Seorang Wali dan Hal-Hal yang Luar Biasa dalam Dirinya

sumber: bangladesherkhabor.net

Jika ada anggapan bahwa seorang wali adalah orang yang memiliki hal luar biasa dalam dirinya, sebuah kekeramatan, hal itu tidak sepenuhnya benar. Seorang wali adalah orang yang memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Allah, meski dalam dirinya tidak tampak kejadian luar biasa. Atau bisa jadi sebaliknya, hal-hal yang luar biasa justru terjadi dalam diri seorang pendurhaka, atas izin Allah.

Menurut Al-Kasyi Kamaluddin Abdurazzaq Al-Qasyani dalam bukunya al-Isthilahat al-Shufiyyah, seorang wali adalah “Orang yang kepentingannya diurus dan dibela oleh Allah, yang dipelihara dari kedurhakaan. Allah tidak membiarkannya terjerumus dalam nafsunya, hingga ia mencapai kesempurnaan orang-orang yang telah dewasa (para tokoh).” Allah berfirman dalam Q.S. al-A‘râf [7]: 196: wa huwa yatawallâ al-Shalihin (Dialah pelindung orang-orang yang saleh).

Sementara menurut Imam al-Ghazali dalam al-Maqshad al-Asnâ fî Syarh Asmâ’ al-Husnâ, seseorang yang disebut wali adalah “seseorang yang mencintai Allah dan mencintai wali-wali-Nya; membela siapa yang membela-Nya dan membela wali-walinya; dan memusuhi musuh-musuh-Nya, termasuk nafsu dan setan.”

Seorang wali lahir berkat kepercayaannya bahwa Allah-lah wali mereka satu-satunya. Dia selalu mengandalkan Allah, dengan cara memerhatikan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Seorang wali menggunakan daya dan potensi sesuai petunjuk-Nya. Apabila ia gagal setelah berusaha ia tidak putus asa, dan mengembalikan segala urusannya kepada Allah yang menjadi walinya, pembela dan pelindungnya.

Al-Qur’an melukis para wali itu antara lain dalam Q.S Yunus [10]: 62-63, Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.”

Ayat ini menyebut dua hal pokok yang berkaitan dengan kewalian: dampak dari kewalian serta sifat dan sikap dasar yang menandai kewalian. Sifat dan sikap dasar terdiri dari dua hal, yakni iman dan takwa. Iman merupakan pembenaran hati atas apa yang telah disampaikan Allah dan Rasul-Nya, sementara bukti dari pembenaran itu adalah takwa. Oleh karena itu, seseorang tidak dapat mencapai peringkat tinggi dalam kewalian tanpa usaha keras.

Ada beberapa tahap yang dapat dilakukan agar seseorang dapat mencapai derajat kewalian. Antara lain terdapat pada tahapan iradah (kehendak), yakni munculnya hasrat dan keinginan untuk berpegang teguh pada jalan yang membimbing pada kebenaran.

Menurut Syaikh Abd al-Halim Mahmud, iradah memiliki tiga tujuan pokok, yakni (1) mengesampingkan segala sesuatu selain Allah yang dapat diraih dengan zuhud, (2) pengendalian nafsu yang mendorong agar berada di bawah kendali nafsu muthmainnah, serta (3) memperhalus sir yang merupakan tempat penyaksian.

Adapun dampak dari kewalian hamba Allah adalah tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak juga mereka bersedih hati. Ketiadaan rasa takut dan sedih mereka dikarenakan para wali menyadari bahwa segala sesuatu adalah milik Allah. Mereka menyadari juga bahwa tiada yang terjadi kecuali atas perkenan-Nya dan segala yang bersumber dari Allah akan berakibat baik.

Salah satu tanda kewalian seseorang adalah menjadikan Rasulullah Muhammad sebagai wali dengan cara mengikuti dan meneladani beliau. Kita perlu ingat bahwa salah satu makna wali adalah pecinta: tidaklah sempurna keimanan seseorang sampai dia mencintai Nabi melebihi cintanya terhadap dirinya sendiri.

Adapun yang disebut dengan wali setan ialah seseorang yang menjadikan setan sebagai wali dengan mendorong melakukan kedurhakaan kepada Allah serta menghiaskan keburukan. Kewalian para pendurhaka kepada setan adalah dengan cara mengikuti langkah-langkahnya dan memperkenankan ajakannya.

Allah menegaskan, “Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thagut, sebab itu perangilah wali-wali setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah.” (Q.S. al-Nisa’ [4]: 76).

Wali setan yang dimaksud adalah orang-orang kafir dan semua yang mengajak kepada nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai agama. “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi wali (pelindung) bagi sebagian yang lain.” (Q.S. al-Anfal [8]: 73).

Setiap wali tidak tentu memiliki karamah, meski memang ada beberapa wali yang dikaruniai karamah atas izin Allah Swt. Kewalian seseorang didasarkan pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt, seperti telah dijelaskan pada Q.S Yunus [10]: 62-63, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.”

1

Mahasiswa jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.