“Sebermula adalah kata,” tulis Sapardi. Lalu kata-kata diolah, diberi nyawa dan dibumbui rasa, hingga menjelma sastra. Karenanya, sastra bukan sembarangan susunan kata. Ada usaha-usaha dari sastrawan untuk mengumpulkan fakta-fakta sosial dalam mencipta karyanya. Sastra punya ambisi untuk meniru cita-cita ilmiah tentang objektivitas, impersonalitas, dan kepastian.
Namun terkadang, sastrawan seolah tak cukup hanya mengandalkan kekuatan dari kata. Penyair, misalnya. Aliterasi, metafora, rima, dan poetic devices lainnya, terkadang tak cukup kuat bagi penyair untuk mencipta puisi. Seperti juga prosa yang kadang perlu untuk difilmkan, penyair pun butuh bantuan dan usaha dari luar—semisal musik atau nada. Dan ketika puisi diramu dengan nada, terciptalah lagu.
Lagu, dengan demikian, tak hanya punya fungsi hiburan belaka, tapi juga punya fungsi ekspresif dan komunikatif. Maksudnya, lagu bisa menjadi media untuk mengekspresikan keadaan pikiran dan perasaan (atau emosi) seseorang. Hingga ia dapat merekam dan mengomentari sesuatu.
Bahkan di tengah pandemi virus korona, lagu masih mendapat tempat. Memang tidak secara langsung. Malah akan terlihat lucu jika ada pasien COVID-19 bisa sembuh hanya karena ia mendengar sebuah lagu. Musik juga tidak seperti industri lain yang menyumbangkan bantuan dengan nominal tujuh-digit-lebih. Tapi, setidaknya, lagu bisa membantu kita dari sisi psikologis.
Banyak warganet yang memberikan hiburan dengan cara bermusik dan menyanyikan lagu, baik secara personal maupun kelompok. Najwa Sihab, misalnya, berkolaborasi dengan penyanyi top Indonesia bernyanyi bersama lagu Rumah Kita secara daring. Bahkan mantan presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, baru-baru ini membuat lagu khusus sebagai “komentar” dia atas virus korona.
Namun yang paling menarik dari semua itu adalah viralnya lagu Aisyah Istri Rasulullah. Lagu ini di-cover oleh banyak penyanyi, mulai dari Nissa Sabyan, Danny Cak Nan, Jihan Audy, Gery Mahessa, hingga Via Vallen. Tak ketinggalan, Siti Nurhaliza pun ikut me-cover lagu Aisyah. Yang menarik untuk ditanyakan: apa sebenarnya makna dari lagu ini? Mengapa bisa begitu viral?
Kulit Putih dan Konstruksi Kecantikan Aisyah
Mulia indah cantik berseri
Kulit putih bersih merahnya pipimu
Dia Aisyah putri Abu Bakar
Istri Rasulullah
Baris 1-2 dari lagu ini bercerita tentang bentuk fisik dan mental dari Aisyah. Dari segi mental, Aisyah digambarkan dengan sempurna, bukan hanya baik. Pertama, mulia, yang berarti berkedudukan tinggi, atau bermutu tinggi, ditegaskan pula di bait ketiga sebagai putri Abu Bakar. Kedua, cantik, yang merujuk pada bentuk wajah. Ketiga, berseri, yang biasanya hanya digunakan sebagai ungkapan untuk hal-hal yang bercahaya. Sementara dari segi fisik tubuh, Aisyah digambarkan berkulit putih dan pipinya merah.
Di Indonesia, secara umum, seorang perempuan dipersepsikan cantik “hanya” jika ia berkulit putih. Perempuan Indonesia merasa cemas (insecure bahasa kiwarinya) jika kulit mereka menghitam atau bertambah gelap. Pada tahun 2015, Kalbe Farma pernah melakukan riset dengan koresponden perempuan Indonesia. Kesimpulannya, perempuan Indonesia takut dan khawatir terhadap munculnya flek hitam di wajah mereka.
Memang, kecantikan adalah perkara mana-suka. Namun kesan yang muncul dalam diri kita ketika melihat seseorang (laki-laki atau perempuan) itu cantik atau tidak, pasti berdasar konstruksi alam bawah sadar. Saya tidak bermaksud melakukan generalisasi, tapi jika diajukan pertanyaan “mengapa cantik identik dengan putih?” Jawabannya hampir pasti adalah: konstruksi sosial.
Saraswati menjelaskan perihal konstruksi sosial kecantikan di Indonesia ini dengan bagus dalam bukunya yang berjudul Putih (2017). Singkatnya, konstruksi bahwa cantik “harus” berwarna putih, menurut dia, sudah ada sejak abad IX melalui penggambaran sosok Sita (atau Sinta) dalam Ramayana. Dikotomi kulit terang dan gelap juga tampak pada dikotomi tokoh baik dan jahat, Sinta vs Rahwana. Hirarki dari dikotomi ini kemudian bertahan hingga sekarang.
Tidak hanya itu, Saraswati juga mengatakan bahwa warna kulit bisa menjadi penanda kelas sosial, di mana mereka yang berkulit terang identik dengan mereka yang mempunyai kelas sosial yang tinggi.
Dengan demikian, bait pertama dari lirik lagu Aisyah ini mempunyai makna membenarkan kostruksi sosial kita tentang persepsi (afek) kecantikan perempuan Indonesia. Cantik adalah putih.
Mungkin Anda berpikir, “Ah itu cuman kebetulan. Penulis lagu tidak bermaksud demikian.” Boleh saja. Tapi, saya teringat Terry Eagleton yang berkata bahwa puisi lebih bersifat spontan: puisi lebih bersifat kreatif dan tak sadar, bukan dengan mekanisme sadar. [AS]
To Be Continued