalam QS. Al-Nisā’: 176, al-Anfāl: 42, al-Haqqah: 29, dan al-Qasas: 78, di mana semua merujuk pada tindakan Allah: memusnahkan, mematikan, atau membinasakan. Kebinasaan dan kehancuran itulah yang menunjukkan bencana bagi manusia dalam pembahasan ini.

Ketujuh, tadmīr. Kata ini sendiri berasal dari dam-ma-ra yang artinya menghancurkan. Tadmīr diartikan sebagai kehancuran sehancur-hancurnya. Konsep ini terdapat dalam QS. al-Isrā’: 16 dan al-Ahqāf: 24-25. Sifat tadmīr merupakan kehancuran yang berasal dari peristiwa alam dan perbuatan manusia. Allah mengajarkan kepada manusia supaya memperhatikan sejarah orang-orang terdahulu yang salah memahami tanda-tanda kekuasaan Allah dan salah memperhitungkan faktor risiko dari seluruh kejadian dan perilaku manusia. 

Kedelapan adalah tamzīq. Istilah yang searti dengan tadmīr ini berasal dari kata maz-za-qa yang berarti kehancuran seperti dalam QS. Saba’: 18-19. Karena manusia salah dalam berbuat dan berperilaku dengan berbagai hal yang telah ditetapkan Allah, maka kehancuran itu terjadi. Oleh karenanya, istilah tamzīq merupakan bencana bagi manusia.

Kesembilan adalah ‘iqāb, istilah yang merujuk pada kejadian yang akan didatangkan Allah kepada manusia yang mengingkari Allah dan Rasulullah. Istilah ‘iqāb terdapat pada surah al-Nahl: 126, al-Hasr: 4, dan Sād: 14. Kata ini merujuk pada bentuk balasan atas perbuatan manusia di muka bumi. Jika manusia berhasil memahami ketentuan Allah dan mampu memperhitungkan risiko dari perilakunya atas diri sendiri dan alam, maka ia terhindar dari iqāb.

Kesepuluh adalah nāzilah yang berasal dari kata na-za-la. Kata ini memiliki arti asal turun, namun karena muta’addy atau transitif (membutuhkan obyek) menjadi anzala. Kata anzala dalam beberapa kesempatan dalam Alquran juga disebut untuk mengungkapkan makna “menurunkan siksa”.  Makna tersebut bisa dilihat dalam QS. al-Hijr: 90-91. Dalam konteks tertentu, Alquran menyebut kata anzala sebagai aktivitas menurunkan wahyu yang berfungsi sebagai rahmat.

Baca Juga  Gagal Paham tentang Saudi Arabia dan Salafisme

Selain istilah-istilah terkait bencana dalam Fikih Kebencanaan di atas, ada juga klasifikasi bencana, yang secara umum dikelompokkan dalam ada kategori: (1) disebabkan oleh faktor alam (natural disaster) atau (2) ulah manusia (man-made disaster). Yang pertama bisa dilihat dari peristiwa seperti gempa bumi (QS. al-A’rāf: 78), letusan gunung api (QS. al-Naml: 88), tsunami (QS. al-Infitār: 3), tanah longsor, banjir (QS. al-‘Ankabūt: 14), dan kekeringan (QS. Yūsuf: 48). Kedua, bencana non alam, seperti kegagalan teknologi (QS. al-Rūm: 41, epidemi atau wabah (QS. al-Anfāl: 133, konflik sosial (QS. al-Rūm: 41), dan teror (QS. Al-Mā’idah: 33). [AS]

Aji Damanuri Dosen IAIN Ponorogo; Sekretaris Majlis Tarjih dan Tajdid PDM Tulungagung

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *