Afifatul Munawiroh Mahasiswi IAIN Jember

Pembebasan Perempuan dari Belenggu Sejarah Patriarki

2 min read

Patriarki—sebagai perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu—telah mengakar kuat di Indonesia, mayoritas perempuan sudah mengakui itu. Mereka tetap saja, tidak kunjung mentas dari permasalahan tersebut. Padahal, sudah banyak perempuan zaman sekarang yang bekerja dan hidup dalam ranah publik. Akan tetapi, masih banyak perempuan yang terkurung alur patriarki, mereka merasa lemah dan derajatnya selalu di bawah laki-laki.

Dampak dari sistem patriarki ini sudah mendarah daging di tubuh perempuan Indonesia. Hanya sebagian kecil saja yang sudah memahami bahwa realitas kehidupan perempuan tidaklah seperti itu.

Di masa pandemi seperti ini, seluruh hal dilakukan setiap harinya di rumah. Banyak, kaum perempuan yang merasa kewalahan, karena mereka harus seharian penuh mengurus anak dan suami mereka, belum lagi adanya pekerjaan rumah yang diberatkan pada tanggung jawab perempuan.

Hal itu, pastinya juga berdampak pada kesehatan perempuan, baik fisik maupun psikis. Anehnya, mereka tetap melakukannya karena beranggpan bahwa tugas utama seorang perempuan adalah di dalam rumah.

Seharusnya di dalam sebuah kehidupan, laki-laki dan perempuan diperlakukan sama, tidaklah sekejam itu terhadap perempuan. Hal-hal yang membuat hidup semakin terasa berat karena perempuan memang sulit untuk diajak bebas dalam belenggu sejarah yang sudah mengakar kuat.

Kesalingan dalam kehidupan sangatlah diperlukan, agar sesama manusia bisa hidup secara berdampingan. Saat ini banyak perempuan yang sudah diberikan kebebasan dalam hidup. Maksudnya diberi hak untuk berkarya, berproses dan meniti karir dalam ranah publik. Akan tetapi, masih banyak perempuan yang merasa tidak bisa berproses dalam ranah publik, mereka tetap memilih untuk berdiam di rumah dan melakukan hal-hal domestik.

Salahkah memilih hidup seperti itu? Tentu tidak. Namun, dalam kehidupan seyogianya manusia bisa hidup dengan menjadi dirinya sendiri, tidak terkurung dengan hal-hal yang sebenarnya mereka juga tidak setuju akan hal itu.

Baca Juga  Benarkah Ajaran Islam Merugikan Perempuan?

Rasakan bedanya, pada zaman kolonialisme banyak sekali perempuan yang dijarah hidupnya dan mereka hanya dijadikan boneka yang memiliki manfaat hanya untuk permainan saja. Pada zaman ini, menjadi perempuan itu seakan-akan tidak sama sekali menjadi manusia seutuhnya.

Di zaman kolonialisme, banyak sekali terjadi pergundikan, selir, atau bahkan jugun ianfu. Para penjajah menjadikan perempuan sebagai surga hiburan seksual, kesuburan, dan gairah seks yang tak pernah pudar. Mereka meyakini bahwa, perempuan Indonesia itu elok dan kalem, akan tetapi kepalanya kosong. Sungguh bengis sekali para penjajah.

Belenggu sejarah pada zaman itulah yang menyebabkan perempuan pada saat ini masih ragu untuk mengeksplore dirinya di ranah publik. Akan tetapi semua itu pastinya bisa diatasi. Jika, penjajah dulu memenangkan Indonesia karena perang, maka Indonesia juga merebut kemerdekaan itu dengan cara peperangan.

Hal itu juga bisa diterapkan pada belenggu sejarah patriarki perempuan di Indonesia. Para perempuan saat ini, meskipun sudah banyak yang bekerja di ranah publik, tetapi banyak juga yang masih terlebenggu dengan sejarah kolonialisme. Maka dari itu, kita harus meminimalisir belenggu itu dengan sejarah juga.

Pada masa pra-kolonialisme, banyak sekali perempuan-perempuan perkasa yang turut berkecimpung dalam dunia politik, ekonomi, dan bahkan juga menjadi prajurit perang kerajaan. Pada zaman ini memang, kemahiran, kecerdasan, dan kepintaran tidak dilihat dari jenis kelamin. Akan tetapi, barangsiapa yang memiliki kelebihan dalam hal tersebut dialah yang ditunjuk.

Perempuan-perempuan perkasa pada zaman ini seperti Raden Ayu Yudokusumo, beliau adalah seorang perempuan yang memiliki kecerdasan tinggi, kemampuan yang mumpuni, dan siasat jitu perang selayaknya laki-laki. Sifat gerangnya itu tampak sekali pada waktu Perang Jawa, tatkala dia mengatur penyerangan terhadap masyarakat Tionghoa di Ngawi pada 17 September 1825.

Baca Juga  Aisyah RA dan Sikap Kritis dalam Beragama

Para perempuan itu, bukanlah para Nyai Ayu yang tersipu malu dan lemah gemulai yang terdapat dalam karya sastra rekaan kolonial Belanda akhir abad ke-19, akan tetapi mereka adalah perempuan yang berlaku seperti Srikandi tatkala Indonesia mempertahankan kemerdekaan untuk dirinya dan bangsanya.

Nah, kenyataan pada zaman dahulu sudah ada perempuan yang berkecimpung dalam ranah publik. Sadarkah anda bahwa berpacu pada sejarah itu memang sangatlah penting. Akan tetapi, sejarah yang membangun diri ini menjadi lebih baik, bukan semakin menyudutkan pada pihak perempuan.

Alangkah lebih baik, jika setiap perempuan memiliki pendirian yang teguh terhadap dirinya sendiri. Sehingga, bisa lebih selektif dalam menyikapi munculnya berita yang bertebaran di sosial media.

Dengan pemahaman seperti itu, perempuan akan berpikir ulang bahwasannya sama-sama dalam sumber sejarah ada yang lebih baik dijadikan acuan untuk hidup damai di masa depan. Daripada masih terbelenggu dengan sejarah kelam perempuan pada zaman kolonialisme.

Namun, seluruhnya tetap bergantung pada keputusan yang diambil perempuan. Masihkah anda berpangku pada sejarah kelam kolonialisme, yang menjadikan perempuan sebagai pemuas hasrat saja? Ataukah bangkit dengan melihat sejarah pra-kolonisliasme yang berpacu pada perempuan-perempuan perkasa yang hidup pada zaman itu? [MZ]

Afifatul Munawiroh Mahasiswi IAIN Jember